COWASJP.COM – Hari itu, hari pertama. September 2019. Saya ngajar di Fakultas Komunikasi dan Bisnis Universitas Ciputra (UCI). Mata kuliah Imaging & Social Contruction of Mass Media. Menciptakan branding melalui creative massage di media maintream dan medsos. Bukan merilis berita. Kalau hanya merilis berita siapa pun bisa.
Ada 50 mahasiswa-mahasiswi di kelas itu. Sangat surprise. Mungkin itu bagi saya. Ternyata sangat banyak mahasiswa – mahasiswi asal SMA Islam. Ada dari SMA Muhammadiyah Surabaya. SMA Al-Hikmah yang cukup terkenal itu. Juga dari SMA-SMA Islam lain di luar Jawa. Makassar, Bali, dan Batam. Jumlahnya separuh dari mahasiswa-mahasiswi asal SMA Petra, St Louis, dan Santa Maria.
Tak lama surprise saya sempat hilang. Mereka yang berasal dari SMA Islam itu dari keluarga pengusaha. Orang tuanya berharap sang anak bisa seperti Pak Ci. Almarhum Ciputra. Menjadi pengusaha sukses seperti Pak Ci. Founder UCI.
“Saya harus meneruskan usaha bapak, pak,” kata salah seorang mahasiswa asal SMA Muhammdiyah ke saya. Orang tua dia pengembang seperti Pak Ci. *
Suatu hari, saya kontak Mas Dhimam Abror. Teman di Jawa Pos dulu. Abror, mantan pemimpin redaksi Jawa Pos 2001 – 2002. Keluarga besar Mas Abror, wabil khusus sang ayah Kiai Djuraid (almarhum), semasa hidup salah seorang pimpinan PW (Pengurus Wilayah) Muhammayah Jawa Timur. Salah satu sekolah SMA Muhammadiyah di kawasan Barat Surabaya yang megah dan modern didirikan Kiai Djuraid.
“Itu indikasi kekurang berhasilan SMA-SMA Islam,” kata Abror ke saya. Gagal menjawab harapan besar orang tua para siswa SMA Islam. Dari kelas menengah yang punya bisnis. Berharap si anak menjadi pengusaha. Atau meneruskan usaha orang tuanya. Namun, pesimistis. Pilihannya lalu ke UCI. “Berharap agar si anak menjadi pengusaha besar seperti Pak Ci,” tutur Abror ke saya.
Saya pun memahami Abror.
Namun, surprise saya muncul lagi. Sejalan dengan hari demi hari perkuliahan. Ternyata ini yang jarang saya temui. Pagaulan antar mahasiswa asal SMA Islam dengan mahasiswa asal SMA Petra, St Louis, atau Santa Maria yang kebanyakan Kristen atau Katolik tak ada lagi sekat-sekat agama. Tak ada lagi sentimen etnis.
Mereka bebas berteman. Tak juga ada sentimen fanatis keagamaan dalam keseharian mereka. *
Ini pula yang saya kagum. Antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa Tionghoa punah sudah gesekan etnis. Di ruang kuliah mereka duduk tanpa ada sekat-sekat etnis. Sudah campur baur. Tidak lagi ada sentimen SARA. Ada mahasiswa asal Kampung Ampel menempel terus teman mahasiswinya yang Tionghoa.
Suatu hari di sela-sela kuliah. Ada mahasiswi Tionghoa minta izin ke saya. Mau mendulang makanan kecil saat temannya yang pribumi muslim yang hari itu ulang tahun.
Bisik-bisik –benar tidaknya saya kurang tahu— saya dengar ada mahasiswi Tionghoa pacaran dengan mahasiswa pribumi muslim.
Dalam hati saya berkata: “Kalangan orang tua, kakek-nenek yang pribumi masih banyak yang anti Tionghoa, anak cucu mereka sudah bebas merdeka. Intim berteman.”(*)