COWASJP.COM – Omicron semakin mengepakkan sayapnya, menyebar ke berbagai penjuru dunia. Termasuk Indonesia. Beberapa waktu lalu kasus positif Covid-19 meningkat di Eropa. Sekarang di Indonesia.
Kini total sejak 2020 sampai kemarin 395.882.670 orang terkena serangan virus Covid-19, 314 743.461 sembuh, 5.758.593 meninggal dunia.
Yang terbaru varian Omicron. Di Swiss tercatat dalam 7 hari terakhir rata-rata sebanyak 34 ribu kasus per hari. Hampir sama dengan Indonesia. (Kemarin 36 ribu kasus baru dalam sehari).
Namun di Swiss peraturan untuk kembali WFO (Work From Office) sudah mulai dibuka lagi.
Papi Fariz Hidayat (suami penulis) sempat selama 1 bulan, lebih sering WFH (Work From Home). Pergi ke kantor hanya sesekali yang sifatnya urgent. Apabila masuk kantor harus booked ruangan tersendiri di mana slotnya sangat terbatas.
BACA JUGA: Diskon Khusus di Hari Imlek dan Tips Memilih Apartemen di Manca Negara​
Kegiatan di sekolah juga tetap berjalan offline (pembelajaran tatap muka langsung). Tetap memakai masker untuk anak-anak usia di atas 12 tahun.
Semua perlengkapan sekolah sudah ada nama Zirco. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Saya sempat terkejut ketika sekolah mengadakan kegiatan yang melibatkan orang tua untuk bisa berkunjung melihat putra-putrinya beraktifitas di kelas.
Beberapa waktu lalu ada surat edaran yang memberikan informasi bahwa orang tua (ayah/ibu) bisa datang ke kelas.
Ada 2 sesi yang ditawarkan, yaitu sesi pagi dan sesi siang. Sesi pagi dimulai pada pukul 8.30 CET (Central European Time) hingga 10.00 CET yang merupakan waktu untuk snack time. Setelah murid selesai snack time orang tua bisa meninggalkan kelas. Sedangkan sesi kedua dimulai pada pukul 10.15 CET hingga 11.50 CET.
Anak saya, Zirco, memilih untuk didatangi pada sesi kedua. Maksudnya agar dia bisa langsung pulang bersama orang tuanya.
Kamis, 3 Februari 2022 sekitar jam 10.15 CET saya dengan semangat sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Zygmund (adik Zirco) tidak ikut karena takut rewel di kelas kakaknya. Lebih baik tetap bersama Papi Fariz di rumah. Masih ingat dengan jelas 3 bulan pertama Zirco hanya duduk murung menyendiri menikmati bekalnya. Tidak bermain dengan teman-temannya. Bahkan tidak bergabung duduk berdampingan untuk makan bersama dengan teman-teman sekelasnya.
Mengapa begitu?
Bahasa menjadi kendala terbesar. Namun 3 Februari itu saya sudah melihat wajah gembira Zirco saat berlari-larian bersama teman-temannya. Saya tidak tahu bagaimana mereka berkomunikasi, apakah dengan Bahasa Prancis atau Bahasa Tubuh.
Sehari sebelumnya saya bertemu mamanya Louise (teman Zirco di sekolah). Mama teman Zirco tersebut berkata bahwa Bahasa Prancis Zirco sudah semakin baik. Info tersebut dia dapatkan dari Louise.
Rutinitas sebelum masuk ke kelas adalah para siswa bergandengan tangan, membentuk 2 baris, rapi, dan tenang. Selama perjalanan ke kelas 17 siswa tidak boleh saling mengobrol. Harus dalam kondisi diam, bahkan mereka meletakkan telunjuk tangan di mulut yang menandakan ssttt jangan berisik.
Gantungan jaket dan tas di luar kelas. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Sampai di depan kelas harus meletakkan seluruh jaket, topi, syal, sepatu, tas di tempat yang sudah disediakan. Sudah tertera nama masing-masing di gantungannya. Sehingga murid tidak berebut tempat. Sebelum masuk ke kelas mereka ganti sepatu kelas. Sepatu kelas ini bentuknya seperti selop yang memudahkan siswa memakai dan melepas sendiri. Siswa sejak dini sudah diajarkan untuk mandiri dan bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
Murid bergantian cuci tangan di wastafel yang sudah tersedia di dalam kelas. Di samping wastafel juga ada gelas plastik yang sudah ada namanya. Mereka bisa minum kapanpun mereka mau. Yang penting sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Madame Isabelle – guru Zirco menjelaskan bahwa di sesi 1 biasanya pelajaran diawali dengan membacakan cerita dari buku oleh guru. Kemudian guru memberikan instruksi untuk mengambil mainan atau melakukan aktifitas yang sama. Misal seluruh murid wajib mewarnai atau mengambil permainan puzzle semua. Tidak ada handout atau tugas membaca, menulis, atau soal matematika penjumlahan pengurangan. Bahkan tidak ada PR untuk dikerjakan dirumah.
