COWASJP.COM – Menjalankan liga olahraga di tengah pandemi seharusnya memiliki tiga prinsip yang harus dijalankan secara konsisten.
Satu: Show must go on. Pertandingan sebisa mungkin harus berjalan.
Dua: Safety is priority. Keselamatan dan kesehatan harus diutamakan.
Tiga: Fairness demi menyuguhkan the best show possible.
Walau saya punya pengalaman belasan tahun sebagai pengelola liga olahraga, termasuk lima tahun jadi commissioner liga basket profesional, saya mengakui tidak ada tantangan sebesar era pandemi ini.
Kita semua tidak boleh sok tahu, sok lebih paham. Namun, kita semua harus punya prinsip untuk menyuguhkan yang terbaik sebisa mungkin. Dalam segala hal, nawaitu-nya harus benar. Soal ini, saya juga pernah menulis soal Nawaitu Wasit (https://www.happywednesday.id/r/227/nawaitu-wasit).
Sejak awal musim Liga 1 ini dimulai, saya berkali-kali bilang. Bahwa musim ini kita harus selalu berhati-hati dalam mencanangkan ekspektasi dan target. Segala persiapan terbaik, segala niatan terbaik, bisa berubah ketika masalah tiba terkait dengan penyebaran virus laknat itu.
Contohnya sudah banyak di berbagai penjuru dunia. Tim-tim kuat di olahraga apa pun berantakan karena banyak pemainnya positif. Segala antisipasi, segala persiapan, bisa terbuang begitu saja.
Dan itu masih bisa terjadi di liga-liga terkaya, di tim-tim terkaya, di negara-negara yang maju. Apalagi di liga dan negara seperti di Indonesia tercinta ini.
Benar saja. Yang tidak diinginkan (namun seharusnya selalu diantisipasikan) itu terjadi. Beberapa pertandingan tertunda. Beberapa pertandingan terkompromi karena tidak kompletnya tim.
Ketika masalah ini mulai melanda, ada seorang bos tim mengontak saya. Bilang kalau ini gara-gara pemain asing yang berkeliaran tidak semestinya di Bali. Waktu itu saya bilang, pemain-pemain asing saya di Persebaya baik-baik saja. Karena waktu itu memang pemain-pemain asing saya baik-baik saja.
Dan tim kami kan selama jeda seri tidak di Bali. Kami memberi kesempatan para pemain balik ke Surabaya. Baru kembali ke Bali dua hari sebelum pertandingan lagi. Sebelum penerbangan, semua baik-baik saja hasil swab-nya (walau antigen).
Begitu masalah tiba-tiba merebak, setiap hari saya berkomunikasi dengan dokter tim. Walau mungkin tidak sempurna, tim kami telah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi kemungkinan penyebaran lebih luas di tim. Saya tahu tidak semua tim mampu melakukan itu. Bahkan mungkin belum tentu mau repot seperti kami.
Sebelum pertandingan melawan Persipura, Minggu, 6 Februari lalu, barisan manajemen tambahan berangkat dari Surabaya untuk memastikan kondisi tim terkendali. Mengingat pada laga melawan PSIS Semarang tim kami pas-pasan, hanya 15 pemain termasuk cadangan.
Indikasinya, setelah laga PSIS itu situasi lebih terkendali. Pembagian kamar pemain dan lain-lain sudah ditata ulang. Pada 4 Februari, kami melakukan swab PCR mandiri, untuk mendata ulang lagi status pemain sebelum laga melawan Persipura. Untuk memastikan siapa saja bisa ikut official training agar latihan terakhir itu tidak sia-sia.
Hasilnya menjanjikan, hanya beberapa pemain harus kami pisahkan. Tidak ada indikasi pemain inti kami positif. Beberapa yang sebelumnya positif juga kami yakini besoknya sudah akan negatif, karena CT value-nya tinggi sekali. Di kisaran atau di atas 35.
Bahkan kami percaya diri, dengan segala langkah antisipasi ini, di laga setelah Persipura tim ini sudah akan full team lagi.
Ternyata, hasil tes PCR tanggal 5 Februari sore yang dilakukan lewat liga memberi hasil mengejutkan. Banyak pemain yang seharusnya negatif, malah positif. Bahkan para pemain kunci, termasuk beberapa pemain asing utama.
Hasil tes itu baru kami dapatkan pagi hari tanggal 6 Februari. Sore/malam itu, pukul 19.15 WITA, kami bertanding lawan Persipura.
Pagi itu juga, kami berinisiatif melakukan swab PCR susulan. Semua pemain dan ofisial kita swab ulang. Kali ini, kami melakukannya di rumah sakit yang sama dengan yang digunakan oleh liga. Kami harus membayar ekstra, karena kami minta hasilnya secepat mungkin. Apalah artinya puluhan juta rupiah dibandingkan dengan situasi dan keselamatan anggota tim.
Sore itu, pukul 16.50 WITA, hasilnya keluar. Semua pemain yang dinyatakan positif lewat tes liga, ternyata negatif. Walau ada yang juga positif, termasuk pelatih kepala.
TANGGAL 4 NEGATIF, TANGGAL 5 POSITIF, TANGGAL 6 NEGATIF?
Luar biasa. Tes tanggal 4 negatif, tes tanggal 5 sore positif, tes tanggal 6 pagi negatif. Dan dua tes terakhir dilakukan di tempat yang sama. Interesting!
