COWASJP.COM – SEORANG seniman (grafis) memiliki kesadaran terhadap dirinya sebagai fungsi sosial, tentunya setiap berkarya tidak terlintas keinginan untuk menghidupi atau menyemarakkan iklim dunia seni rupa. Juga tak ada keinginan memperjuangkan seni grafis, yang kerap kali dianggap warga kelas dua.
Di tengah-tengah arus perkembangan seni rupa kita, ada yang berkeinginan mengarahkan seni grafis pada kesenian budaya industri. Di mana senimannya diajak untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai ekonomi. Karena banyak yang beranggapan, hanya dengan keberuntungan ekonomi perkembangan seni budaya bisa berjalan. Jadi seni grafis dapat berkembang apabila mampu menghidupi senimannya.
Seni grafis diarahkan pada mencari keuntungan ekonomi, tak akan senasib dengan seni lukis, mengingat seni grafis dapat diproduksi —sulit dilacak dan membutuhkan kejujuran kreator yang bersangkutan— berapa diperbanyak dan di mana saja penyebaran karya tersebut. Sehingga kemurnian seni grafis tidak banyak memberikan keuntungan ekonomi. Realitasnya banyak orang bangga memiliki lukisan dari pada seni grafis, karena kemurniannya yang tunggal.
Lain dengan keberuntungan seni grafis dapat diproduksi secara massal, yaitu sering dipakai untuk gerakan kebudayaan. Tidak jarang seni grafis dimanfaatkan sebagai alat propaganda oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sesaat. Lebih jauh lagi seni grafis dapat difungsikan sebagai alat pembelajaran, pembebasan, pemberontakan, provokasi, pendampingan, pencerahan dan seterusnya—dalam konteks gerakan kebudayaan.
Sebagaimana mestinya seni grafis merupakan aksi kebudayaan, selalu hadir di tengah-tengah konflik sosial, politik, ekonomi, hukum, lingkungan, industri dan segala jenis kepincangan realitas sosial. Kehadirannya, memberikan kesaksian dan menjawab atau merespon tantangan zaman.
Sedang seni grafis (cukil kayu) sudah dikenal di Cina pada pertengahan abad VII, dan di Eropa mulai dikenal pada permulaan abad XV. Sepanjang lintasan sejarah seni grafis, yang sangat menarik dan sesuai dengan keberadaan sistem politik Indonesia, adalah karya seni grafis yang lahir di masa Jerman dalam kekuasaan tentara Nazi (1933-1945). Mengingat Nazional Sosialismus (Nazi) sinonim dengan Neue Ordnung. Kata bahasa Jerman yang artinya, “neue” adalah “baru” dan “ordnung” adalah “orde” sebenarnya ini adalah bahasa Belanda. Jadi “Orde Baru” yang ada di Indonesia dengan “Neue Ordnung” yang ada di Jerman memiliki kesamaan.
Neue Ordnung atau Nazi diciptakan Adolf Hitler untuk membangun mental Jerman Raya Baru dan memburu orang-orang Yahudi serta membendung kekuatan komunis. Akibat dari cengkeraman Hitler bermunculan karya seni grafis yang benar-benar lahir dari kekuatan inheren antara diri seniman dengan kondisi sosial politik pada saat itu. Sehingga lewat karya-karya grafis tersebut kita dapat melihat jauh terhadap kondisi Jerman dan kekejaman tentara Nazi. Jadi melalui karya-karya seni grafis bisa memprediksi atau membaca kahanan suatu wilayah atau negara atas zaman atau eranya.
KITA bisa belajar dari yang pernah dilakukan Mochtar Apin dan Baharudin Marasutan. Karya-karya seni grafisnya (linographs), memperlihatkan cukilan yang tegas dan dinamis—memberikan kesan karakter kokoh dan teguh pada pendirian di setiap figur yang ditampilkan. Menurut Sanento Yuliman, karya mereka merupakan monumen grafis 17 Agustus 1946, menyajikan pernyataan kelahiran bangsa baru dan seni baru di tengah-tengah kemerdekaan Indonesia yang belum stabil.
Selain itu kita bisa menengok seni grafis karya Kathe Schmidt Köllwitz dan Otto Dix, mengisahkan situasi Jerman dikuasai Hitler bersama tentara Nazi, terasa tegang, menakutkan, suram, carut-marut dan penuh ketidakpastian. Köllwitz lewat karya-karya seni grafisnya, menampilkan kekacauan zaman, membawakan suara pedih kemiskinan, perlawanan, kerusuhan, perang sekarat, kematian dan sebagainya.
