COWASJP.COM – Ada beberapa teman yang bertanya, “Bagaimana rasanya puasa di luar negeri?” Alhamdulillah meskipun lebih berat, tapi selisih waktunya tidak terlalu jauh dengan Indonesia.
Subuh di Lisbon, Portugal, sekitar jam 05.00 – 05.30 WEST (Western European Summer Time). Semakin hari subuh semakin mundur. Bangun sahur jam 04.00 atau 04.30 WEST. Sedangkan Maghrib kami harus menunggu matahari tenggelam pukul 20.30 WEST.
Enaknya, meskipun cuaca sudah mulai hangat dan panas, suhu masih menunjukkan 17-19 derajat Celcius. Masih sejuk dan angin sepoi-sepoi. Tidak terlalu terasa haus kekeringan.
Kalau di Indonesia setelah pulang kerja sore, sampai rumah sudah tinggal menunggu adzan maghrib. Sekarang anak-anak harus sudah persiapan tidur, kami baru akan berbuka puasa.
Bulan Ramadhan kali ini juga menjadi sesuatu yang spesial untuk saya sendiri. Pertama kalinya saya harus bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan makanan sahur dan berbuka puasa untuk suami. Rasanya berbeda dengan masak sehari-hari.
Selama hidup di Surabaya, saya hanya bergantung ke Ibu tercinta – Joeni Astoeti yang sudah memasak setiap hari. Beliau bangun paling awal sekali, dan saya termasuk orang yang susah dibangunkan. Adik saya satu-satunya Nugky Dyah Prastuti sampai emosi dan mengetuk pintu kamar berulang kali hingga saya terbangun.
BACA JUGA: Agen Relokasi Portugal Nggapleki! Cari Sendiri Malah Dapat Apartemen Keren​
Alhamdulillah, Allah berkehendak lain. Selama bulan Ramadhan tahun ini, saya hanya berbekal alarm di handphone. Bangun tidur, cuci muka, cuci tangan, dan sikat gigi langsung berangkat ke dapur untuk merebus air dan menghangatkan makanan ke microwave. Membangunkan suami yang masih rapi memakai selimut, hingga hidangan sahur sudah siap disantap di atasi meja makan.
Pernah 1-2 kali terlambat bangun, hanya punya waktu sahur sekitar 15 menit. Untungnya semua makanan tinggal masuk microwave untuk dihangatkan. Tidak perlu proses menggoreng atau memasak terlebih dahulu. Make it simple saja moms!!
Nuansa Ramadhan seperti di Tanah Air Indonesia pasti juga tidak ada. Karena umat muslim di Portugal secara total kurang dari 0,5%. Namun di Lisbon tersedia masjid terbesar Mesquita Central de Lisboa (The Central Mosque of Lisbon) yang dibangun pada tahun 1985.
Penampakan luar Masjid terbesar di Lisbon. Perpaduan nuansa Islam dan Portugal. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Selain itu masih ada 3 masjid yang lain di sekitar Lisbon, yaitu Martim Moniz Masjid, Mesquita Baitul-Mukarram, dan Mesquita da Damaia – Masjid Sayyidina Abu Bakr Siddiq RA.
Pada suatu weekend kami mengagendakan untuk buka puasa bersama di Mesquita Central de Lisboa. Kami berangkat dari Cascais menuju Kota Lisbon pada pukul 18.00 WEST menggunakan mobil pribadi. Perjalanan dari Cascais ke Lisbon memerlukan waktu hampir 1 jam. Cukup lama sekitar 44 kilometer.
Kota Lisbon adalah ibukota yang padat, sehingga sering dijumpai kemacetan. Suasananya benar-benar beda dengan Cascais yang kota kecil dan tidak terlalu ramai. Tapi bagi turis, Cascais adalah salah satu destinasi wisata yang cantik dengan pemandangan pantai dan lautnya.
Stasiun Metro tidak ada fasilitas lift atau ekskalator. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Sudah jauh-jauh ke Lisbon, kami menyempatkan untuk belanja di Supermarket Asia. Kabarnya ini adalah satu-satunya supermarket Asia yang ada di Lisbon Raya.
Wowww!! Sesusah itu ya cari supermarket Asia, padahal di Kota kecil Lausanne – Swiss kami bisa menjumpai 5 - 6 toko Asia. Toko Asia ini bernama Amanhecer yang terletak di Rue da Palma 41 A 1o andar, 1100-390 Lisboa.
