COWASJP.COM – Tak banyak orang percaya kalau saya katakan, Margiono adalah orang yang sangat fanatik pada Alquran. Itu bisa dimaklumi, karena penampilannya tidak menggambarkan bahwa dirinya seorang agamawan.
Dia tidak pernah mengenakan surban. Di depan umum sangat jarang memakai sarung, baju koko dan kopiah.
Tapi jika kita lacak jejaknya, beberapa momentum kehidupannya sangat dekat dengan Alquran.
Atas perintah KH. Hamim Djazuli alias Gus Miek, rumah Margiono di Surabaya adalah tempat pertama kali digelar Semaan Alquran MANTAB di Surabaya.
Margiono juga orang yang pertama kali menggelar Semaan Alquran Mantab di Wilayah Jakarta dan sekitarnya. Yaitu di rumahnya di Villa Serpong, Tangsel, Provinsi Banten.
Bukan itu saja. Pada tahun 2011, Margiono mendirikan lembaga keagamaan bernama IQRA kepanjangan dari Institute Qur’an Reading Application, di kampung halamannya, di Desa Sambitan, Kecamatan Pakel, Tulungagung. Salah satu kegiatan utamanya adalah tempat belajar membaca Alquran bagi orang-orang dewasa.
Sewaktu pulang ke Sambitan beberapa waktu lalu, sebelum wafat, Margiono yang juga mantan Ketua Umum PWI Pusat itu diwawancarai Tim IQRA Sambitan.
Inilah rangkaian wawancara terakhir Tim IQRA Sambitan dengan Bos MG yang ditulis dalam bentuk tanya jawab:
(Tim IQRA: Ustadz Suyoto, Ustadzah Istingatun, Ustadzah Itinganah dan Ustadzah Siti Mudawamah).
IQRA : Bagaimana keluarga dalam memberi pendidikan agama pada Pak MG, sehingga menjadi Pak MG sekarang yang memiliki pemahaman agama sangat luas?
MG : Meskipun saya bukan dari keturunan Kyai, tapi orang tua saya, menurut saya, dari
kakek, bapak, adalah orang yang tidak jauh dari kehidupan agama. Masjid besar di Sambitan itu di rumah Mbah saya. Bapak juga bikin mushala. Meskipun bukan Kyai, tapi saya juga berasal dari lingkungan yang dekat juga dengan agama.
Mencari ilmu itu tidak boleh berhenti. Dalam Islam, kewajiban belajar itu mulai di ayunan sampai liang lahat. Artinya mulai kecil sampai meninggal. Tidak pernah boleh berhenti. Apalagi belajar agama. Harus terus kita lakukan. Saya belajar Islam dari segala arah ilmu. Mendengarkan ceramah ulama, diskusi dengan para cendekiawan, membaca buku, dan mengaji pada kehidupan, merenung berbagai kejadian di jagat kang gumelar (alam semesta) ini.
IQRA : Bagaimana Pak MG belajar agama di masa kecil ?
MG : Saya pernah belajar agama di madrasah dan ngaji di masjid. Bar ngaji turu ning mesjid, ning langgar. ) Setelah ngaji tidur di masjid, di langgar). Ketepatan nggene Embah biyen enek masjide gedhe. Turune riyen sek cilik kalih konco-konco nggih ten mriko. Lek enek senior sing ngaji ngoten yo melok ngrungokne. Tapi lek madrasah ten wingking malih.
Gedung IQRA di Desa Sambitan, Kecamatan Pakel, Kabupaten Tulungagung. (FOTO: IQRA)
(Kebetulan di rumah Kakek ada masjid besar. Dahulu semasa kecil saya kalau tidur bersama teman-teman ya di masjid itu. Kalau ada yang senior ngaji, kita ikut mendengarkan. Tapi kalau Madrasah kami ke belakang lagi).
IQRA : Apakah penanaman pendidikan di masa kecil itu mewarnai pemikiran dan sikap hidup Pak MG sampai sekarang ?
MG : Sangat, ... sangat mewarnai. Semua pengalaman masa kecil itu menentukan kehidupan sekarang. Karena masa kecil itu masa yang sangat menentukan. Misalnya terbiasa bergaul dengan teman-teman yang dari kalangan pesantren, pondok. Persaudaraannya kental. Teman-teman yang dari santri itu dari kecil hidupnya lewat cara itu. Jadi sangat berpengaruh kebiasaan-kebiasaan kecil itu, mau tidak mau akan terus berlanjut hingga sekarang.
IQRA : Pak MG pada masa remaja apa juga sering sowan dan silaturrahim ke ulama-ulama?
