COWASJP.COM – Mario Guanluigi Puzo: “Any man can turn traitor”. Siapa pun bisa berubah jadi pengkhianat.
***
SEANDAINYA Jokowi menyadari bahwa puja-puji yang saat ini dihadapkan pada dirinya pada waktunya bisa berubah jadi pengkhianatan, tentu dia akan waspada. Sebab setiap orang berpotensi jadi pengkhianat. Seperti diungkapkan novelis dan penulis naskah terkenal Mario Gianluigi Puzo: “Any man can turn traitor”. Siapa pun bisaa berubah jadi pengkhianat.
Mario Puzo – begitu namanya sering disebut-sebut – adalah seorang penulis buku dan naskah asal Amerika Serikat. Dia dikenal dengan novel-novelnya yang berkisah tentang Mafia.
The Godfather, misalnya, adalah salah satu novelnya yang laris manis dan sangat 📲. Novel best seller yang kemudian difilmkan, bekerjasama dengan Francis Ford Coppola. Sehingga menjadikan film itu sebagai salah satu film yang sangat banyak penggemarnya.
Tentu saja, kita tidak akan membincangkan Puzo dengan segala kesuksesannya. Tapi untuk sekadar mengutip ucapannya bahwa siapa pun bisa jadi pengkhianat. Sekadar untuk mengenang kisah Penguasa Romawi Julius Caesar. Yang memiliki seorang sahabat bernama Brutus. Orang dekatnya yang ternyata mengkhianati dan membunuhnya melalui persekongkolan jahat dengan orang lain.
Orang yang memuja-muji kita saat ini tidak ada jaminan akan selalu memuji. Bila situasi berubah dan kepentingan mereka tidak lagi sama, maka puja dan puji itu bisa berbalik arah. Menjadi pengkhianatan yang ujungnya menyakitkan.
Sejak awal, Presiden Joko Widodo alias Jokowi dikelilingi oleh orang-orang yang tidak henti melontarkan pujian terhadapnya. Tidak hanya terhadap sosok dirinya yang dicitrakan sebagai pemimpin wong cilik. Yang lugu dan merakyat. Tapi juga keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan. Walaupun banyak yang mengkritik sebaliknya.
Karena pencitraan yang begitu rupa, belakangan ini dimunculkan sejumlah wacana. Seperti pencapresan kembali Jokowi untuk periode ketiga. Lalu perpanjangan masa jabatan sampai 2027. Dan terakhir penundaan penyelenggaraan pemilu satu atau dua tahun ke depan. Dengan berbagai alasan. Meskipun semua usulan atau wacana di atas bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Sejarah tumbangnya pemerintahan Orde Baru mungkin bisa jadi bahan pelajaran sangat berharga. Betapa pun, siapa yang meragukan solidnya kekuasaan Presiden Soeharto? Orang kuat yang mampu memegang tampuk kekuasaan selama 32 tahun. Karena berhasil memegang seluruh sisi kekuasaan di tangannya sendiri. Ketika lembaga legislatif DPR/MPR berada di bawah kendalinya. Dan lembaga-lembaga tinggi yang lain juga tidak ada yang berani menentangnya.
Harmoko (kiri), mantan Ketua DPR/MPR RI yang desak Soeharto mundur dari jabatan Presiden Mei 1998. (FOTO: tribunnews.com)
Sehingga hari-harinya dilalui dengan segala bentuk puja dan puji. Dari para elit politik dan ekonomi serta orang-orang yang berada di sekelilingnya. Dengan memasangkan gelar “Bapak Pembangunan”. Yang tidak seorang kepala negara lain pun berhasil mendapatkan gelar itu.
BACA JUGA: Zaman Keempat, Zaman Jababiro
Sementara TNI/Polri lebih difungsikan sebagai alat penguasa ketimbang hanya sebagai alat negara. Sehingga segala bentuk oposisi dapat ditekuknya dengan mudah. Bahkan hanya dengan sekadar ancaman. Bukankah di era itu begitu populer istilah “saya gebug” yang pernah terlontar dari mulut penguasa Orba itu, sebagai sebuah ancaman terhadap kaum oposisi?
Tiga puluh dua tahun bukanlah waktu yang pendek untuk berkuasa di sebuah republik yang begitu luas. Terdiri atas lebih dari 17 ribu pulau. Dengan ratusan juta penduduk. Dan aneka rupa etnis dan budaya. Hanya berkat dukungan dari orang-orang yang berusaha memanfaatkan situasi. Menarik keuntungan sebesar-besarnya dari kekuatan besar yang ada di tangannya. Dengan cara tidak henti-henti menjilatnya.
TUMBANG DALAM SEKEJAP
Kita saksikan bagaimana kekuasaan Soeharto yang begitu gilang-gemilang tumbang dalam sekejap. Ketika rakyat sudah muak melihat keadaan. Dan yang paling penting untuk dicatat adalah “pengkhianat sejumlah oknum”. Yang sebelumnya memuja-muji dan mengelu-elukan namanya di berbagai tempat dan kesempatan. Sehingga penguasa Orba itu lupa diri bahwa akhir dari seluruh kekuatan itu adalah kehancuran.
Mestinya Jokowi bisa belajar dari sejarah Soeharto. Bagaimana kekuasaan Soeharto itu tumbang. Sebagai penguasa sebuah negara besar, dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, Soeharto begitu dihormati. Bahkan sangat disegani. Tidak hanya di dalam negeri. Tapi juga di antara negara-negara sahabat dan bertetangga dekat.
