COWASJP.COM – SYAHDAN, sebuah perdebatan kecil terjadi di kalangan umat Islam. Suatu kali, seusai sholat Jum’at. Karena khatib tidak menyeru jama’ah kepada taqwa dan bersholawat kepada Rasulullah. Padahal itu adalah dua hal dari lima syarat dan rukun khutbah.
Pertama, “Ittaqullaha haqqa tuqatihi. Wala Tamutunna wa antum muslimun.” (Bertaqwalah sebenar-benarnya taqwa. Dan janganlah kamu sekalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim).
Kedua, “Innallaha wamalaikatahu yushalluna ‘alan nabiy. Ya ayyuhal lazina amanu shallu ‘alaihi wasallimu taslima.” (Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bersholawat kepada Nabi. Wahai orang beriman, bersholawatlah kepadanya dan ucapkanlah salam kehormatan).
“Kalau begitu, sholat Jum’at itu tidak sah. Harus diganti lagi dengan sholat zuhur,” kata salah seorang di antara yang terlibat dalam perdebatan kecil itu.
“Ah, gak usah!” kata yang lain.
BACA JUGA: Satu Kata: PECAT ARTERIA DAHLAN
“Kenapa gak usah?”
“Itu kan salah khatibnya. Biar aja dia yang tanggung dosanya.”
“Lho....dalam Islam tidak ada tanggung menanggung dosa. Ini dosaku, itu dosamu. Dosaku aku yang tanggung. Dosamu kamu yang tanggung. Masing-masing menanggung dosanya sendiri-sendiri.”
Tapi lawan debat orang ini masih ngotot. “Masak sih? Kan bukan salah kita?” katanya.
“Makanya, beragama itu jangan ikut-ikutan. Jangan akal-akalan. Beragama itu harus berilmu. Harus belajar dulu, baru ngomong.”
*
Bagaimanapun, masalah dosa dan pengampunan dosa dalam Islam itu sangat tegas. Tidak ada dosa seseorang itu lalu ditanggung orang lain. Tidak ada dosa yang akan tertukar balasannya. Tidak ada orang lain yang dapat memohonkan ampunan untuk dosa yang kita lakukan. Tidak ada pastor atau pendeta yang dapat memohonkan ampunan kepada Tuhan atas dosa yang dilakukan umatnya. Seperti kepercayaan sebuah agama lain.
Menurut ajaran Islam, setiap dosa umat Islam ditanggung sendiri-sendiri oleh sang pendosa. Dia sendiri yang akan menanggung akibat dari dosa yang dia perbuat. Selama dia tidak bertobat dan minta ampun kepada Allah atas dosanya itu.
“Wala taziru waaziratan wizra ukhra”. (Dan tidaklah seorang yang berdosa akan memikul dosa orang lain). Begitu bunyi firman Allah dalam surah Al Fatir 18. Inilah pembukaan ayat itu. Yang menegaskan bahwa dosa ditanggung sendiri-sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat menanggung dosa yang bukan dia lakukan. Itu penegasan pertama.
Sedangkan yang kedua adalah bahwa jika seseorang meminta orang lain untuk memikul dosanya, sama sekali dosa itu tidak akan dipikulkan kepadanya. Walaupun orang itu adalah kerabatnya sendiri. Begitu juga sekiranya ada orang kaya yang berbuat dosa, lalu dia membayar orang lain untuk menanggung dosa itu, menerima balasan berupa azab Allah atas perbuatan dosa itu. Hal seperti itu tidak ada dalam ajaran Islam.
Ketiga, peringatan agar jangan berbuat dosa hanya dapat disampaikan kepada orang yang takut kepada azab Allah. Sekalipun dia tidak melihat Allah, tapi Allah melihatnya. Keyakinannya bahwa Allah Maha Melihat itulah yang akan membimbingnya. Agar terhindar dari berbuat dosa.
Keempat, barang siapa yang menyucikan dirinya sendiri (dari dosa), sesungguhnya dia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dia bisa saja menyerukan agar orang lain tidak melakukan perbuatan dosa. Tapi tidak untuk menanggung balasan dari perbuatan dosa itu.
Untuk memberikan ilustrasi tentang ayat di atas, Allahyarhamuhu Prof. Dr. Hamka bercerita tentang seorang gadis yang lugu. Yang dirayu oleh seorang pemuda agar mau berzina dengannya. Tapi dia menolak. Karena dia tahu itu adalah dosa dan dia takut kepada Allah.
Tapi si pemuda tidak putus asa. Dia terus merayunya. Malah bersumpah, biarlah dia nanti yang akan memikul dosanya. Sehingga gadis itu tak perlu takut. Dan keduanya terlibat dalam dosa itu. Lalu dengan begitu apakah si gadis sudah terbebas dari dosa?
Dengan tegas Buya Hamka menyatakan “Tidak”. Gadis itu tetap akan menerima balasan dari dosa yang telah diperbuatnya. Dosanya tidak akan dipikulkan kepada pemuda yang merayunya itu.
Dalam sejumlah ayat Alquran terdepan penegasan yang begitu rupa.
Bahkan Nabi Nuh, misalnya, tidak dapat menyelamatkan anaknya dari bencana banjir. Nuh sebenarnya sedih. Karena meskipun dia seorang nabi Allah, tapi dia tidak dapat mendoakan bahkan anak kandungnya sendiri. Yang baginya itu adalah anak “si biran tulang”. Buah hati belahan jiwanya. Dosa si anak harus dipertangjawabkan oleh anak itu sendiri. Seperti tergambar dalam Surah Hud 46.
Nabi Ibrahim juga tidak dapat menyelamatkan ayahnya yang bernama Azar dari ancaman neraka. Karena dia adalah pembuat sekaligus penyembah berhala. “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu? Tapi sang ayah tidak melihat peringatan dari puteranya itu adalah sesuatu yang serius. (Lihat Surah Maryam 41-48).
Nabi Luth terpaksa meninggalkan isterinya dalam bencana besar Sodom. (Ingat kisah bencana Sodom dan Gomorah). Karena dia pendosa dan tidak mau mengikuti seruan Nabi Luth. Dan Rasulullah Muhammad Saw. juga tidak dapat melindungi pamannya yang sangat menyayangi dan melindunginya, Abu Thalib. Orang yang juga sangat beliau hormati dan kasihi. Karena sang paman tidak bersedia mengikuti seruannya. Bahkan sampai detik-detik terakhir hidupnya.
Begitu sedihnya Nabi karena ditinggal mati Abu Thalib dalam keadaan kafir. Sehingga Allah mengingatkan beliau dengan menurunkan sebuah ayat Alquran: “Innakah la tahdi man ahbabta. Fainnallaha yahdi man yasyak” (Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi. Tapi Allah memberi petunjuk kepada siapa pun yang Allah kehendaki. Surah Al Qashash 55).
Masing-masing orang menanggung dosanya sendiri, walaupun mereka adalah kerabat dekat nabi dan utusan Allah. Dalam pengadilan Tuhan di Padang Mahsyar nanti, mulut mereka akan terkunci. Tapi tangan merekalah yang akan bicara dan kaki mereka akan memberikan kesaksian. Tentang apa yang sudah mereka kerjakan di dunia. Seperti firman Allah dalam surah Yasin 65.
Dalam surah Al Zalzalah 7-8, Allah memberikan penegasan lagi. Firman-Nya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walau sebesar biji zarah, dia akan melihat (ganjarannya). Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar biji zarah, dia akan melihat (balasannya).(*)
Bandung, 01 Februari 2022.-