MG : Iya. Diajak teman-teman yang pernah mondok di pesantren. Terutama kalau Hari Raya Idul Fitrii ya diajak sowan ke mana gitu. Misalnya ke Pondok Mangunsari, terus ke Bendo, dan ke tempat yang dikenal oleh teman-teman. Saya selalu diajak waktu saya sekolah di Malang, ketika pulang ke Tulungagung, yo diajak lagi sowan.
IQRA : Bagaimana Pak MG memberikan pendidikan agama kepada keluarga dan putra-putrinya ?
MG : Sama saja. Saya juga seperti keluarga yang lain. Saya lebih mengenalkan agama dan mengajarkan agama kepada anak-anak. Terutama bukan sekadar sebagai keyakinan, tapi juga sebagai pemahaman logika yang baik. Maksudnya beragama itu bukan sekadar keyakinan saja, tapi juga pemahaman. Misalnya shalat, zakat. Kenapa itu harus kita lakukan. Bukan hanya sekadar karena perintah saja, tapi manfaat dari itu juga harus pelan-pelan kita sampaikan. Tidak harus diberitahukan secara resmi. Misalnya setiap ada kesempatan pas makan, pas ngobrol. Sadar tidak sadar kita sudah memberikan pelajaran. Jadi tidak harus dari pendidikan yang formal saja, tapi juga dari hubungan tiap hari dan keteladanan.
IQRA : Semasa hidupnya, KH Hamim Djazuli atau Gus Mik juga berhubungan dekat dengan Pak MG. Bagaimana ceritanya sehingga bisa nyambung dengan beliau ?
MG : Gus Mik adalah tokoh besar. Hanya orang besar saja yang bisa menghasilkan karya
besar. Semaan Alquran yang merupakan warisan dari beliau, sampai sekarang terus membawa kemaslahatan umat banyak, adalah kegiatan besar.
Saya bertemu Gus Mik di Surabaya. Beliau memutuskan hidup di Surabaya. Waktu itu saya sebagai wartawan Jawa Pos di Surabaya. Kebetulan kalau saat-saat tertentu, saya selalu mengikuti beliau. Saya termasuk orang yang senang mengikuti kegiatan dan kehidupan Gus Mik. Kalau malam beliau ketemu dengan tukang becak, saya ikut, dengan pedagang kaki lima, saya ikut. Pas ngopi di hotel, saya selalu mengikuti yang apa beliau lakukan dan kelihatannya beliau memperhatikan saya sebagai salah satu orang yang biasa mengikuti.
Tim IQRA. (FOTO: Abu Muslich)
IQRA : Kabarnya Semaan Qur’an pertama kali di Surabaya dilaksanakan di rumah Pak MG.
Bagaimana prosesnya ?
MG : Waktu itu akan dibuka semaan di Surabaya. Sudah ditentukan tempatnya, sudah ditunjuk penyelenggaranya. Kurang beberapa hari tiba-tiba tuan rumah tempat sema’an menyatakan tidak siap. Gus Mik langsung menunjuk saya. Ya saya langsung siap. Tidak pakai berpikir segala. Dalam hal kebaikan, saya tidak pernah berpikir. Untuk biaya dan lain sebagainya, itu urusan belakang. Gusti Allah pasti menolong kita.
IQRA : Berapa besar biayanya, dan dari mana Pak MG mendapatkannya?
MG : Tentang pembiayaannya waktu itu cukup banyak. Tahun 1990 sudah menghabiskan
dana sekitar Rp 600 juta. Waktu itu saya juga belum punya kemampuan untuk itu. Tapi ketika saya ditanya Gus Mik, apa siap?
Saya jawab siap Gus.
Janji Allah itu pasti. Gusti Allah tidak pernah mengingkari janji. Terhadap hamba yang berjalan di jalan-Nya. Akan diberi rizki yang datangnya dari arah tidak disangka-sangka. Dan, betul. Untuk acara Sema’an pertama kali di Surabaya tersebut, ada saja teman-teman yang membantu. Alhamdulillah, sukses.
IQRA : Pak MG pernah memboyong jamaah, untuk menggelar Semaan Qur’an ke Jakarta. Bagaimana kok benar-benar bisa terselenggara ?
MG : Di rumah Jakarta sema’an, insyaAllah dilaksanakan tahun 2000. Itu merupakan
semaan pertama di daerah itu. Dari Jawa Timur kalau tidak salah ada 40-50 bus. Biayanya juga besar, tapi Alhamdulillah bisa sukses. Kalau niatan baik Allah pasti bantu. Kita ikhtiar.