Sedang grafis Otto Dix, menyuarakan kegairahan hidup tanpa kendali yang dilakukan oleh kaum borjuis besar dan para pengeruk keuntungan semasa perang dari perkembangan ekonomi yang pelan-pelan naik lagi. Kehidupan mereka tanpa terkendali itu berada di tengah-tengah kehidupan mayoritas penduduk serba kekurangan, ketidakpastian dan jauh dari hidup menyenangkan. Selain itu dia juga menghadirkan grafis tentang perang, kengerian hidup dan penderitaan orang-orang kecil.
MENGINJAK pada kehidupan kita, hidup di zaman peradaban yang berkembang begitu cepat secara terus-menerus. Perkembangannya dari waktu ke waktu nampak tidak memberikan banyak kemudahan menuju kehidupan yang lebih layak untuk umat manusia.
Seperti perkembangan peradaban yang kita hadapi bersama-sama selama ini, tidak banyak memberikan manfaat untuk umat manusia. Lebih banyak memberikan dampak negatif, menjadi persoalan hidup semakin ruwet. Kita telah merasakan sendiri dari pembangunan yang dicanangkan oleh Orde Baru (Orba) —ekonomi sebagai panglima (1966-1998). Setiap pembangunan yang dikembangkan, banyak melakukan pencemaran air, polusi udara begitu berat, perusakan hutan, pertanian, penyerobotan tanah rakyat dan seterusnya —sering terjadi banjir, tanah longsor, kekeringan, kemerosotan moral, kesenjangan sosial, krisis ekonomi, penyebaran penyakit, disintegrasi dan seterusnya.
Pembangunan ini berjalan lancar selama 32 tahun, atas dasar kebijakan yang dibuat oleh kekuatan kapitalis bekerja sama dengan sistem politik yang mengatasnamakan kekuasaan negara, dengan pendekatan stabilitas keamanan dan kepentingan nasional. Segala kebijakannya dibuat tidak memihak kepentingan rakyat. Dalam hal ini posisi rakyat benar-benar dilemahkan.
Selain itu pembangunan dalam sistem politik Orba juga memberikan dampak pada kepribadian, mengekang diri secara berlebihan, menghindar dari konfrontasi dengan kekuasaan pemerintah, meskipun yakin kebenaran ada dalam dirinya. Orang lebih baik tidak bicara, daripada nanti menuai banyak kesulitan. Kalau perlu menyensor pikirannya sendiri.
Kepribadian di atas telah banyak merasuki jiwa cendekiawan, rohaniwan, budayawan, seniman dan tokoh masyarakat. Sebagaimana mestinya mereka lebih dekat dan lebih banyak mengetahui keberadaan kehidupan masyarakat, tentunya mengambil peranan memihak pada kepentingan rakyat.
Namun kenyataannya mereka banyak yang tidak berani mengambil resiko, bahkan ikut punya andil besar melancarkan jalannya pembangunan tersebut. Hal ini sangat merugikan eksistensi mereka sendiri, tidak layak untuk dipercaya dan tidak pantas jadi panutan.
Lebih parah lagi pembangunan Orba berkemampuan mengubah hakikat manusia. Mendorong manusia menjadi manusia materialisme, yang kebahagiaannya, status dan gengsinya ditentukan oleh jumlah kekayaan yang dimiliki dan tingkat konsumennya.
Sehingga pembangunan Orba banyak melahirkan masyarakat tergila-gila memuja materi, individualisme makin meluas dan konsumerisme meningkat. Masyarakat dijauhkan dari status manusia yang ditentukan oleh kepribadian, seperti kejujuran, kepedulian, solidaritas sosial dan sebagainya.
KITA memasuki pemerintahan pasca Orba. Diawali dari pengguliran reformasi dan Jenderal Purn H.M. Soeharto lengser dari kursi kepresidenan sebagai tanda tumbangnya Orba (baca: agenda reformasi), merupakan tuntutan seluruh rakyat Indonesia, menginginkan perubahan yang lebih baik dan demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi juga merupakan bebasnya rakyat dari kepemimpinan otoriter dan sentralistik.
Reformasi bergulir dari tahun ke tahun, nasibnya semakin tidak jelas arahnya, tidak sesuai dengan keinginan rakyat semula.
