COWASJP.COM – Oleh Dr Sirikit Syah
Beberapa hari lalu saya betul-betul dibuat amazed alias terkesima membaca laporan bahwa Aqua Dwipayana bisa menjual 30 ribu eksemplar bukunya hanya dalam waktu 2-3 bulan. Apalagi dalam situasi pandemi Covid-19. Itu sungguh prestasi yang luar biasa untuk seorang pengarang atau penulis buku.
***
Saya kemudian melakukan refleksi pada perjalanan perbukuan saya. Buku saya pernah diterbitkan sampai cetak ulang belasan kali, tapi saya tidak mendapat royalti karena sudah dibayar di awal dengan murah.
Saya juga pernah dikagetkan e-mail dari seorang akademisi di Inggris yang akan menganalisis cerpen saya di paper ilmiahnya. Cerpen dikutip dari buku kumpulan cerpen cetakan ketiga.
Lho?! Kok ketiga? Kok saya tidak diberitahu oleh penerbit bahwa cerpen saya sudah naik cetak tiga kali? Saya hanya diberi royalti untuk cetakan pertama.
Buku saya juga pernah beberapa kali diterbitkan dalam rangka Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (HUT PWI). Kali pertama, ketika Ketua PWI Margiono, saya diberi Rp 10 juta. Kali-kali berikutnya, saya hanya diberi 5 eksemplar, tanpa honor dan tanpa royalti.
Pernah saya datangi kantor PWI Pusat di Jl. Kebon Sirih, lalu saya diberi Rp 1,5 juta. Kali selanjutnya, nol honor. Padahal buku itu disponsori Toyota Foundation (logonya ada di halaman pertama).
Saya bertanya pada kenalan di PWI: “Mengapa penulis tidak diberi honor atau hak terbitnya tidak dibeli dengan harga pantas?” Jawabnya: “Waktu pengajuan ke sponsor, itu tidak diajukan. Yang dibiayai hanya cetaknya saja.”
HARUS PUNYA MODAL
Nah, pertanyaan berikutnya kan, “Mengapa PWI tidak memasukkan elemen honor penulis buku pada proposal kepada sponsor?” Semoga tahun-tahun yang akan datang, diajukan ya?
Buku saya juga pernah diterbitkan oleh beberapa penerbit mayor, tetapi angka penjualan dan royalti tidak jelas. Akhirnya saya menyimpulkan, menerbitkan secara indie lebih jelas (jumlah penjualan dan uang masuk) daripada diterbitkan penerbit mayor. Kemudian, beberapa buku saya belakangan terbit indie.
Masalah dengan terbit indie adalah: kau harus punya modal untuk biaya cetak/terbit. Tapi ini masalah kecil dibanding dampaknya. Dampak utama adalah: kita tahu/mengenal siapa pembeli kita, karena berhubungan langsung.
Dampak lainnya, uang masuk dengan jelas yang margin keuntungan antara 50-100% dari biaya cetak. (Bandingkan dengan royalti 8% dari penerbit mayor, dari harga jual di toko buku). Kecepatan laku juga lebih memuaskan.
Kalau di toko buku, minggu kedua atau ketiga buku kita akan segera disingkirkan di rak belakang, pojok, tersembunyi, sehingga tidak terlihat oleh pengunjung.
Dengan berjualan sendiri melalui media sosial, perhatian langsung tertuju pada buku kita. Alhamdulillah saya bisa menjual beberapa ratus buku untuk tiap judul, meskipun itu memakan waktu 1-2 tahun.
PERBANYAK SILATURAHIM
Kembali pada keajaiban Aqua Dwipayana. Selain keunggulannya pada tema buku, yaitu buku motivasi (yang sedang ngetrend di tahun-tahun belakangan ini dibanding karya fiksi), ternyata ada faktor lain yang membuat bukunya laris manis.
Aqua suka bersilaturahim. Dia mendatangi dan menghadiri beberapa event, diundang maupun dia volunteer (kemauannya sendiri). Dengan bersilaturahim berbincang tentang apa yang dia kuasai, dia alami, berbagi ilmu dan pengalaman, bukunya dibeli oleh peserta.
Saya dua tahun belakangan ini seperti bersembunyi di dalam kamar, karena tengah menjalani kemoterapi. Silaturahim saya terbatas lewat media sosial. Tak heran bila saya hanya mampu menjual 2-3 buku dalam sebulan, 100-200 dalam 2 tahun. Saya ingin sekali bisa menjual sampai puluhan ribu buku seperti Aqua.
Tantangannya: pertama, apakah saya punya modal mencetak? Kedua: di masa pandemi dan sedang dalam terapi kemo, launching dan diskusi buku (yang pasti menarik untuk kampus-kampus bahasa/sastra dan jurnalistik) tidak dimungkinkan.
Yah, nasib orang memang beda-beda, dan ALLAH SWT sudah mengatur porsinya. Saya belum punya cukup rezeki untuk berumrah, rezeki Aqua sudah diamalkan untuk mengumrahkan banyak orang. Bahkan jumlahnya mencapai ratusan orang. Setiap tahun dia memberangkatkan puluhan orang ke Tanah Suci. Hanya dua tahun terakhir ini kegiatan mulianya terpaksa berhenti karena pandemi Covid-19.
ALLAH SWT Maha adil, dan saya merasa harus berikhtiar lebih keras, bersyukur lebih banyak, dan meniru teladan para penulis di depan saya, di antaranya: perbanyak silaturahim. Silaturahim memanjangkan umur dan mendatangkan rezeki. (*)
Ditulis: Juli 2021
Catatan: penulis Dr Sirikit Syah, Selasa pagi (26/4/2022) pukul 06.30 WIB meninggal di Rumah Sakit Haji Surabaya, Jawa Timur. Setelah sembilan hari dirawat di sana. Almarhumah tinggal di Surabaya, semasa hidupnya berprofesi sebagai dosen dan pengarang.