IQRA : Pak MG dikenal masyarakat sebagai orang yang loman, dermawan. Dan sepertinya kalau membantu untuk kegiatan keagamaan tidak pernah eman-eman, tidak pernah ngitung jumlahnya. Dari mana Pak Margiono mendapatkan dana-dana untuk membantu kegiatan keagamaan yang jumlahnya sangat besar tersebut ?
KH Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek) Ploso Mojo Kediri. (FOTO: kuliahislam.com)
MG : Ya Rezeki dari Allah. Rezeki itu ada yang sumbernya jelas, ada yang kadang-kadang
datang tiba-tiba, tidak disangka-sangka. Saya merasakan banyak sekali rezeki yang tidak disangka-sangka itu sering kali datang pada saya. Dan itu rezeki dari Allah, sumbernya dari Allah. Dari orang yang baik, yang sama-sama berjuang dengan saya, mungkin suatu saat dari orang-orang yang pernah kita bantu atau kita tolong. Dalam kehidupan saya mungkin lebih banyak dari rezeki yang tidak disangka-sangka.
IQRA : Apa tidak takut kehabisan uang?
MG : Kalau uang habis itu kan biasa. Maksudnya kalau orang tidak punya uang itu kan biasa. Saya ini dasarnya tidak punya uang. Yang saya takutkan kalau rezeki saya kebanyakan uang, bingung ngaturnya, gitu maksudnya. Kalau uang habis itu dah biasa. Karena dari kecil saya juga tidak punya uang. Saya takut kalau uang buanyak, nanti tidak bisa amanah, ke mana itu akan disalurkan. Ini saya siap-siap untuk mendapatkan rezeki yang banyak…he..he..he..”
IQRA : Bagaimana ceritanya hingga Pak MG mendirikan IQRA di Sambitan?
MG : IQRA itu ide seketika juga, idenya sederhana. Saya ingin ada tempat ngumpul yang mengomongkan tentang agama. Tidak hanya ngumpul omong-omong biasa, tidak ngumpul omong-omong kehidupan sehari-hari, ngumpul ngomong adu ayam, main remi, main kartu, tidak hanya seperti itu. Kalau ngumpul ya ngaji, paling tidak mendengarkan orang ngaji. Memulai itu dari yang sederhana saja. Itu cita-cita IQRA.
IQRA : Kenapa harus di Sambitan?
MG : Kalau tidak di Sambitan di mana lagi? Rumah saya kan di Sambitan.
IQRA : Kenapa program ini hanya mengutamakan jamaah dewasa ?
MG : Kalau TPQ kan banyak, tempat belajar Al-Qur’an untuk anak-anak kan banyak. Tapi tempat belajar Al-Qur'an untuk orang dewasa belum ada. Boleh dikata TPQ ada di setiap desa. Ada 10 atau 15 lembaga.
IQRA : Pembiayaan kegiatan IQRA cukup besar dan ditanggung sendiri oleh Pak MG.
Kenapa dan bagaimana mendapatkan biaya ini ?
MG : Saya orang yang tidak pernah putus asa. Uang itu kadang ada, tidak tepat waktu, kadang datang terlambat, kadang ada tapi tidak cukup. Kadang-kadang kurang, itu biasa saja. Dalam kehidupan kalau kurang tidak apa-apa. Tapi Agama tidak boleh lemah karena itu. Kalau lebih juga tidak usah terlalu bergembira. Maksud saya gini, saya ingin memberi pandangan bahwa perjuangan agama itu tidak harus uang. Yang diutamakan adalah tekad. Sebab, banyak orang yang mampu tapi tidak mau melakukan. Belum tentu saya lebih kaya dari mereka yang banyak rezeki dari Allah, tapi saya ya berani. Wong demi kebaikan kok tidak berani. Teman-teman juga saya ajak begitu. Karena uang bukan satu-satunya ukuran.
IQRA : Kualitas program-program keagamaan di IQRA adalah kelas A semua. Ustadz-ustadz pengajarnya, mubaligh-mubaligh yang ngaji setiap Ahad pagi, semua mubaligh top. Kenapa semua digratiskan?
MG : Lho … saya tidak pernah menggratiskan. Tapi saya juga tidak pernah memungut. Jadi ya terserah saja. Di IQRA kan juga ada kotak infaq, ya terserah saja. Kan kalau itu nanti dipahami sebagai satu kebaikan, orang harus boleh bantu, harus bayar itu juga boleh. Jadi kalau diumumkan digratiskan, seolah-olah saya akan melarang orang untuk ikut berbuat kebaikan.
