COWASJP.COM – Ini tulisan mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang lagi. Dan, lagi-lagi cewek. Namanya Syafira Salsabillah. Prodi (Program Studi) Sosiologi juga seperti penulis pertama: Alvidha Ayu Sudiono. Inilah tulisannya:
***
Kasus pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk di lingkungan kerja. Masalahnya adalah kini kasus pelecehan seksual di lingkungan kerja makin marak terjadi.
Dalam dunia kerja yang kental dengan budaya patriarki, entah kenapa selalu perempuan yang cenderung disalahkan. Pasalnya, pekerja perempuan "diduga atau dituding" sebagai pihak yang atraktif secara seksual.
Dan, perbuatan itu dianggap berpotensi menjadi pemicu pihak laki-laki melakukan pelecehan di tempat kerja.
Kaum wanita pun kerap jadi bahan candaan yang beraroma pelecehan seksual. Pelecehan tersebut bisa dilakukan oleh seorang menejer, rekan kerja atau bahkan non karyawan. Baik pelecehan verbal maupun non verbal.
Suasana seperti itu menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman.
Tempat kerja adalah salah satu tempat yang sering terjadi pelecehan seksual. Apa penyebabnya?
Hipotesis: kasus pelecehan seksual di tempat kerja terjadi gegara cara pandang patriarki yang menempatkan tubuh perempuan sebagai subordinat dalam relasi kuasa dengan laki-laki sebagai superordinat.
Tubuh perempuan dianggap sebagai obyek (penderita), karena itu persetujuan dari kaum wanita tidak diperlukan lagi. Jangankan sikap keberatan non verbal, pernyataan ‘tidak' dari perempuan pun bisa diabaikan. Bahkan dilencengkan sebagai ‘ya' dalam konteks sebuah persetujuan.
Para predator seksual ini menganggap tubuh perempuan hanya sebagai pemuas nafsu belaka. Mereka bisa melakukan tindakan tidak terpujinya kepada siapa saja.
Tak hanya kepada wanita yang berpakaian seksi, tetapi juga tidak sedikit korban pelecehan seksual yang mengenakan pakaian yang tertutup. Yang tidak membentuk lekukan sensual tubuhnya.
So, pelecehan seksual terhadap perempuan terjadi karena pikiran kotor pelaku. Dan celakanya, banyak korban yang belum berani melapor kepada pihak berwenang atas kejadian yang dialaminya.
Dengan diamnya para korban pelecehan seksual ini membuat para peredator seksual semakin menjadi-jadi. Kasus kesewenang-wenangan ini pun meruyak tanpa kendali dalam ketiadaan sistem pencegahan. Hal ini membuat korban merasa tersudutkan dan tertekan, bahkan depresi.
Jabatan para pelaku sering kali mengancam korban. Contohnya menejer di suatu perusahaan menyalahgunakan jabatannya dengan meminta bawahannya melakukan perbuatan seksual dengan pelaku.
Berkata-kata atau melempar lelucon bernada seksual. Memperlihatkan foto-foto berbau pornografi. Ini semua menciptakan lingkungan kerja yang tidak yaman bagi kaum perempuan.
Pelecehan di lingkungan kerja bisa membuat kaum perempuan ketakutan. Keluar dari tempat kerja (resign). Dengan kata lain bisa membunuh kaum perempuan.
Jika dibiarkan pelecehan seksual di tempat kerja dapat mengarah atau berpotensi ke perilaku kekerasan di lingkungan kerja.
BAGAIMANA MELINDUNGI PEKERJA PEREMPUAN?
Ternyata semua tempat kerja membutuhkan penegakan moralitas yang tegas. Wajib disediakan unit yang siap menerima setiap pengaduan pelecehan seksual kepada kaum wanita.
Pemerintah dan para wakil rakyat harus berperan aktif membangun tatanan baru di semua tempat kerja. Yang menjunjung tinggi martabat wanita. Dan menghukum keras setiap laki-laki predator seks.
Tak cukup hanya dengan melakukan sosialisasi dan edukasi tentang pelecehan seksual. Tak cukup dengan hanya menugasi "pejabat" HRD perusahaan melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap isu pelecehan seksual.
Tak cukup hanya dengan selebaran atau pengumuman mengenai pencegahan pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja. Sebab, yang paling utama adalah pembentukan unit pengaduan yang siap menerima laporan korban.
Kapan pun. Dan, unit pengaduan diberi kewenangan untuk langsung melaporkan kasus pelecehan seksual kepada Direktur dan Kepolisian setempat. Tindakan langsung.
Kedua, membuat program pencegahan pelecehan seksual. Bagaimana cara menangani kasus pelecehan seksual.
Ketiga, membentuk tim respon terhadap pelecehan seksual. Tim ini bisa dibentuk dari para pekerja wanita sendiri. Tentu dipilih yang cerdas dan berani.
Mereka inilah yang dapat menampung keluhan para karyawan yang mengalami pelecehan seksual. Kemudian mendampingi korban melaporkannya ke unit pengaduan.
Keempat, perusahaan membuat peraturan dan sanksi tegas terhadap pelaku pelecehan dan predator seksual. Efek jera harus diciptakan.
Analisis yang digunakan dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja ini menggunakan teori konflik Karl Marx. Karl Marx melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan yang dapat memicu konflik dan perubahan sosial.
Karl Marx juga berpendapat konflik di masyarakat muncul karena adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Kasus pelecehan seksual di tempat kerja tidak sedikit terjadi dikarenakan pelaku yang memiliki jabatan lebih tinggi.
Pelaku bisa mengancam korban jika tidak menuruti kehendaknya.
Penenganan kasus pelecehan seksual bukan hanya kepada pelaku tetapi juga kepada korban. Dengan menyediakan jasa konsultasi kepada ahlinya guna mengurangi trauma yang ditimbulkan akibat kasus pelecehan seksual.
Kalau semua hal di atas sudah dibentuk, maka kenyamanan saat bekerja dan rasa percaya diri karyawan perempuan pun otomatis tumbuh.(*)