COWASJP.COM – SAYA KAGET, tentu saja. Karena baru tahu kalau Prof. Dr. Yahya Muhaimin tutup usia. Yaitu setelah saya membaca tulisan mantan wartawan dan penulis terkenal Hamid Basyaib. Yang tadi sore dibagikan di grup WA alumni Gontor, oleh sahabat saya, Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag. Guru Besar Tafsir Alquran di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Lalu saya komentari. Karena hemat saya, tulisan itu sangat mencerahkan. Sangat jeli memotret sosok dan kiprah Prof. Dr. Yahya Muhaimin. Seorang intelektual muslim yang patut dijadikan sebagai salah satu suri teladan. Yang sudi mewakafkan dirinya untuk agama dan bangsanya. Karena yang dia butuhkan hanyalah pengabdian itu.
Mengapa saya katakan dia hanya butuh pengabdian? Pertama, karena dia adalah seorang manusia terdidik. Bukan hanya karena sukses menggapai jenjang pendidikan tertinggi dalam study ilmu politik sampai ke Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Tapi dia juga membagikan ilmunya puluhan tahun di almamaternya sendiri. Salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, Universitas Gajah Mada (UGM).
Karena barangkali saja baginya ada kewajiban untuk berbagi ilmu kepada orang lain. Suatu prinsip yang tentu saja diajarkan dalam Islam.
Kedua, mengapa dia selalu mengaku sebagai orang desa, ketika sebagian besar hidupnya dia jalani di kota? Saya pikir, Yahya Muhaimin tidak merasa perlu menjadi orang kota. Orang kota yang cenderung berburu dengan kehidupan. Untuk mengejar dunia. Lebih tepatnya mengejar harta benda. Karena baginya semua itu sudah selesai.
Sebab sedari kecil Yahya tidak terbiasa berpikir tentang harta. Karena dia lahir dan dibesarkan sebagai anak orang kaya. Ayahnya adalah pengusaha terkenal. Di antaranya, pemilik toko emas terbesar di kota Bumiayu, Jawa Tengah.
Dengan latar belakang ekonomi yang mapan dan kehidupan beragama yang kental dari orang tuanya, bersama keluarga Yahya mendirikan sebuah yayasan pendidikan yang terkenal di kota kelahirannya itu. Di sana ada sekolah dengan jenjang pendidikan dasar sampai menengah atas. Bahkan kemudian sampai mendirikan sebuah perguruan tinggi.
Dengan latar belakang itu, persoalan ekonomi baginya sudah selesai. Sesuatu yang tidak perlu lagi dia kejar. Sementara bagi orang kota kebanyakan, termasuk kalangan intelektualnya, kebahagiaan duniawi itu perlu terus dikejar. Apalagi bila mereka belum merasakan nikmatnya. Meskipun sudah dapat banyak.
Karena dahaga akan kehidupan dunia yang kemilau itu tidak pernah selesai. Berbanding terbalik dengan kehidupan Yahya Muhaimin.
Ketiga, karena sejak muda dia sudah menjadi seorang aktifis pergerakan Islam yang gigih. Memiliki ghirah yang besar terhadap persoalan-persoalan umat. Termasuk di dalamnya persoalan politik umat. Meskipun tidak meledak-ledak seperti Amien Rais, namun seingat saya, dia adalah salah satu tokoh intelektual muslim yang begitu dekat dengan tokoh besar Masyumi, Allahyarham Dr. Mohammad Natsir.
Bersama Amien Rais dan kawan-kawan, dia termasuk yang sering hadir dalam bincang-bincang intelektual muda Islam bersama Natsir. Lebih tepatnya untuk menimba ilmu dan pengalaman dari tokoh panutan itu. Biasanya sehabis sholat subuh. Mereka berdatangan ke rumah kediaman pendiri sekaligus Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu. Di Jalan Jawa atau Jalan HOS Cokroaminoto 42 Jakarta. Sekitar pertengahan 1980-an.
Ketika saya sempat menetap di Yogyakarta pada awal tahun 2000-an, saya berulang kali mendatangi rumahnya. Di Jalan Kaliurang. Bersama sahabat saya, wartawan senior Jawa Pos, Erwan Widyarto. Tujuan kami adalah untuk melakukan wawancara dengannya. Dengan harapan petikan-petikan wawancara itu dapat diterbitkan dalam bentuk sebuah buku. Dan Yahya Muhaimin dengan senang hati menerima kedatangan kami. Bersedia secara terbuka menjawab setiap pertanyaan seputar Islam dan pergerakan Islam di Indonesia.