Berbeda dengan kurikulum di Indonesia yang mewajibkan anak umur 5 tahun sudah harus bisa berhitung, membaca, dan menulis.
Di Swiss, meskipun Zirco hitungannya sudah kelas 1 SD, kegiatannya di sekolah hanya bermain. Bermain yang terarah. Saya melihat di dalam kelas banyak sekali mainan yang disediakan. Ada puzzle, lego, buku cerita, balok-balok konstruksi, media melukis, menggambar, dan mewarnai. Mobil-mobilan, kereta, kelereng, bermain pancing, cosplay bermain rumah-rumahan bersama boneka, jualan di supermarket, hingga ada spot untuk tidur-tiduran lengkap dengan bantal dan selimut.
Zirco memilih mainan kelereng untuk aktivitas setelah snack time. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Semua mainan ini boleh dimainkan oleh seluruh siswa dan pastinya wajib untuk clean up setelah bermain. Lagi-lagi belajar mandiri untuk memilih mainan dan mandiri membereskannya.
Sesi kedua setelah snack time, murid melanjutkan aktifitas bermain di kelas kurang lebih selama 45 menit. Beberapa kali saya diajak mengobrol dengan teman Zirco, tapi juga tidak paham dengan Bahasa Prancis, hehe.
Meskipun jumlah murid 17 orang, namun suara di kelas tidak gaduh. Mereka tidak lari-lari dan tidak teriak-teriak. Fokus dengan permainan yang sedang mereka kerjakan.
Guru membiarkan mereka berkreasi, karena ini adalah masa emas pertumbuhan mereka. Mereka bisa membuat ide-ide membangun gedung dari balok-balok kayu atau meronce manik-manik untuk menghasilkan kalung.
Kertas mewarnai, spidol, pensil warna, cat air, buku gambar, dan peralatan lainnya sudah disediakan dari sekolah. Tidak perlu membeli, namun tidak bisa dibawa pulang.
Zirco menunjukkan hasil art and craft-nya di sekolah yang tersimpan rapi di dalam trofast storage box. Seperti biasa sudah rapi ada nama masing-masing siswa. Oh ya, juga tersedia 2 komputer Apple iMac yang bisa digunakan oleh siswa untuk bermain game interaktif. Ada slot nama siswa yang sudah ditulis di kertas. Kalau sudah bermain wajib mencoret namanya. Ini mengartikan bisa bergantian menggunakan komputer bersama teman-temannya.
Sebelum kelas diakhiri, guru memutarkan musik pengantar tidur. Ini menandakan seluruh mainan segera di clean up. Siswa kembali ke meja masing-masing, duduk manis, dan meletakkan kepalanya di atas meja seperti posisi tidur. Tidak mengobrol dengan temannya.
Kelas menjadi sunyi. Saya takjub sekali 1 orang guru bisa mengendalikan 17-19 siswa sehari-harinya. Setelah semua tenang, Madame Isabelle membacakan cerita tentang hewan-hewan. Siswa beranjak pindah dari kursi menuju lantai untuk duduk bersila. Siswa antusias menjawab pertanyaan dari guru. Sebelum menjawab wajib mengangkat tangan terlebih dahulu, setelah ditunjuk baru menjawab. Benar-benar terstruktur.
Puzzle menjadi mainan favorit Zirco. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Keluar kelas tanpa ada cium tangan dengan guru, langsung mengemas barang-barang dan baris dengan rapi untuk keluar ke halaman sekolah tempat para orang tua menjemput.
Siswa mengucapkan Au revoir artinya Good bye saat berpisah dengan gurunya.
“Zirco sudah menunjukkan improvement sangat bagus, Anda tidak perlu khawatir lagi. Dalam segi kognitif untuk mengerjakan kegiatan sudah sangat baik, tinggal melatih percaya diri untuk berkomunikasi Bahasa Prancis”, begitu pesan yang disampaikan oleh guru Zirco.
Saya sangat bahagia sekali mendengarnya. Zirco berkata, “Mami saya suka sekolah di Lausanne, tidak ingin kembali ke Indonesia. Sekolahnya enak cuma main-main saja malah disuruh tidur siang, tidak ada PR lagi”.
Setiap hari Jumat dia selalu sedih karena Sabtu dan Minggu sekolah libur. Zirco ingin cepat kembali ke sekolah lagi.
Salah satu hal positif yang membuat siswa tidak drama di pagi hari dan happy untuk berangkat ke sekolah.(*)