Menurut aturan liga, yang ditegaskan setelah kasus-kasus awal terjadi, kami tidak boleh menggunakan hasil tes yang bukan dilakukan oleh liga. Jadi, hasil tes susulan itu tidak akan bisa digunakan untuk mengubah susunan pemain di pertandingan hari itu.
Ada klub lain yang juga melakukan tes pembanding dengan hasil berbeda (walau hanya untuk satu-dua pemain), dan hasil tes pembanding itu tidak diterima pula. Kebetulan mungkin klub itu tidak ingin ribut atau bagaimana.
Apakah ini menunjukkan adanya nawaitu yang kurang baik, atau alasan lain, terserahlah. Bagi kami, tes susulan itu tetap penting. Karena untuk memetakan lagi kondisi tim, supaya di laga-laga selanjutnya lebih bisa mengantisipasi. Plus, karena sudah begitu banyak yang kena, tim kami kemungkinan lebih "aman" di sisa musim. Tinggal bagaimana melindungi dan menjaga kondisi segelintir pemain yang belum kena. Kalau kami tidak melakukan tes susulan itu, kami tidak bisa melakukan pemetaan tambahan.
Presiden Klub Persebaya Surabaya, Azrul Ananda tahun 2018.(FOTO: Satrio Wicaksono for Persebaya)
Dari kejadian ini, memang perasaan jadi campur aduk tidak karuan. Antara emosi, kesal, hingga ketawa sendiri kenapa kok bisa seperti ini. Semoga saja memang bukan karena nawaitu-nya liga ini jelek. Karena kalau nawaitu-nya jelek, ya buat apa klub-klub mengeluarkan biaya begitu besar untuk "memajukan sepak bola Indonesia."
Saya mencoba berpikir dingin. Minimal, liga kita sudah mencoba menerapkan prinsip nomor satu: Show must go on. Juga sepertinya secara prinsip mencoba mengutamakan keselamatan. Tinggal prinsip ketiga saja yang kurang utuh cara memandangnya, atau mungkin penerapan manajemen praktisnya. Yaitu untuk selalu mengedepankan fairness demi menyuguhkan show terbaik.
Saya juga punya uneg-uneg berdasarkan pengamatan (intens) saya terhadap liga-liga olahraga di luar negeri. Khususnya di Amerika, di mana saya punya banyak teman dan kenalan.
Saya mau ambil contoh NBA dan NFL. Yang musim ini juga sempat terganggu badai positif, mengakibatkan banyak tim sempat tampil tidak utuh. Beberapa pertandingan juga sempat tertunda.
Kedua liga itu menerapkan anjuran dan political will dari pemerintah federal (pusat). Bahwa harus menatap ke depan dan menyiapkan protokol dan solusi situasi yang mengarah ke normal lagi. Tetap show must go on. Tetap mengutamakan keselamatan dengan berbasiskan sains. Tetap mengutamakan fairness.
Di Amerika sekarang, kalau Anda positif, maka dalam lima hari Anda sudah boleh berkeliaran bebas lagi. Tidak perlu lagi tes swab. Silakan beredar. Yang penting tetap pakai masker saja di dekat orang lain. Apalagi kalau sudah divaksin (apalagi kalau sudah di-booster). Mereka menyikapi ini seolah sudah seperti flu biasa.
Liga NBA dan NFL menerapkan itu. Pemain yang positif sudah boleh kembali bertanding dalam hitungan lima hari. Memang dengan catatan harus lolos tes dulu.
Di sini NBA (dengan panduan sains) menetapkan apa itu lolos tes PCR. Sebelum pergantian tahun, pemain dinyatakan boleh kembali bertanding kalau CT value-nya di angka 35 atau lebih tinggi. Sekarang: Silakan bermain kalau CT value sudah di atas 30! Ya, hanya 30. Karena di sana, angka 30 sudah dianggap cukup aman bagi orang lain.
Kalau di NFL, yang bertanding seminggu sekali, pemain boleh kembali ke pertandingan kalau sudah dua kali tes negatif. Tapi di sini ada syarat uniknya. Mereka boleh mengambil dua tes itu secara bersamaan, hingga hitungan jam sebelum pertandingan.
Dalam hal ini, NFL menerapkan akal sehat. Dua tes bersamaan akan menunjukkan konsistensi hasil tes. Kalau dua-duanya negatif, silakan main. Kalau salah satunya negatif, tunggu dulu. Gampang bukan?
Pemain diberi kesempatan sampai sebelum pertandingan untuk menunjukkan bahwa dia sudah layak kembali. Walau itu pun sebenarnya sudah merugikan tim, karena dia tidak sempat ikut latihan. Dan untuk olahraga beregu, latihan bersama sangatlah krusial (ya iya lah!).
Belajar dari itu semua, saya berharap ke depannya liga kita bisa lebih baik lagi. Memikirkan segalanya secara lebih komprehensif, mengedepankan akal sehat, dan selalu mengutamakan fairness. Bukan lagi segalanya serba reaktif menunggu bom meledak.
Persebaya sudah berkali-kali jadi korban/martir musim ini. Dan kami tahu ada banyak tim yang menunggu Persebaya menyampaikan duluan tentang semua ini. Mulai dari kurang memuaskannya performa pengadil di lapangan, hingga prosedur protokol yang belum ideal.
Jadi martir tidak apa-apa kalau ke depannya lebih baik.
Kalau ternyata tidak jadi lebih baik, atau ternyata selama ini nawaitu-nya memang tidak baik. Ya Tuhan, entahlah. Buat apa kita semua melakukan semua ini??? (*)
Penulis: AZRUL ANANDA, Presiden Klub Persebaya.