Memang Orba sudah tumbang, tetapi belum menunjukkan kekalahan. Kalau Orba sudah dikatakan mati, namun tak sempat dikubur. Bangkainya digerogoti oleh para politisi busuk, dan baunya menyekar menjangkiti kepribadian siapa saja.
Lebih tepatnya Orba bangkit kembali. Dalam masa transisi, sedikit demi sedikit mereka orang Orba menyusun kekuatan kembali. Mereka tidak mau menyerah begitu saja, masih banyak yang berperan dalam permainan politik sampai sekarang.
Rakyat tidak diperkenankan membicarakan kesalahan Orba di masa lalu, lebih baik bicara rencana untuk ke depan yang lebih cemerlang.
Secara terang-terangan mereka menampakkan diri dan bermain cantik, merebut hati rakyat kembali. Sehingga banyak rakyat simpatik dengan penampilannya. Orba yang dikenal dengan ideologi pembangunan —melakukan pemaksaan, intimidasi, korupsi, monopoli, kolusi, nepotis, penculikan, main tunjuk (fitnah), pembantaian massal dan melakukan segala bentuk kekerasan—lenyap begitu saja.
Istri Gelap.(GRAFIS: Saiful Hadjar)
Kita digiring menjadi bangsa pemaaf pelupa, dan mudah dibeli. Tidak seperti ketika melakukan tuduhan terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mengkhianati bangsa dan negara, ditindak secara tidak manusiawi dan dibabat habis sampai anak cucunya.
Selain itu mari kita tengok permainan politik pemilihan umum (pemilu 2004), pemilihan legislatif dan pemilihan presiden beserta wakilnya secara langsung oleh rakyat. Banyak partai bermunculan sebagai kontestan pemilu. Di antara partai-partai tersebut, yang ada adalah partai yang tidak berlomba-lomba menyejahterakan rakyat. Partai-partai yang hanya bertaraf kepentingan, membawa kepentingan sendiri, paling jauh kepentingan kelompok. Tak jauh beda seperti watak Orba.
Begitu juga dengan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), di antaranya adalah dedengkot Orba —berlatar belakang militer pelopor Orba, punya andil besar terhadap keterpurukan Indonesia (baca tiga jalur kekuatan politik Orba: ABRI, Birokrasi dan Golkar). Ada pula dari tokoh reformis—tidak lagi memiliki komitmen terhadap tuntutan rakyat—lebih nampak bermain mencari kesempatan dari kondisi politik kacau balau.
Dunia politik di negeri kita masih dikuasai oleh orang-orang tertentu, yaitu kelompok elit politik. Kita bisa memperkirakan penyelenggaraan pemilu dalam kondisi politik demikian, tidak jarang terjadi penyimpangan, curang, tekanan, politik uang (money politic) dan main fitnah untuk memenangkan pemilu. Juga kita bisa membaca, bahwa hasil pemilu sekarang, sangat sulit dapat menyelesaikan berbagai krisis yang sedang melanda bangsa Indonesia.
Kondisi politik semacam ini mencerminkan demokrasi belum berjalan mulus—tidak mencerdaskan—pendidikan politik tidak merata. Rakyat banyak yang tidak menjangkau, tidak mengerti dan tidak terlibat secara utuh. Masih sering terjadi kebohongan, pembodohan, penipuan terhadap publik, dan terjadi militansi membabi-buta terhadap partai dan tokoh tertentu. Rakyat jadi sasaran empuk untuk diperalat.
Perjalanan politik demikian, namanya partisipasi politik selalu dilumpuhkan. Aspirasi rakyat lebih banyak tidak dihiraukan—ditampung, namun tidak ada kelanjutan. Mereka lebih banyak dikecewakan, menjadi acuh, tidak mau tahu dan apatis. Hanya pada saat menjelang pemilu, kedudukan mereka lebih tinggi, karena suaranya dibutuhkan.
Lebih bahaya lagi banyak bermunculan rakyat frustrasi dan tidak sabar segera mengakhiri krisis multi dimensional, krisis ekonomi berkepanjangan, krisis politik yang belum tuntas dan lebih besar lagi krisis negara kesatuan. Kondisi semacam ini sangat memungkinkan Orba hidup jaya kembali, setidaknya merestui dan membenarkan sistem politik Orba, yang otoritarian, tegas dan disiplin model militer —meletakkan semua harapan pada pendekatan militeristik serta mulai mentolerir kekerasan.
