COWASJP.COM – CEPAT ATAU LAMBAT, momentum itu pasti datang. Bahwa kebenaran itu pasti menang. Kemungkaran itu pasti tumbang. Itulah kenyataan yang bukan mustahil akan kita alami beberapa waktu mendatang. Cepat atau lambat. Sebagaimana sunnatullah, bahwa pertukaran zaman itu akan terus berlangsung. Perputaran situasi dan kondisi tak mungkin dapat dihindari.
Sudah jadi catatan sejarah, bahwa pemerintahan Soeharto yang telah bercokol 32 tahun akhirnya tumbang. Padahal orang kuat Orde Baru itu sedang jaya-jayanya. Sedang kuat-kuatnya. Ketika seluruh jajaran TNI/Polri berada di bawah kendalinya. Bahkan dengan mudah dapat dijadikannya sebagai senjata untuk menekuk lawan-lawan politik.
Sementara MPR/DPR yang dianggap sebagai representasi perwakilan rakyat pun sudah jadi ayam sayur. Tak mampu berkutik dan memperlihatkan satu pun bantahan. Begitu juga lembaga yudikatif dan pers, sisa dua pilar terakhir demokrasi. Semuanya tak ada yang berani menolak titahnya.
BACA JUGA: Ferdinand Offside
Kita saksikan, kekuasaan maha besar yang berada di tangan Soeharto itu ambruk begitu mudahnya. Dalam hitungan detik, keputusan itu harus dia ambil. Menyerah kalah terhadap tekanan dan tuntutan rakyat. Dengan mengundurkan diri sebagai presiden. Yang kala itu sejatinya Soeharto adalah pemimpin paling kuat dan paling disegani se-Asia Tenggara.
Dengan berkaca pada sejarah Soeharto, apakah mungkin Presiden Joko Widodo alias Jokowi akan mengalami nasib yang sama seperti penguasa Orde Baru itu? Tentu saja semua berharap, pergantian kepala negara dari Jokowi ke presiden ke-8 nanti berlangsung lancar dan mulus.
BACA JUGA: Siapa yang Tanggung Malu?
Melalui pemilu yang jurdil tahun 2024 mendatang. Sebagaimana Susilo Bambang Yudoyono digantikan Jokowi. Tanpa ada huru-hara dan krisis politik yang tidak perlu. Tidak karena tekanan dan perlawanan yang keras dari rakyat yang sudah muak melihat keadaan. Memberontak melawan kezaliman dan ketidakadilan.
Ubeidillah Badrun. ( FOTO: strategi.id)
Tapi, persoalannya, siapa yang dapat meramal masa depan? Ketika semua serba tak pasti. Di saat sebagian besar rakyat tak mampu menjangkau apa yang diangan-angan. Meskipun bagi mereka yang awas, ada sejumlah tanda yang mulai muncul ke permukaan.
Sejatinya tentu menarik, apa yang kita saksikan dalam beberapa hari belakangan ini. Tepatnya setelah aktivis 98 yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubeidillah Badrun, melaporkan Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena kedua putera kandung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu diduga terlibat dalam tindak pidana Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Patut Diacungi Jempol
Keberanian Kang Ubeid – begitu dia akrab disapa – patut diacungi jempol. Ketika sebagian besar orang memilih “cari aman”. Lebih suka diam ketimbang menghadapi resiko yang besar.
Melihat begitu besar dan kuatnya jaringan kekuasaan Jokowi, dengan backing oligarkhi politik dan ekonomi yang tiada tandingan, mustahil ada yang berani mengusik ketenangan istana. Ketika aparat begitu mudah menangkap dan mengkriminalkan siapa pun yang berseberangan dengan penguasa.
Ketika para buzer dan influencer bayaran sedang ganas-ganasnya. Ketika sinyalemen hukum tajam ke bawah tumpul ke atas jadi kenyataan sehari-hari. Ketika hampir seluruh jaringan pers mainstream lebih suka mengelu-elukan penguasa ketimbang memberikan kritik. Di saat mahasiswa, buruh dan berbagai elemen masyarakat sipil bahkan tak mampu menyuarakan penderitaan rakyat.
Karenanya tindakan Ubeidillah Badrun melaporkan Gibran dan Kaesang ke KPK adalah pertanda. Bahwa tak selamanya rakyat itu diam. Bahwa gerakan perlawanan itu mulai datang. Sekarang bola sudah di tangan KPK. Tinggal menunggu apakah lembaga anti-rasuah itu berani atau tidak untuk bertindak tanpa pandang bulu mengusut dan menindaklanjuti laporan itu.