Sayangnya, kegiatan itu tidak berlanjut. Karena Pak Yahya – begitu kami menyapanya – terlalu sibuk. Sebuah buku biografi yang diterbitkan atas namanya diberi judul: Tiga Kota Satu Pengabdian. Kebetulan penulisnya adalah Badruzzaman Busyairi (Alm). Salah seorang senior saya sewaktu di majalah Media Dakwah dahulu. Sebagai sebuah biografi, buku itu tentu dapat menggambarkan tidak hanya cerita-cerita perjalanan hidup, pandangan-pandangan politiknya dan banyak hal lain, tapi termasuk juga kesibukannya yang begitu rupa. .
Judul itu tepat sekali menggambarkan kesehariannya yang sangat sibuk.
Buku biografi Prof Dr Yahya Muhaimin. (FOTO: Tokopedia)
Awal 2003, saya sempat diajak Erwan Widyarto menemani mantan Pemred Harian Jawa Pos yang waktu itu juga Wakil Walikota Surabaya, Arif Affandi, untuk berkunjung ke kediaman Yahya Muhaimin di Bumi Ayu. Dan saya menyopiri kedua sahabat itu dari Yogyakarta sampai Bumiayu. Kebetulan waktu itu, Pak Yahya sedang menyelenggarakan pesta pernikahan puteranya.
Waktu itulah kami menyaksikan aset-aset yang dimiliki keluarganya. Terutama yang berkaitan dengan upaya pembangunan umat dan masyarakat umum secara luas. Berupa gedung-gedung sekolah yang mentereng dan cukup mencolok untuk sebuah kota kecil seperti Bumi Ayu. Selain toko dan berbagai warisan yang dimiliki keluarga besarnya.
Yahya adalah tokoh Muhammadiyah yang diangkat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Menteri Pendidikan. Walaupun tidak berlangsung lama, karena umur kekuasaan Gus Dur memang hanya ibarat setahun jagung, namun hal itu semakin mengangkat namanya. Sebagai seorang pakar politik dan militer, Yahya Muhaimin seringkali menjadi incaran awak media. Untuk sekadar wawancara.
Tapi dirinya sebenarnya lebih terkesan sebagai seorang intelektual muslim yang patut diperhitungkan, sekaligus dipanuti. Walaupun pernah berada di tengah percaturan politik yang keras (baca: dalam konflik persaingan NU-Muhammadiyah yang begitu terasa di era Gusdur versus Amien Rais). Tapi dia tidak pernah terbawa arus. Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, dia ternyata dapat diterima dengan tangan terbuka dalam pemerintahan NU di bawah Gus Dur.
Sebuah cerita menarik diungkapkan Hamid Basyaib. Berkenaan dengan disertasi doktoralnya di MIT. Yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, dengan judul: “Bisnis dan Politik di Indonesia”. Buku yang menimbulkan kehebohan politik. Karena dalam buku itu ia mengungkapkan jalinan koneksi bisnis dengan jaringan kekuasaan. Menurut dia, bisnis para konglomerat yang bisa begitu besar adalah berkat klientalisme dan patronase dari penguasa politik.
Karuan saja banyak pengusaha besar yang jengkel karena pengungkapan itu. Dan salah satunya yang sampai menggugat ke pengadilan adalah Probosutedjo. Adik tiri penguasa Orde Baru Soeharto. Yang di pertengahan 1980-an itu sedang di puncak kekuasaan. Semua sahabatnya lebih dari siap untuk membelanya di pengadilan. Termasuk Nono Anwar Makarim, pakar hukum lulusan Harvard University, Amerika Serikat, yang merupakan sahabat dekatnya sewaktu sama-sama menuntut ilmu di negeri Paman Sam itu.
Menurut Basyaib, ini adalah peluang emas untuk menunjukkan bahwa kaum aktifis, civil society, tidak akan tinggal diam menghadapi tekanan politik yang menggunakan topeng hukum. “Barisan dirapatkan, konsolidasi dirapikan di Jakarta, dan kantor LP3ES dijadikan posko perlawanan. Risiko dari perlawanan ini dirasa tidak terlalu gawat, meski yang dihadapi tak kurang dari adik Presiden Soeharto. Setidak-tidaknya, isunya adalah isu bisnis, bukan isu politik,” demikian tulis Basyaib.
Tapi Yahya justru memilih mengalah. Menyatakan permintaan maaf atas apa yang telah dia tulis dalam buku yang sejatinya adalah disertasi alias produk akademis itu. Setelah berkonsultasi dengan ibunya. Dan sang ibu tak mengizinkannya mencari ribut dengan orang lain. Apalagi dengan keluarga penguasa Orde Baru. Sehingga buku itu pun ditarik dari peredaran. Case closed. Meskipun kawan-kawannya yang sudah siap melakukan perlawanan keras akhirnya kecewa berat.
Saya pikir, Yahya Muhaimin tidak memiliki musuh. Bila orang mengingat wajahnya, yang pertama kali terkenang adalah senyumnya.(*)
Bandung, 8 Februari 2022.-