COWASJP.COM – Begitulah bisnis. Begitulah risiko jika mau dipanggil ustad. Kiai. Atau apalah.
Begitulah. Mempertahankan nasionalisme dalam bisnis itu susahnya minta ampun lho. Benar-benar butuh keberanian. Konsistensi. Kepercayaan diri yang tinggi. Backing-nya cuma satu: Gusti Yang Maha Membekingi!
Begitulah. Mendakwahkan amalan dengan basic keyakinan itu berat lho. Beda dengan amalan yang ber-basic akal sehat. Jauh beda.
Biasanya amalan yang ber-basic keyakinan ini didahului dengan riyadlah-riyadlah berat. Zaman moyang dulu harus tirakat agar keyakinan mengkristal sehingga amalan itu berbuah.
Lalu dicoba. Gagal, dicoba lagi. Gagal lagi, dicoba lagi. Sampai bisa. Dapat apa yang diinginkan.
Bahkan ada yang sampai mati tidak hasil. Itulah membentuk keyakinan pada suatu amalan.
Tulisan apa ini ya? Kok ngelantur hehe. Well. Yang saya maksud itu soal Paytren dan Ustad Yusuf Mansur (UYM). Seperti di judul itu. Itu yang sekarang lagi ramai karena video viral.
UYM ini sahabat saya. Sejak lama. Waktu susahnya beliau. Sejak sesudah "mondok". Selepas lama menginap di "pondok" dalam pencarian jati dirinya. Mondar mandir ke sana kemari. Njujugnya kadang ke saya. Mampir shalat atau sekadar ngopi.
Saya suka menemaninya. Dalam perenungan. Langsung maupun tak langsung. Meyakinkan niatnya.
Frekuensinya juga.
Ketemu dan ngobrol pun saya hanya mendengar. Lalu mengiyakan saja. Seperti memberi stempel. Meneguhkan beliau. Meyakinkan bahwa apa yang dijalankan itu akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Waktu itu kira-kira tahun 2000. Saya masih menjadi wartawan Jawa Pos. Menetap di Malang.
Saya tahu betul, UYM ini orangnya baik. Gentle. Selalu mempertanggungjawabkan apa yang dijalaninya. Bahkan yang dijalani orang lain karena perintahnya. Take a risk!
Kadang ndak ngukur risikonya. Pokoknya dilihatnya baik, niatnya membantu, risikonya pun ndak ia pikirkan.
"Ada Allah yang memikirkan risikonya," kata dia.
Sukses. Setahu saya waktu itu begitu. Namanya kondang. Mulai membangun Wisata Hati dan turunannya. Bisnis ini itu dan tethek bengek-nya.
Ngustad. Terkenal dengan amalan sedekahnya. Mendirikan pondok pembibitan penghafal Alquran lewat Darul Qur'an-nya.
Lalu bikin Paytren. Dari MLM hingga e-wallet pertama di Indonesia. Yang saya tahu sangat berdarah-darah ngurus izinnya. Karena belum ada regulasi jelas saat itu. Beda dengan sekarang. Jauh beda.
Pergaulan sahabat satu ini juga sudah luar biasa. Dengan banyak orang yang semuanya luar biasa. Hebat-hebat.
Nama-nama rekannya juga tak asing di telinga. Terutama yang dipanggil ustad-ustad. Saat ramai-ramainya agama jadi komoditas. Dalam bisnis dan politik. Dan, awal-awal euforianya Islam trans-nasional di media. Yang sekarang mereka menganggap UYM sudah keluar dari kelompoknya.
Saya hanya mengamati di luar arena. Sesekali say hello saja. Apalagi "tugas saya" hanya mengiyakan. Meneguhkan hatinya UYM.
Alhamdulillah. UYM sukses dengan kerja keras dan keteguhan hatinya itu. Ikut senang. Bangga. Meski sudah tak mampir ngopi lagi hehehe.
Dari media saya kerap memantau. Sepertinya tak berubah. Masih seperti YM yang saya kenal sebelum sukses.