Membiarkan kondisi tersebut tak ubahnya memberikan kesempatan tumbuh subur paham atau keyakinan fasisme, ideologi partai Nazi pimpinan Hitler. Disadari atau tidak. Lambat laun dasar negara kita yakini bersama semakin redup, dan mati terbunuh bangsa sendiri.
BERTOLAK dari kesadaran di atas, sewajarnya karya seni grafis lahir dari keinginan menggugah kesadaran masyarakat berpolitik. Agar mereka tidak mudah diintervensi oleh kepentingan elit politik dan tidak mudah dimanfaatkan oleh siapa saja. Mengokohkan partisipasi politik mereka, yang independen, bebas, luhur dan berpikiran jernih dalam berpartisipasi.
Anggota Parlemen. (GRAFIS: Saiful Hadjar)
Untuk itu memperlakukan seni grafis sebagai aksi kebudayaan, tidak hanya bertumbuh pada kemampuan mereduksi kebenaran realitas sosial, yang di dalamnya ada penderitaan, kesewenang-wenangan, kebohongan, tekanan, keterasingan, kengerian, dan segala kepalsuan manusia. Juga sangat tergantung pada peranan seniman sebagai fungsi sosial, melakukan proses pendidikan politik kepada mereka—mengajak lebih intens menghayati pengalaman realitas sosial, untuk kepentingan kemanusiaan lebih luas.
Proses pendidikan tersebut merupakan belajar bersama-sama—berkelompok—dari berbagai golongan masyarakat dilemahkan dan ditindas. Melatih mereka menggrafis—mengekspresikan segala persoalan kehidupan realitas sosial yang sedang terjadi. Memfungsikan seni grafis sebagai piranti pendidikan politik secara maksimal, mempertajam daya kritis, kepekaan dan kepedulian sosial, menuju perubahan kepribadian yang dinamis, kreatif dan imajinatif—menggali nilai-nilai subjektif maupun objektif sebagai potensi yang ada pada setiap manusia.
Dalam prosesnya tidak dihalalkan menisbikan kemampuan setiap orang memahami realitas kehidupan. Mengingat setiap manusia memiliki potensi berpikir dialektis. Sehingga setiap proses memberikan ruang dialektis pada setiap manusia, menangkap segala persoalan kehidupan dan memberikan interpretasi yang sesuai dengan pengalamannya—menempatkan kaidah kebenaran pada potensi kemerdekaan manusia.
Semangat berkumpul melakukan aksi kebudayaan, mengajak setiap manusia untuk berpikir, merenung dan mengamati segala penyelewengan dan kesewenang-wenangan dari sistem politik atas nama kekuasaan negara. Agar setiap karya seni grafis mereka, apapun bentuk dan gayanya, hadir secara tepat berpartisipasi politik. Kesemuanya dilakukan atas dasar rasa tanggungjawab kepada generasi mendatang sebagai pemilik negeri. Selalu waspada terhadap segala macam jebakan yang ikut andil dalam permainan politik busuk, serta tidak mudah menerima segala macam pujian dari manca negara yang menyesatkan dan menjerumuskan ke dalam kondisi semakin tidak karuan.
Dari aksi ini pula memperkuat solidaritas sosial. Mengingat rakyat hanya bisa digerakkan dan dibangkitkan berkat dorongan solidaritas sosial. Kekuatan solidaritas sosial sangat menentukan peranan seni grafis sebagai aksi kebudayaan, berhadapan dengan sistem politik yang tidak lagi memberikan kelayakan hidup manusia dalam berwarga negara.
SETIAP orang mendambakan kehidupan demokrasi berjalan mulus dan dapat memberikan kemudahan hidup lebih layak untuk umat manusia. Demokrasi bukan sekadar suatu sistem politik atau proses pemilihan pemimpin melalui kompetisi politik bebas, melainkan juga suatu cara hidup, suatu kebudayaan dan seperangkat nilai-nilai yang didasari pada konsep harkat kemanusiaan. Meskipun demikian istilah demokrasi bagi saya—mungkin juga Anda—alangkah baiknya menyubur: paguyuban. Nama paguyuban lebih akrab daripada demokrasi. Di tengah-tengah kehidupan kita, paguyuban sudah tidak asing lagi, mengakar sampai masyarakat lapisan bawah. Dalam dinamika kehidupan masyarakat desa sangat kental dengan paguyuban. Paguyuban dalam kehidupan masyarakat adalah kerja sama atau gotong-royong, partisipasi masyarakat sipil dan tanggungjawab terhadap keluarga, tetangga dan masyarakat secara keseluruhan. Keberadaannya tak berbeda dengan kehidupan demokrasi, mencerminkan kebebasan berserikat, lepas dari pengaruh dan pengawasan pemerintah, demokratis dalam urusan-urusan internal organisasi dan anggotanya terdiri dari masyarakat sipil.
