COWASJP.COM – RENCANA penyelenggaraan pemilu masih lama. Masih dua tahun lagi. Tapi berbagai isu berkaitan dengan hal itu kini makin gencar diperbincangkan. Terakhir, adalah adanya usul penundaan pemilu. Seperti yang dilontarkan Ketum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Dan kemudian didukung Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Bahkan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga mengajukan usul yang sama.
Karuan saja usul yang konyol tapi sexy ini jadi pembicaraan ramai di ranah publik. Sesuai kesepakatan, pemilu serentak mendatang itu akan diselenggarakan tanggal 14 Februari 2024. Lalu, lantaran besarnya perhatian publik terhadap isu ini tak pelak melahirkan pertanyaan: Mengapa harus diundur? Seperti diusulkan pertama kali oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Yang katanya merupakan hasil diskusinya dengan kalangan pengusaha.
Cak Imin – begitu Ketum PKB itu akrab disapa – mengusulkan agar pemilu ditunda satu atau dua tahun. Alasannya, agar momentum perbaikan ekonomi yang, katanya, mulai membaik tak boleh terganggu oleh pemilu. Sedangkan Zulhas – sapaan akrab Ketum PAN – beralasan situasi pandemi, masalah global dan hasil survey yang menyebut tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih tinggi.
Menarik, tentu saja. Untuk melihat alasan yang dikemukakan Zulhas, misalnya. Khususnya alasan ketiga, yang karuan saja menyedot perhatian publik. Soalnya, banyak yang mempertanyakan kebenaran hasil survey tersebut. Bagaimana mungkin tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah itu tinggi, sementara rakyat sedang tercekik sejumlah persoalan. Akibat sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka.
Apakah benar rakyat puas terhadap kinerja pemerintah? Padahal hasil survey itu baru saja diumumkan, ketika rakyat kalang kabut akibat kelangkaan minyak goreng. Sehingga terjadi antrian panjang rakyat di berbagai tempat. Hanya untuk sekadar dapat membeli satu atau dua liter minyak goreng. Yang awalnya ditandai dengan pelambungan harga yang luar biasa. Sampai dua kali lipat dari harga sebelum terjadinya kelangkaan minyak goreng.
Meskipun dilakukan operasi pasar minyak goreng di beberapa tempat tertentu, persoalan langkanya minyak goreng tak pelak membuat rakyat merasakan kesulitan. Apalagi kemudian produk lain seperti kedele juga langka. Yang berbuntut terjadinya kelangkaan tempe. Yang membuat pengusaha tempe dan produk berbahan dasar kedele lainnya kalang kabut.
Di Jawa Barat, belakangan ini juga meluas isu kelangkaan gula pasir.
Sekarang, apakah hanya itu yang membuat rakyat menjerit? Selama dua tahun pandemi Covid 19, rakyat sudah menderita luar biasa. Kalau mau dirunut satu per satu, banyak sekali kebijakan yang membuat rakyat kecewa dan menderita.
Kewajiban vaksin, terutama swab PCR yang awalnya dihargai Rp 1,5 juta sampai Rp 2,5 juta, sejatinya menjengkelkan rakyat banyak. Begitu juga meluasnya pemberitaan tentang sejumlah pejabat yang diduga terlibat dalam bisnis PCR.
Belum lagi kebijakan PPKM yang berlarut-larut. Yang membuat kehidupan perekonomian mereka berantakan. Terutama bagi masyarakat dengan strata ekonomi kelas bawah. Sementara dari awal rakyat tahu bahwa kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi – yang oleh sebagian kalangan disebut plandemy – ini sangat rendah.
Sedari awal, pemerintah sudah kelihatan gagap menghadapi serangan Covid 19 yang meruyak tiba-tiba. Apalagi kalau melihat kebijakan yang berubah-ubah.
Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Yang diteken Jokowi setelah sebulan pandemi berlangsung di tanah air. Perppu yang memancing protes publik. Sebab salah satu pasal – yaitu pasal 27 ayat (2) menyebutkan bahwa pejabat yang melaksanakan Perppu ini tak dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Asal melakukannya dengan itikad baik.
Ketentuan yang dianggap membuka luas peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Kita tidak habis pikir, kok tega-teganya pemerintah menyakiti rakyatnya dalam menetapkan sejumlah kebijakan. Soal BPJS yang dikaitkan dengan ancaman dapat tidaknya rakyat memperoleh layanan publik sudah begitu membingungkan. Padahal sebelumnya, pemerintah juga secara sepihak telah menetapkan kenaikan iuran BPJS. Sesuai Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang jaminan kesehatan.