Dasar ilmu yang dipakainya juga sama dan tetap. Jumlahnya juga masih tiga. Pertama yakin. Kedua, yakin. Dan ketiga, yakin.
AMALAN SEDEKAH vs AMALAN ILMUL YAQIN
Belakangan UYM dapat gelar. Ustad sedekah. Karena ceramahnya ke mana-mana bawa itu. Plus praktiknya. Plus hitung-hitungannya.
Bagus sih. Itu sebagai dakwah keyakinan. Bentuknya sedekah. Artinya barang siapa yakin pada Allah seyakin-yakinnya, Allah akan mengganti sedekah kita berlipat-lipat. 700 kali.
Bahkan, wallahu yudloifu liman yasyaa' . Allah akan melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Karena Allah itu waasi'un 'aliim. Maha luas dan Maha mengetahui.
UYM me-matematika-kan itu. Dalam dakwah-dakwahnya. Disertai praktiknya. Dengan cara mengundang audiens ke panggung. Diajak dialog. Diajak sedekah. Ditanya berapa keperluan duitnya. Lalu ditukar dengan sedekah.
Asyik sih. Entertain banget. Amalan yang berada di ruang keyakinan, oleh UYM dibawa ke ruang nyata. Divisualkan. Dikonkretkan.
Berhasilkah? Wallahu'alam. Mungkin ada yang berhasil. Mungkin juga tidak.
Yusuf Mansur (Nurwahyunan/Fimela.com)
Bisa jadi juga keberhasilannya dalam bentuk lain. Bukan melulu duit face a face dengan duit. Tapi dalam bentuk lain.
Semisal diberi kesehatan. Kemudahan dalam problem solving. Pikiran tenang. Dan lain sebagainya. Abstrak.
Namun over all, yang dilakukan dalam dakwah UYM adalah membentuk keyakinan umat. Meyakini bahwa apa yang dijanjikan Allah dalam kitab suci-Nya adalah kebenaran. Tidak ada kebohongan. Termasuk sedekah itu.
Substansi itu kadang luput dari penekanan dakwah UYM. Padahal UYM sendiri orang yang super duper yakin. Maqamnya sudah di situ.
Sementara jamaahnya heterogen. Banyak yang awam. Walhasil, akhirnya kemudian dimaknai beda.
Padahal mewujudkan janji Allah dalam kitab suci-Nya itu butuh keyakinan tinggi. Untuk membentuk keyakinan itu pula, butuh waktu lama dan kesabaran ekstra.
Ada cerita nih. Saridin, seorang wali sufi, membentuk keyakinan pada dirinya bahwa laa haula walaa quwwata illa billah itu nyata dilakukan dengan tirakat yang berat. Nyawa jadi taruhan.
Sampai pada suatu keyakinan bahwa Saridin tidak akan mati walau terjun dari pohon kelapa 20 meter. Yang terjadi, Saridin pun tetap bugar walau menjatuhkan diri dari pohon itu.
Itu cara pasrah membentuk karakter keyakinan diri. Keyakinan akan janji Allah pada manusia. Yakin pada Allah, pasti Dia akan memenuhinya.
Hanya kadang meski manusia sudah yakin betul, tapi kita masih punya keraguan. Keyakinan manusia kadang labil. Sedetik pun tidak yakin Allah, akan hilang itu janji Allah.
Seperti yang dialami Saridin dalam pencarian keyakinannya tersebut. Suatu saat ada keraguan sedikit pada Saridin. Lalu ia menjatuhkan diri dari pohon kelapa, remuklah tulang-tulangnya. Untunglah, dengan keyakinannya juga untuk bisa sembuh, Saridin pun kembali utuh.
Begitu pulalah dakwah sedekah UYM ini. Jika sekarang banyak yang "menggugat" dengan video atau testimoni, bahkan hukum, tentu itu adalah persoalan substansi tadi.
Bahwa dakwah itu yang terpenting adalah menginternalisasikan substansinya. Caranya bisa dengan entertain. Pula perlu praktik-praktiknya.