IQRA : Apakah ini tidak terlalu memanjakan jamaah?
MG : Tidak. Itu tidak memanjakan. Jamaah semua orang yang cerdas. Bisa berpikir secara baik.
IQRA : Apakah IQRA ke depannya tidak mengembangkan ke arah pendidikan formal atau pesantren?
MG : Bisa juga, tapi itu kan satu pekerjaan tersendiri. Maksudnya ada tatanan tersendiri. Bagi saya kalau IQRA itu bisa bertahan, berkembang dengan baik seperti ini saja saya sudah senang. Kalau mungkin nanti menjadi formal ya mungkin setting-nya lain. Ya kita bikin yang model lain lagi, karena persyaratan untuk pendidikan formal dan pendidikan IQRA kan beda. IQRA itu tempat ngumpul, tempat ngaji, tempat ngobrol. Di situ belajar seikhlasnya, disiplinnya juga monggo… terserah bagaimana yang baik. Kalau sudah sekolah formal kan lain.
IQRA : Pak MG, boleh dikatakan begitu fanatik Al-Qur’an. Kenapa begitu?
MG : Ya bukan fanatik, Al-Qur’an itu kan memang hidup kita. Jadi nilai atau ajaran yang selengkap dan sesempurna seperti Al-Qur’an itu menurut saya tidak ada. Itu pelajaran yang sempurna, yang nilai-nilainya bukan hanya ilmu, juga tapi petunjuk. Kalau ilmu pemahamannya kan untuk memintarkan. Kalau Al-Qur’an pemandu terbaik, untuk kehidupan yang terbaik.
IQRA : Di tengah kesibukan pekerjaan di Jakarta, Pak MG juga memiliki perhatian besar kepada budaya dan kesenian Jawa, wayang misalnya. Bahkan beberapa kali Pak MG mendalang. Bagaimana jelasnya Pak?
MG : Wayang itu kalau di Jawa, khususnya Jawa Timur, lebih khusus lagi Tulungagung, menurut saya sarana dan forum yang sangat baik untuk pembelajaran masyarakat. Jadi menurut saya wayang itu harus didekati oleh Islam. Supaya wayang bisa dipakai untuk dakwah yang baik sesuai dengan budaya masyakarat setempat. Jadi wayang itu sebagai bagian dari budaya Jawa, tapi wayang itu sudah dimodernkan oleh para wali, khususnya Walisongo. Ceritanya juga sudah dimodernkan. Maksudnya di modernkan itu sudah dimasukkan nilai Islam, bukan dimasuki nilai mahabarata yang Hindu, tapi sudah banyak yang Islam. Jadi menurut saya ini baik, mencintai budaya tapi sekaligus menyebarkan nilai agama. Itu harus . . . . dengan semangat !
IQRA : Apa motto hidup Pak MG?
MG : Ha.. ha .. ha .. saya hidup itu tidak punya motto, tidak punya slogan. Tapi saya merasa Islam itu sudah cukup menjadi agama kita. Saya sering ngomong, kalau Allah itu berfirman bahwa “Sudah Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada mu, dan aku rela Islam menjadi agama-Mu”. Jadi dalam agama, kesempurnaan dan nikmat itu menjadi satu. Sudah tidak ada lagi yang lebih dari itu. Jadi dalam beragama, kenikmatan dan kesempurnaan hidup itu sudah dikasih oleh Allah. Tidak ada motto yang lebih baik dari itu lagi. Motto pasti cuma menggambil sedikit, ambil sebagian dari kesempurnaan hidup. Misalnya : “hidup saya harus kerja keras” itu sudah biasa. Kerja keras itu kan cuplikan ayat. Allah sudah kasih motto yang terbaik, Ku sempurnakan nikmat-Ku kepada mu, dan Aku rela Islam menjadi agamamu.
IQRA : Apa Pak MG memiliki wirid khusus?
MG : Ada Wiridan. Pasti ada. Wiridan terbaik itu kan “Laaillaha illallah Muhammad Rasulullah”. Itu sudah lengkap. Tuntas. Apa ada yang lebih baik dari itu. Kalimah ini juga yang kita perjuangkan untuk kita baca di akhir hayat kita. Ditambah lagi “Subhanallah walhamdulillah wala illaha illallah” itu yang terbaik. Malah ada dua yang terbaik lagi. “Rabbana atina fiddunnya hasanah wa fil akhirati hasanah. Sudah lengkap. Jadi kita sudah tidak cari ijazah lagi. Itu pasti yang terbaik. Itu kesempurnaan agama dan nilai dasar agama yang paling tinggi.(HABIS)