Kebalikan dengan organisasi Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa), bersifat sentralistik, struktural dan sangat tergantung instruksi atasan —campur tangan pemerintah sangat kuat. Organisasi-organisasi tersebut adalah mesin penggilas milik Orba, pembunuh paguyuban. Masyarakat dibuat tidak berkutik dan tidak bisa macam-macam di luar ketentuan pemerintah. Sehingga paguyuban jadi mandul, berarti mati pula demokrasi.
SENI grafis berfungsi sebagai aksi kebudayaan, merupakan kesediaan seorang atau beberapa seniman melakukan pengajaran kepada masyarakat dilemahkan dan tertindas. Seperti yang dilakukan Taring Padi (TP) di Yogyakarta, Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) di Solo dan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) di Surabaya, mengajarkan seni grafis kepada nelayan, buruh, masyarakat desa, anak-anak pinggiran, pedagang kaki lima, masyarakat miskin kota dan siapa saja yang membutuhkan karna mengalami perlakuan kesewenang-wenangan, tidak adil dan seterusnya.
Selayaknya aksi semacam ini tidak sekadar mengajak masyarakat agar trampil dan menguasai teknik seni grafis. Juga tidak menggiring mereka pada seni grafis yang hanya mempersoalkan artistik, yaitu tidak sebatas melakukan eksplorasi elemen seni grafis dalam menghadirkan bentuk, harmonis, balance, irama dan seterusnya, sebagai karya pajang untuk memperindah ruangan.
Harta Gelap. (GRAFIS: Saiful Hadjar)
Masalah pemilihan teknik, memilih teknik yang paling sederhana dan mudah dijangkau di antara teknik seni grafis yang ada. Prosesnya lebih menekankan pada eksplorasi estetika dan ideologi, mendayagunakan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sosial politik, atas dasar sistem berpikir yang muncul dari konflik kehidupan itu sendiri.
Selanjutnya pengalaman-pengalaman mereka diekspresikan dalam seni grafis, dicetak di atas kertas, kanvas, kain, berbentuk kartu pos, tas kain, kaos, poster dan sebagainya. Aspirasi mereka yang tertuang dalam seni grafis dapat dicetak sebanyak-banyaknya, disebar di mana-mana atau memanfaatkan pekembangan teknologi, yaitu mefungsikan setiap sudut ruang-ruang yang ada di dunia digital —dapat diketahui orang banyak— hadir sebagai advokasi, provokasi dan kampanye— punya daya untuk membentuk kesadaran manusia ingin membebaskan diri dari penderitaan akibat sesuatu sistem kekuasaan.
Gerakan massal ini harus menggaung dan mengiang di dalam pribadi setiap anggotanya. Menyatukan diri dalam tradisi paguyuban, untuk memperkuat demokrasi lokal. Paguyuban yang menyerukan dan menganjurkan kesabaran, ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian pada anggotanya dalam mengikuti proses pendidikan untuk dapat mengerti tentang hak-haknya sebagai warga negara. Kesemuanya untuk membangkitkan partisipasi politik mereka secara aktif dan penuh kesadaran. Menjadikan gerakan masyarakat sipil—bekerja bukan untuk kekuatan partai politik dan pemerintahan negara, melainkan untuk proses menuju manusia beradab.
Tumbuhnya masyarakat beradab yang kuat, bersemangat, gigih, dan pluralis dengan sendirinya memberikan sumbangan bagi pertumbuhan demokrasi. Menyediakan wahana sumberdaya —sosial, politik, hukum, ekonomi, kebudayaan dan bahkan moral— untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan di antara para pejabat negara. Suatu rentetan perserikatan yang independen dan bebas, memberikan landasan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara, dan sebagaimana mestinya kendali atas negara dilakukan oleh rakyat. Dari sinilah pentingnya paguyuban hidup kembali, menjadi kekuatan rakyat yang memiliki kesadaran memelihara tatanan kehidupan manusia dan lingkungannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesemuanya bersandar pada rasa tanggung jawab sebagai insan yang berketuhanan.(*)
Kampung Kaliasin, Surabaya, Juni 2004-2022.