Poinnya, mengajak sedekah itu adalah dakwah keyakinan. Itu sesungguhnya yang penting ditekankan. Oleh UYM selanjutnya. Pada umat yang beragam ini.
UYM sendiri sesungguhnya telah praktik. Atas keyakinan dengan Tuhannya tentang apa yang didakwahkannya. Juga dalam kesehariannya. Apa yang ia ajakkan, ia juga melakukan.
Saya tahu betul itu. Ia sedekah tak kurang-kurang. Dengan yakin dan niat. Ia pun menerapkannya dalam perilaku dan kehidupannya. Sedekah dengan banyak harta dan rupiah!
Hanya, karena sifat manusia itu labil, beberapa UYM berhasil. Tapi juga banyak yang tak berhasil. Atas janji Allah dalam Alquran itu.
Begitulah UYM....
Antik dan unik. Berani. Tiada duanya dah.
NASIONALISME DALAM BISNIS
Belakangan ramai lagi. UYM lagi. Di Ramadan tahun ini.
Tak hanya soal dakwah sedekahnya. Atau soal investasi yang digugat sebagian kecil jamaahnya. Yang viral itu.
Ini soal Paytren. Bisnis e-wallet. Teman bayar-bayar itu.
UYM marah-marah dalam sebuah potongan video. Meski sesungguhnya ia tidak ada marah sekali pun. Karena rangkaian video itu panjang. Sekitar sejaman lebih. Lalu bagian itu yang ramai. Dipotong.
Begitulah. Itu risiko. Bagi selebritis medsos. Selebgram. Yang ustad lagi. Yang punya banyak followers juga. Jadi bisa menjadi makanan empuk para pemburu dolar instan lewat ads.
Paytren. Saya tahu banget idealisme UYM di bisnis tersebut sangat besar. Semua ia curahkan di situ. Pikiran. Tenaga. Dana. Jaringan dan pengaruhnya.
DESAIN GRAFIS: sites.google.com
Menjadi saksi mata bagaimana UYM berdarah-darah mengurus izinnya. Izin e-money dan e-wallet. Izin fintech. Dan segala turunannya.
Mengurus izin itu semua tidak semudah sekarang. Saat ini regulasinya sudah tersedia. Tinggal memenuhi prosedur dengan segala syaratnya. Beres deh.
Tapi saat Paytren mengurus dulu, minta ampun. UYM sampek kebentur ke mana-mana. Keblasuk-blasuk. Maklum yang pertama. Tergolong pioner.
Di situ saya tahu keteguhan dan kesungguhan UYM. Luar biasa diuji. Tapi ia tetap jalan.
"Tenang Ji Anwar. Maju aja dah. Ntar ketemu jalannya." Begitu kata UYM. Saat saya menyapanya setelah tahu ia menemui kesulitan.
Oh iya. UYM ini memang suka memanggil seseorang dengan awalan Ji. Haji. "Itu doa," kata dia.
Itu ilmunya masih nempel terus. 'Ilmul yaqin. Yang selalu dijalani UYM.
Alhamdulillah, masih ada. Begitu sapa saya di ujung jari jempol membalasnya. "Masih doong," jawab YM.
Cerita berdarah-darah urus izin fintech itu pun sukses. UYM pun berkiprah. Bareng para direksinya. Dengan banyak ide. Bahkan sampai melangkah ke asset management. Yang belakangan ditutup itu. Untuk beberapa produknya.
UYM pernah cerita. Panjang lebar soal visi Paytren. Termasuk keinginannya IPO umat.
Juga soal rencana sebuah bank internasional yang mau membeli Paytren. Waktu itu nilainya fantastis. Rp 3,3 triliun.
Sekarang, kata sang putri Wirda Mansur, ada yang ngincar Rp 4 triliun. Bisa sangat benar. Valuasinya, kalau dihitung bahkan lebih dari itu.
Kok ndak dilepas? Jawabannya waktu itu asyek. "Siapa yang tak ingin duit gedhe Ji. Tapi duit gedhe itu kan hanya sedikit yang merasakan. Ane bisa kaya sendiri. Tapi bukan itu yang ane inginin. Ane pinginnya muslimin muslimat Indonesia juga merasakan," katanya.