Sebenarnya sudah berulang kali penguasa Orba itu mengatakan bahwa dirinya sudah tua. Sudah cukup lama juga dia merasa jadi penguasa. Karena itu sudah saatnya istirahat dan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. Tapi orang-orang di sekelilingnya masih menyorong-nyorongnya. Agar ikut lagi menjadi Capres. Bahkan Capres tunggal. Sehingga sudah pasti dia lagilah yang jadi presiden berikutnya. Kejadian yang terus berulang. Tidak kurang dari tujuh kali pemilu.
Hari-hari terakhir kekuasaan Soeharto dilalui oleh para pemujanya dengan pesta-pora limpahan kebahagiaan. Secara ekonomi maupun politik. Apalagi anak-anak dan keluarga presiden juga ikut terjun beramai-ramai menikmati kue pembangunan yang begitu melenakan.
Pada 1996, misalnya, program mobil nasional digulirkan. Dan PT Timor Putra Nasional (TPN) milik putera bungsu presiden, yaitu Hutomo Manda Putra alias Tomy Soeharto, diberi hak untuk mengembangkan mobnas Timor.
Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (FOTO: WIkimedia/Creative Commons)
PT Bimantara Citra, milik putera presiden yang lain, yakni Bambang Trihatmodjo, turut meramaikan program pengembangan mobnas. Dengan mengusung nama Mobnas Bimantara.
Tapi Bambang dan sejumlah pengusaha besar lain yang ingin ikut meramaikan program mobil nasional tidak mendapatkan fasilitas seperti yang didapatkan Tomy. Karena hanya Timor yang diproyeksikan sebagai ujung tombang proyek mobnas. Dengan memberinya sejumlah fasilitas. Antara lain berupa pembebasan bea masuk untuk impor mobil Kia Sephia, produksi Kia Motors Corp., Korea Selatan.
Dan di luar itu, jangan lupa, Siti Hardianti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung presiden, selain berkiprah di lahan bisnis juga diberi peluang untuk terjun di medan politik. Sebagai tokoh penting Golkar, Mbak Tutut kemudian ditunjuk sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan VII. Sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998. Dengan ini, sempurnalah kejayaan dan kekuasaan Soeharto. Berkat dorongan dan sokongan orang-orang selalu mengelu-elukannya.
Sayangnya, penguasa Orba itu lupa. Bahwa semua ada akhirnya. Krisis moneter yang terjadi sejak Juli 1997 adalah awal dari bencana itu. Perekonomian anak bangsa mulai gonjang-ganjing. Pengangguran meningkat, karena PHK terjadi di mana-mana.
Kesulitan bank-bank yang mengalami masalah likuiditas diatasi dengan pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tapi skema bantuan yang dikucurkan luar biasa itu dikhianati oleh sejumlah besar penerimanya. Karena tidak sedikit penerima kucuran dana puluhan triliun itu malah mengemplang dan melarikan dana itu ke luar negeri.
Dan jangan pula lupa, sebagian besar penerima dana BLBI yang jadi brutus itu dulunya adalah para pengusaha yang selalu merapat ke kekuasaan Soeharto. Sehingga penguasa Orba itu percaya bahwa orang-orang itu akan membantunya bila nanti keadaan menjadi sulit.
Ketika terjadi pembangkangan massa rakyat, Soeharto dibiarkan sendiri menghadapi kerusuhan yang meluas.
Hari-hari sepanjang 13-15 Mei 1998 itu, Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya dibakar massa demonstran yang beringas. Ribuan korban tewas dilaporkan bukan isapan jempol. Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Sandyawan Sumardi menilai semua itu adalah operasi militer. Padahal sejumlah petinggi militer waktu itu, termasuk Panglima ABRI Jenderal Wiranto, adalah orang-orang dekat Soeharto. Bahkan Pangkostrad Letjend Prabowo Subianto adalah anak menantunya sendiri.
Menurut laporan Kompas.com, Senin (18 Mei 2020), tepat 22 tahun sebelumnya – yaitu 18 Mei 1998 – ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Mereka menuntut Soeharto mundur dari tampuk jabatan sebagai Presiden. Dan masih di hari yang sama, secara mengejutkan, Harmoko sebagai pimpinan DPR/MPR menyatakan dukungan terhadap gerakan mahasiswa dan aktivis. Bagai petir di siang bolong, saat itu Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia melalui konferensi pers.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, Pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko.
Harmoko dikenal sebagai salah satu orang dekat Soeharto. Ia bahkan pernah ditunjuk Soeharto menjabat sebagai Menteri Penerangan sebelum akhirnya menjadi pimpinan parlemen. Harmoko juga disebut-sebut sebagai orang yang selalu mendukung Soeharto untuk kembali menjadi Presiden. Termasuk saat terpilihnya Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Tepat 21 Mei 1998 pagi, orang kuat Orde Baru itu membacakan surat pernyataan pengunduran dirinya dengan suara bergetar. Lalu kembali ke dalam kehidupan pribadinya yang sepi dan sunyi. Dalam ketiadaan lagi pendamping setia, Ny. Raden Ayu Siti Hartinah alias Ibu Tien Soeharto. Termasuk ketiadaan lagi orang-orang yang dulu mengelu-elukannya.(*)
Bandung, 3 Maret 2022.-