COWASJP.COM – TERUS TERANG, Islamofobia itu nyata ada. Hari-hari ini bahkan terasa semakin kentara. Dan itu tidak hanya dilakukan kalangan penguasa, tapi juga rakyat jelata. Bahkan dari kalangan umat Islam sendiri.
Soal celana cingkrang, cadar, pria berjenggot dan bahkan jidat yang menghitam tak henti disorot. Dipergunjingkan dengan kesan negatif. Mereka yang mencoba “tafaqquh fiddien”, yang berusaha konsisten menjadikan Alquran dan Hadist Nabi sebagai pegangan dianggap radikal.
Upaya menggalakkan amar ma’ruf nahiy mungkar dianggap sikap yang militan dan intoleran. Yang paling menyakitkan adalah munculnya tudingan ekstrimis, bahkan teroris.
Beberapa hari lalu, video persidangan kasus tuduhan terorisme dengan terdakwa Munarman banyak beredar di media sosial. Mereka yang faham terhadap ajaran Islam tentu jengkel menyaksikan jalannya persidangan itu.
Jaksa perempuan yang bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan tidak faham apa yang dituntut. Sepertinya dia hanya membacakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan bersama timnya. Tidak mendengarkan jawaban yang dipaparkan dengan runtut oleh terdakwa. Sehingga tidak terjadi dialog ketika mantan Sekjen FPI itu menjelaskan tentang khilafah Islamiyah.
JPU tampak sangat tidak faham apa yang disebut khilafah. Kecuali yang ada dalam benaknya bahwa pemerintahan khilafah itu buruk. Tidak boleh diterima dalam sebuah negara di mana pun. Dus, dengan demikian, mereka yang percaya terhadap pemerintahan khilafah patut diduga ekstrimis dan teroris. Sikap dan pandangan mereka dapat dikatakan bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan seterusnya...dan seterusnya.
Sudah bolak-balik Munarman menjelaskan bahwa sistem pemerintahan khilafah itu ada dalam ajaran Islam. Ia terbagi dalam dua bagian.
Pertama, sistem pemerintahan khilafah di era Khulafaur Rasyidin. Di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Siddieq, Umar bin Khatab, Usman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sesuai yang diajarkan Rasulullah Muhammad Saw.
Kedua, khilafah yang disebut “ala minhajin nubuwwah”. Yaitu sistem pemerintahan akhir zaman. Kekita kekhalifahan dipegang oleh Imam Mahdi di akhir masa nanti. Menjelang datangnya hari kiamat. Karenanya harus difahami tidak mungkin terjadi sekarang.
Tapi lagi-lagi tanpa mencerna jawaban Munarman, JPU masih menanyakan, “Apakah anda setuju dengan sistem khilafah?”
Suatu penekanan bahwa setuju tidak setuju itu dapat dijadikan patokan untuk memperkuat atau tidak memperkuat dakwaan.
Karenanya mantan Ketua LBH itu memotong dengan cepat. “Bukan soal setuju tidak setuju,” katanya. “Kan yang saya maksud dengan kekhalifahan berikutnya itu adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Yang perlu diimani saja.”
Pengertiannya, itu tidak akan terjadi sekarang. Karena itu tidak perlu ada kekuatiran apalagi ketakutan terhadap istilah khilafah itu.
Tapi JPU tampaknya terus berusaha menekankan, sesuai daftar pertanyaan yang ada di depan matanya. Konteknya adalah pemaksaan pemikiran. Bahwa Munarman patut diduga akan memperjuangkan sistem khilafah yang dianggap bertentangan dengan sistem demokrasi Pancasila. Yang sekarang dijalankan di negeri ini. Dengan demikian, unsur terorisme yang dituduhkan kepadanya dapat dinyatakan sudah tepat.
Tapi terlepas dari silang sengkarut proses persidangan Munarman, tantangan yang dihadapi umat Islam di negeri ini dalam kaitannya dengan Islamofobia begitu besar. Di zaman Orde Baru pernah terjadi, di mana para siswi berjilbab harus dikeluarkan dari sekolah-sekolah negeri. Tapi lambat laun, pemakaian jilbab kian populer. Di era reformasi, malah terjadi perkembangan yang semakin positif. Jilbab sebagai busana muslimah malah menjadi trending mode berpakaian bagi kaum hawa.
Kaum wanita yang ingin ber-Islam secara kaffah tidak sedikit yang berusaha menutup aurat. Bahkan cukup banyak pula di antara mereka yang malah memakai cadar. Sesuai tuntunan agama Islam yang mereka fahami.
