COWASJP.COM – Minyak goreng langka, harga pun melangit. Di mana-mana terjadi berebut minyak yang terbatas stoknya. Masyarakat pun berebut dan memburu bila ada operasi pasar. Berikut catatan Santoso, wartawan senior di Madiun.
***
Saat saya sakit terkena stroke, dokter memberi saran agar saya mengurangi makanan gorengan. Bahkan kalau bisa malah dianjurkan menghindari. Karena minyak goreng yang termasuk minyak trans menjadi pemicu utama kolesterol, yang buntutnya bisa menjadi stroke.
Sekarang ini ternyata migor bukan hanya pemicu kolesterol tinggi, tapi juga memicu kepanikan masal. Harga tinggi dan langka menjadikan panic buying. Masyarakat pun memburu minyak goreng. Bahkan kalau ada operasi pasar di mana pun diburu hingga berdesak-desakan.
Hukum ekonomi demand and supply terjadilah. Tidak seimbangnya demand and supply, berdampak melambungnya harga. Itu pun masih ditambah kepanikan warga hingga harga pun bisa jadi gila-gilaan. Tapi masyarakat tetap memburu. Meski harga mahal. Yang penting ada barangnya. Sayangnya migor semakin langka, menghilang dari peredaran.
Maka pemerintah menggelar operasi pasar. Dengan dijatah saat pembelian, juga dengan syarat membawa KTP. Pun ada persyaratan yang nebeng, harus menunjukkan kartu vaksin.
Saya tak perlu mencari-cari penyebabnya. Karena memang bukan ranah saya. Ada yang lebih berkompeten dan lebih ahli dalam hal permigoran. Tapi saya melihat satu hal yang mestinya tak perlu terjadi. Yakni kepanikan migor. Bahkan ada yang memborong segala, saat kali pertama ada kenaikan harga migor.
Menurut saya seharusnya tak perlu terjadi kepanikan seperti itu. Karena kita toh bisa puasa untuk tidak memasak dengan minyak goreng, biarlah persediaan migor itu dibeli oleh para penjual gorengan atau industri rumah tangga yang membutuhkan migor. Misalnya usaha kripik tempe dan sebagainya.
Kalau kalangan rumah tangga bisa berpuasa tidak memasak menggunakan migor, bayangkan berapa juta liter yang tidak terkonsumsi.
Warga antre untuk membeli minyak goreng curah murah di Pasar Larangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). Kementerian Perdagangan menggelar operasi pasar minyak goreng curah seharga Rp12.800 per liter bagi konsumen dan Rp11.700 per liter bagi pedagang untuk stabilisasi di pasaran. (FOTO: republika.co.id)
Alhasil demand and supply bisa imbang lagi. Lha kalau pengin tempe atau tahu goreng kan cukup beli di penjual gorengan atau warung di sekitar kita. Apa susahnya. Toh kita malah lebih sehat dengan makanan yang direbus.
Tapi sepertinya berebut itu sudah jadi budaya di negeri kita ini. Beberapa waktu lalu (meski migor normal) ada yang berebut gara-gara ada pihak tertentu yang jual dengan harga di bawah harga pasar. Kebetulan di Madiun saya pernah meliputnya. Setiap pembeli dijatah dengan syarat menyerahkan fotokopi KTP.
Untuk apa beli migor saja perlu fotokopi KTP. Tentu ada maunya. Apalagi jelang-jelang Pilkada hehehehe.
Nah kondisi budaya berebut barang murah ini, bisa dimanfaatkan pihak tertentu. Spekulan maupun politisi.
Kita rasanya tak pernah sadar. Padahal seringkali kita mengalami kelangkaan bahan-bahan pokok seperti itu. Harusnya kita sudah mulai cerdas dalam menghadapi situasi semacam ini.
LANGKA MINYAK TANAH
Di era tahun 1960-an, saat itu saya masih duduk di bangku SD. Pernah terjadi kelangkaan minyak tanah. Setiap kepala keluarga dijatah, kalau tidak salah 5 liter seminggu. Setiap kepala keluarga diberi girik atau kupon pembelian di tempat-tempat terdekat yang disediakan pemerintah. Kupon itu dibagikan lewat RT setempat. Masyarakat tak perlu berebut, mereka bisa mengambil kapan saja, baik di agen minyak tanah maupun koperasi yang ditunjuk.
Untuk mengatasi kekurangan minyak tanah, masyarakat memasak dengan kayu rencek atau daun-daun kering. Solusi cerdas mengatasi masalah sementara, sampai kondisi normal kembali.
Tapi sekarang, operasi pasar dilakukan secara langsung di suatu lokasi, hingga memicu antrean berdesak-desakan. Lagi pula ada yang sudah antre berjam-jam kehabisan stok,, hingga gigit jari.(*)