Caranya? Ia pun gegek. Ketawa. "Ya ndak usah dijual," ucapnya. Enteng banget.
UYM ingin Paytren dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Jadi duitnya ndak ke mana-mana. Untungnya bisa kembali untuk kesejahteraan rakyat. Bukan diambil sendiri oleh investor kakap itu.
"Yakin dah kalau bersama-sama dengan niat baik, akan bisa kita raih," katanya lagi.
Saya pikir benar juga nih orang. Sekarang-sekarang ini terbukti juga. Raksasa-raksasa fintech dan bisnis global sudah menguasai. Dengan label kolaborasi global!
Lewat dana global dan venture internasional, semua masuk ke ekosistem digital Indonesia. Dan sahamnya pun menguasai. Itu berarti duitnya ke mana dan akan lari ke mana.
Jika duit rakyat Indonesia sudah tersedot atas nama IPO, mereka pula yang mengendalikan. Mau dibikin apa itu triliunan duit, mereka yang kuasa.
Di sinilah saya melihat UYM sangat nasionalis. Ia punya nasionalisme bisnis yang kuat. Ia memikirkan dampak duit itu berputar di negeri ini saja. Tak mungkin keluar. Wong pengendalinya orang Indonesia asli.
UYM pun punya cita-cita beli Indonesia. Ia juga sudah menggaungkan. Artinya, kalau sudah punya duit banyak, Paytren akan bisa membeli perusahaan tanah air. Dan digunakan untuk kepentingan tanah air juga.
Saya hanya mengamati. Di pikiran saya sederhana. Ini UYM mau mewujudkan apa yang dia sampaikan. Dan pernah ditashihkan ke saya. Jauh sebelum ada Paytren dan kawan-kawannya. Saya pun mengiyakan.
Nah ketika sekarang melihat Paytren dengan segala masalahnya, saya pun jadi berpikir. Apakah ini skenario atau kasunyatan?
Kok? Begini. Kadang bisnis global ini untuk melakukan sesuatu harus pakai skenario untuk menuju agenda utamanya. Manajemen isunya juga digarap serius.
Seperti Elon Musk menyerang Twitter baru-baru ini. Jadilah nilai perusahaan itu anjlok. Eh, saat anjlok, si Bos Tesla ini mencaploknya.
Jadilah dapat harga murah untuk sesuatu yang besar. Begitulah cara-cara kerja global. Gaya kerja bisnis sekarang.
Apa Paytren-nya UYM seperti itu? Hanya UYM dan para pebisnis global yang mengincar Paytren itu yang paham.
Yang saya tahu, UYM ini orang yang sangat nasionalis. Ia sangat tahu harus seperti apa berbakti pada negaranya lewat bisnis. Sebagaimana ia tahu betul bagaimana ia membikin pesantren Alquran untuk membentengi generasi bangsa.
Dengan ilmul yaqin dan sumelehnya, saya merasa tak khawatirkan UYM. Ia akan bisa dengan mudah melalui ujian ini. Lalu, pada akhirnya akan mewujudkan cita-citanya itu. Walau belum ditashihkan seperti sebelum-sebelumnya.
Andai UYM dulu mau menjual Paytren ke bank negara petro dolar kala itu, mungkin ia tidak jadi bulan-bulanan seperti sekarang. Tapi untunglah, nasionalisme dalam darahnya mengalahkan bully-an, hujatan, dan gugatan itu. Hebat sekali.
Semoga negara ini bisa hadir. Mereka yang teriak-teriak nasioalisme juga datang - bukan hanya teriak nasionalisme tapi beli saham perusahaan nasional yang sejatinya dikuasai asing.
Begitulah bisnis global. Begitulah dakwah keyakinan. Semangat UYM, Sampean pasti bisa! Perbanyak sit dan shalawat ya. Walah kok malah aku yang nyuruh hehehe. (*)