Bayangkan, ketika rakyat terseok-seok secara ekonomi, iuran itu dinaikkan tak dikira-kira. Iuran untuk peserta mandiri kelas I naik dari Rp. 80.000,- menjadi Rp 150.000 per kepala. Kelas II dari Rp 51.000,- menjadi Rp 100.000,- per kepala. Hanya peserta kelas III yang katanya disubsidi, sehingga tidak naik. Padahal pada Januari 2021 tetap saja mengalami kenaikan dari Rp 25.00,- menjadi Rp 35.000,- per kepala.
Bagaimana kalau dalam satu keluarga ada lima atau enam anggota keluarga. Berapa mereka harus keluarkan duit untuk bayar iuran setiap bulan? Apakah pemerintah dan jajarannya sempat “mikir” betapa sulitnya rakyat menghadapi aturan-aturan seperti itu?
Dan itu baru segelintir saja dari begitu banyak aturan yang tidak memihak kepada kehidupan rakyat banyak.
Partai berkuasa yang katanya “partai wong cilik” apakah peduli terhadap kehidupan dan penderitaan wong cilik? Masyarakat berpendapatan rendah yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan mendulang suara di masa pemilu.
Barangkali hanya kalangan terdidik dan mereka yang melek informasi saja yang memahami persoalan-persoalan di atas. Karena berbagai persoalan lain bukan tidak mendapatkan reaksi protes publik. Meskipun pemerintah jalan terus. Ibarat pepatah: Biarpun anjing menggogong, kafilah tetap berlalu.
Sebut saja misalnya Revisi UU KPK yang sempat mendapatkan penentangan dari sejumlah pihak. Dengan aksi demo yang berjilid-jilid di sejumlah daerah. Karena revisi itu dianggap melemahkan KPK. Meski demikian, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK tersebut akhirnya pun disahkan pemerintah bersama DPR pada 17 September 2019.
Begitu juga UU Minerba. Yang tanggal 13 Mei 2020 disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Ketentuan yang dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Khususnya para taipan yang oleh banyak kalangan dianggap berada di balik disahkannya undang-undang itu.
Karena dengan ketentuan itu mereka dianggap bisa dengan mudah memperoleh “cuan” dalam jumlah yang lebih banyak.
Untuk tidak berpanjang-panjang, barangkali perlu kita tinjau satu RUU lagi. Yaitu apa yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Yang ditolak Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). RUU yang tidak kurang menimbulkan gejolak penolakan. Terutama oleh kalangan buruh. Sebab melalui RUU ini hak mereka yang sebelumnya termuat dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 seakan disunat. Misalnya, total pesangon untuk pekerja yang terkena PHK. Yang ditetapkan maksimal hanya menjadi 25 kali upah. Padahal sebelumnya 32 kali upah.
Persoalan demi persoalan yang dihadapi rakyat banyak sudah bertumpuk-tumpuk. Terutama dalam kaitannya dengan hajat hidup mereka yang paling dasar. Misalnya, soal kenaikan harga BBM, harga gas, Tarif Dasar Listrik (TDL) dan lain-lain. Terlalu banyak untuk kita sebutkan satu per satu. Yang membuat orang tidak percaya terhadap hasil survey bahwa tingkat kepuasan publik itu tinggi.
Kita tidak perlu menyinggung alasan-alasan lain yang dikemukakan para ketum partai pengusul pemilu ditunda. Misalnya soal momentum perbaikan ekonomi yang tidak perlu terganggu oleh penyelenggaraan pemilu. Toh pertumbuhan ekonomi begitu-begitu saja. Toh penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 bisa berlangsung sukses. Walaupun diselenggarakan di tengah pandemi.
Begitu juga alasan percaturan politik global. Misalnya karena pecahnya perang Rusia vs Ukraina. Sehingga banyak yang mentertawakannya. Kok ada ketum partai mengusulkan pemilu ditunda karena alasan perpolitikan global seperti itu. “Apa urusannya, Bro?”
Karena itu, apakah pemilu yang sudah dijadwalkan tanggal 14 Februari 2024 perlu ditunda? Yang jelas, penundaan ini dianggap menabrak ketentuan Pasal 7 UUD 1945 versi awal. Yang telah merumuskan bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI adalah 5 tahun.
Di era Orde Lama, sempat dikeluarkan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963, tentang pengangkatan presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Apakah harus terulang kembali? Apakah hal ini tidak akan menjadi preseden buruk bagi jalannya demokrasi di negara Pancasila ini di masa-masa datang?
Yang lebih parah lagi, apakah ini tidak merupakan akal bulus sejumlah politisi maupun beberapa pihak tertentu untuk terus berkuasa? Monggo saja dipikir sendiri-sendiri! (*)
Bandung, 27 Februari 2022.