Sebagai lembaga ad hoc yang dibentuk dengan sifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Sebagai pelapor, Ubeidillah tentu menghadapi resiko yang tidak kecil. Sekarang bahkan sudah mulai ada yang mengancam dirinya melalui sambungan telpon selularnya. Di luar caci-maki yang tidak sedikit dari para buzer di media sosial. Di samping itu, sudah ada pula orang yang terkesan memata-matai rumah kediamannya. Bahkan Ketua Jokowimania (Joman) Emanuel Ebenezer, telah melaporkan balik Ubeidillah ke Bareskrim Polri. Karena, menurut dia, Ubeidillah telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap kedua anak presiden.
Meski demikian, seolah tak terduga, Ubeidillah menuai begitu banyak dukungan. Politisi Partai Demokrat Benny K. Harman, misalnya, menyemangatinya agar tidak takut menghadapi tekanan. Sekjen Gerakan Rakyat Tolak Aktor Koruptor (Gertak) Galih Dwi Syahputra mendesak agar KPK segera bertindak, dengan tidak tebang pilih dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum.
Begitu pula mantan juru bicara Gus Dur Adhie M. Massardi. Dia menyentil mereka yang mengaku aktivis 98 tapi tidak mendukung Ubeidillah. Karena itu dia meminta mereka untuk menziarahi makam Soeharto. Meminta maaf kepada mantan penguasa Orde Baru itu, karena telah menjatuhkannya dengan tuduhan KKN. Sementara KKN sekarang lebih banyak.
Selain itu, sejumlah aktivis pro-pemberantasan korupsi meramaikan ruangan-ruangan diskusi, untuk mendukung langkah Ubeidillah. Termasuk yang disiarkan dan viral melalui youtube. Misalnya, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Yang getol mengkritisi semakin hilangnya kebebasan akademik di kampus-kampus besar di tanah air. Begitu juga channel FNN TV yang dipandu host-nya Hersubeno Arief dan sejumlah platform media sosial lainnya.
Di samping filosof politik Rocky Gerung, sejumlah aktivis juga buka suara. Di antaranya, penceramah Agung Wisnu Wardana, advokad Akhmad Khozinuddin, wartawan senior Edy Mulyadi, penulis buku “Keserakahan di Tengah Pandemi” Gde Sriana Yusuf, dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bifitri Susanti dan pakar hukum tatanegara Herdiansyah Hamzah. Mereka bersuara lantang mendukung langkah Ubeidillah melaporkan Gibran dan Kaesang ke KPK.
Sebagaimana biasa, tidak ada komentar maupun respon dari Presiden Jokowi terhadap sejumlah isu yang berkembang di ranah publik. Termasuk yang menyangkut kedua puteranya. Meski demikian, menurut sejumlah pengamat, istana mulai gerah. Mulai ketakutan terhadap meluasnya wacana akal sehat dan pikiran bebas merdeka yang digaungkan sejumlah aktivis.
Satu-satunya komentar dari pihak istana hanyalah yang dilontarkan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Yang mengatakan tidak wajar Gibran dan Kaesang dilaporkan ke KPK.
Menurut Rocky Gerung, tanda pertama sebuah rejim akan hancur adalah kalau rejim tersebut sudah anti-pikiran. Dan ini sudah terjadi sekarang. Ketika kampus-kampus tidak bisa lagi menjadi tempat pengembangan pikiran, tapi sebaliknya hanya menjadi humas istana.
Rocky Gerung, Foto: Rocky Gerung/ Instagram
Sehingga tampilnya aktivis pemikir Ubeidillah Badrun dari sebuah kampus perguruan tinggi negeri di Jakarta cukup mengejutkan. Karenanya dia bisa dipandang sebagai pemicu lahirnya banyak Ubeidillah Badrun yang lain. Yang berani menyatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah.
Menurut ajaran Islam, jihad yang utama bukanlah jihad dalam bentuk fisik. Sebab, ketika Rasulullah ditanya tentang hal itu, Baginda Rasul menjawab: "Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Daud).
Dan jihad itu kini dilakukan oleh Ubeidillah Badrun. Yang menunjukkan keberaniannya di tengah angkara murka ketakutan banyak pihak yang lain. Seperti mengingatkan kita akan keberanian Ibrahim menghadapi bengisnya Raja Namrud. Dan kenekadan Musa melawan kekejaman Fir’aun.
Di balik kesulitan adalah kemudahan. Di balik kekalahan adalah kemenangan. Wait and see.(*)