Begitu juga kaum lelakinya. Tidak sedikit yang mengubah penampilan mereka agar lebih Islami. Sesuai tuntunan syari’ah. Di antaranya, dengan memakai celana cingkrang. Memelihara jenggot. Termasuk juga mereka yang menghitam jidatnya. Sebagai tanda bekas sujud, sebagaimana tertera dalam firman Allah di dalam kitab suci Alquran.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (min atsaris sujud)…” (Surah Al Fath: 29).
Bagi umat Islam yang faham ajaran agamanya tentu dapat menerima kenyataan seperti itu. Bahwa ada di antara sahabat maupun saudara mereka yang menghitam jidatnya. Dengan sikap husnudz dzan (berprasangka baik), mereka adalah termasuk orang-orang yang giat dan tekun ibadahnya. Sehingga dapat tercermin di wajah mereka. Di antaranya, dengan munculnya tanda hitam di jidat mereka.
Tapi bagi mereka yang fobi atau katakanlah alergi terhadap segala sesuatu yang berbau Islam, hal itu bisa jadi masalah. Dengan sikap su’udz dzan (berprasangka buruk), mereka bisa memandang hal itu dari dua sisi. Pertama, menuduh bahwa mereka yang menghitam jidatnya itu adalah bagian dari kelompok militan, radikal bahkan ekstrimis. Kedua, jidat hitam itu bisa juga diartikan tanda ria. Untuk menunjukkan kepada manusia yang lain bahwa dia ahli ibadah. Bukan murni ikhlas beribadah karena Allah ta’ala.
Bagaimanapun, tentu harus diakui bahwa persoalan ini debatable. Orang yang tidak suka melihat tanda hitam di jidat seseorang mungkin akan mengatakan bahwa Rasulullah sendiri pernah mengatakan marah melihat tanda hitam itu. Seperti diungkapkan dalam sebuah hadist: “Dari Anas bin Malik RA, Nabi SAW bersabda: Sungguh aku marah dan tidak menyukai seorang laki-laki yang ketika aku melihatnya terdapat bekas sujud di antara kedua matanya.”
Tapi Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al Azhar (Juz ke-26), memaparkan pandangannya yang unik tentang “min atsaris sujud” (dari bekas sujud) itu. Yang disebutnya dengan kata-kata “ada sinar pada wajah-wajah mereka dari sebab bekas sujud”. Jadi ada sinar, bukan tanda yang menghitam.
Menurut Buya Hamka, wajah mereka bersinar, tidak cemberut, tidak beringis, melainkan selalu memancarkan kejernihan. Orang yang selalu sujud tidak akan bersifat sombong. Karena dalam sujud dengan menundukkan kepalanya kepada Allah, dia merasakan betapa kerdil dan rendah dirinya di depan Sang Khaliq. Itu yang membuat wajahnya jernih dan berseri.
Bahkan untuk menggambarkan betapa jernihnya muka orang yang selalu sujud, beliau menukilkannya dalam sebuah pantun Melayu:
“Sayang-sayang buah tempayang,
Susi-sugi mengarang benih,
Alangkah elok orang sembahyang,
Hati suci mukanya jernih”.
Malah kebersihan dan kejernihan wajah itu juga merupakan pancaran dari batin yang bersih.
Seperti diungkapkan Khalifah kedua Umar bin Khathab: “man ashlaha sariratuhu ashlahallahu ta’ala ‘ala niyyatahu.” Barang siapa yang jernih dalam batinnya, akan diperbaiki Allah pula pada wajahnya.
Dengan demikian, apakah wajah yang jernih, termasuk adanya tanda hitam di jidat itu dapat dikatakan sebagai gambaran dari sikap ekstrim dan intoleran?
Tudingan seperti ini tentu tidak masuk di akal. Sangat jauh panggang dari api. Sebab wajah yang jernih maupun adanya tanda hitam di jidat itu tidak lain adalah tanda penyerahan diri yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Tentu saja bila kita memandangnya dengan pikiran positif. Karena apa yang dapat dilihat pada wajah adalah gambaran yang lengkap dari apa yang ada di dalam batin.
.Kalau jidatmu hitam atau terpancar sinar bening di wajahmu, biarlah. Dan sekiranya di wajahku tidak menggambarkan sesuatu yang jernih, pun biarlah. Bukanlah hak seseorang untuk menilai ketaqwaan orang lain. Biarlah Allah yang menentukan nilai dan kekurangannya. Ini jidatku, itu jidatmu. Sudahlah, begitu aja! Apa gunanya dipertentangkan? Sehingga menimbulkan pertengkaran.(*)
Bandung, 23 Februari 2022.-