COWASJP.COM – Innalilahi wa inna ilaihi rajiun.
Almarhum Margiono, salah satu wartawan senior rekrutan angkatan pertama Jawa Pos, Era Kembang Jepun, Surabaya. Era Api Revolusi: era perjuangan membangun fundamen Imperium Jawa Pos Group.
Margiono Bin Hadi Mardjono adalah sosok wartawan muda kala itu yang beritanya sering membuat kejutan.
Pertama jadi reporter di Jawa Pos di bawah komando langsung Pak Dahlan Iskan. Awalnya Margiono ditugaskan meliput berita di Pengadilan Negeri, Jl. Arjuna Surabaya.
Berita-berita pengadilan yang diliput almarhum tidak seperti berita di koran-koran lain yang terbit di Surabaya. Beritanya sangat eksklusif, berbobot dan membuat puas para pencari keadilan di pengadilan tersebut.
Setelah ngepos di PN Surabaya, Almarhum dimutasi ngepos di Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot). Di pos yang baru ini pun berita-berita yang ditulis sering membuat kejutan. Waktu itu walikotanya Bapak Kolonel dr. Poernomo Kasidi yang berasal dari kota Malang.
Di Surabaya baru diresmikan jalan layang Mayangkara yang menghubungkan Jalan Womokromo dan Jalan Ahmad Yani. Jalan layang tersebut berfungsi memperlancar arus lalin. Waktu itu masih membayar. Tepatnya di pintu masuk dan keluar jalan layang. Karcis masuk jalan layang Rp 5 ribu.
Pada suatu hari rombongan dr Poernomo Kasidi dari Malang menuju Surabaya lewat jalan layang Mayangkara. Mobil rombongan langsung masuk jalan layang tanpa berhenti di pintu keluar. Tanpa bayar karcis juga. Berita yang ditulis almarhum Margiono sangat lugas dan apa adanya.
Beritanya berjudul: “Rombongan Walikota Masuk Jalan Layang Tanpa Bayar”.
Sontak pagi hari itu juga Humas Pemkot Surabaya kebakaran jenggot.
“Mas ada komplain ya?”, tanya saya. Waktu itu saya di staf KL.
“Tenang wae mas”, jawabnya singkat.
Dengan gaya khasnya Alm. Margiono bisa menyelesaikan komplain Humas Pemkot Surabaya dengan baik. No problem.
Saya bisa membayangkan bagaimana cerdasnya Margiono menjelaskan makna berita tersebut. Kewajiban membayar jasa jalan layang dikenakan kepada siapa pun. Termasuk Walikota sekalipun. Hal ini tentu sangat baik dampaknya untuk penegakan disiplin warga Surabaya.
Almarhum Margiono kala masih di Kembang Jepun banyak membantu kesulitan perusahaan, khususnya di redaksi. Pada suatu sore di Mojosari, Mojokerto ada informasi banyak sobekan uang kertas yang dibuang ke sampah. Spontan Mbak Sri Rahayu (Yu Srie) yang baru jadi reporter ditugasi untuk meliput berita tersebut. Yu Sri kala itu sangat dekat dengan Almarhum Margiono.
Mau berangkat meliput tidak ada kendaraan. Saya memberanikan diri pinjam mobil Daihatsu Minicub warna biru yang baru dibeli Margiono.
“Silakan Mas Dirman pakai saja”, kata Margiono spontan.
Sedangkan kendaraan redaksi Taft kotak yang biasa untuk operasional redaksi dipakai wartawan yang lain.
Ada satu lagi yang terkesan bagi saya mengenai sosok Almarhum Margiono. Ketika saya ditugasi meliput Helikopter kecelakaan di Bui 1 dekat Madura malam hari. Almarhum sempat memberitahu kepada keluarga saya di Manukan Kulon. Alm Margiono bersama Alm Sholihin Hidayat memberitahukan kepada istri saya bahwa saya hari itu harus pulang dinihari. Karena ada tugas khusus ke Mojosari.
Perlu diingat tahun 1980 an belum ada HP. Kabar itu harus disampaikan dengan cara bertamu ke rumah saya di Manukan Kulon. Itulah bukti nyata solidaritas duet Alm. Margiono dan Alm. Sholihin Hidayat.
"Duet Striker" Jawa Pos tersebut terpaksa tidur di rumah, meski hanya beralaskan tikar plastik.
Masih ada kenangan indah lainnya. Yaitu ketika saya transit di biro Jawa Pos Jakarta di Jalan Prapanca, Jakarta. Waktu itu saya akan meliput Asian Games 1986 di Seoul, Korsel.
Setelah deadline, saya bersama beberapa teman redaksi dijamu makan di Kampung Melayu. Meski sudah larut malam Almarhum Margiono dengan lahap menyantap hidangan nasi Padang. Teman-teman mengerti kebiasaan pola makan almarhum.
Setelah pulang dari Kampung Melayu kembali ke kantor. Almarhum tidak langsung istirahat tapi masih putar kaset lagu dang dutan. Lagu-lagu Oma Irama, yang jadi favoritnya. Itulah kenangan indah saya pada sosok Almarhum Margiono.
Sewaktu masih sehat, almarhum akrab dipanggil Pak Ndut (karena perutnya gendut).
Selamat Jalan Mas Margiono. Semoga perjalanan hidup Anda husnul khatimah. Aamiin YRA. (*)