Kami memarkir mobil di depan masjid lalu memilih untuk coba naik transportasi umum di Lisbon.
Dari petunjuk google maps, kami diarahkan untuk naik metro bawah tanah. Kalau naik metro 1x, kami perlu jalan 500 meter untuk sampai tempat tujuan.
Suasana di dalam metro. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Berhubung sedang puasa lebih baik kami memilih naik metro 2x dan tinggal jalan 70 meter untuk sampai di Amanhecer.
Seperti biasa harus beli tiket dulu sebelum masuk ke metro. Kartu member bernama Viva Viagem Transport Card dibeli dengan harga 0,5 Euro. 1 Euro = Rp15.600. Kartu ini bisa disimpan dan digunakan secara berulang. Kita cukup mengisi saldo sehingga tinggal tap kartu saat masuk stasiun metro atau naik bis. Sekali jalan naik metro dan bus dikenakan harga 2 Euro per orang. Anak dengan usia di atas 4 tahun sudah wajib membayar full.
Stasiun metro yang cenderung remang-remang. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
Tapi perjalanan pertama ini tidak semudah yang dibayangkan moms! Aksesnya tidak terlalu stroller friendly, tidak ada lift, hanya ada tangga. Hanya stasiun-stasiun tertentu yang menyediakan akses untuk stroller.
Suasana stasiun cenderung gelap karena memakai lampu jenis kuning jadi seakan-akan serasa seram. Ditambah lagi bangunan khas Portugis yang begitu melekat. Sudah seperti masuk ke Rumah Sakit Darmo atau William Booth Surabaya. Hehe.
Begitu sampai di Toko Asia, kami langsung membeli aneka bumbu Asia seperti kecap manis, Indomie, gula aren, sambal, jajanan Jepang dan Korea, serta kelalapan yang lainnya karena kapan lagi nih ke sini. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh.
Anehnya supermarket ini aksesnya harus melewati banyak tangga. Tidak cocok untuk stroller. Belum lagi kalau kita bawa tas troli belanjaan harus diangkat dengan tenaga super. Oh guys! Cobaan di bulan puasa nih.
Sekilas di kawasan Toko Asia Amanhecer yang terletak di daerah Martin Moniz, bisa dijumpai banyak toko Asia. Banyak sekali imigran muslim yang tinggal di daerah sini. Salah satu masjid yang lebih kecil dari Mesquita de Lisboa juga ada di daerah sini. Papi Fariz mengajak nanti setelah Ramadhan berjalan-jalan ke sini lagi sambil melihat adakah restoran Asia yang menarik di hati. Seperti kebiasaan kami kalau ke luar kota di Switzerland, bingung mau cari makan. Pasti tujuannya adalah cari restoran Asia yang terdekat dengan pemberhentian transportasi umum.
Singkat cerita setelah belanja, kami langsung naik metro balik ke masjid. Tapi ternyata saking ruwetnya akses transportasi dll, bisa diprediksi kami akan telat tiba di masjid. Niat di awal mau buka puasa di masjid malah bergeser ke restoran Korea. Hahaha.
Kami memesan ayam, mie khas Korea, dan kue beras favorit jajanan Korea. Hari sudah semakin malam, Zirco pun juga sudah kasihan kelaperan. Jadi kita cuma sempat foto di depan masjid, belum mencicipi sholat dan buka puasa.
Buka puasa di restoran Korea. (FOTO: Okky Putri Prastuti)
So far, menurut kami kota Lisbon sangat hidup. Penuh penduduk, banyak gedung bertingkat, dan juga macet. Awalnya kami sempat berpikir bagaimana kalau mencari apartemen di Lisbon, dekat dengan mall dan mencari semua kebutuhan pasti ada. Hahaha. Tapi setelah melihat langsung betapa ruwetnya jalanan, maka kami undur diri saja.
Lebih enak tinggal di area Cascais. Pergi ke mana-mana cuma 10-20 menit. Untuk menyejukkan mata melihat laut dan pantai saja hanya butuh waktu 7 menit perjalanan menggunakan mobil.
Minggu pertama hidup di Portugal perlu banyak adaptasi yang dilakukan. Dari kualitas air dan udara yang berbeda dengan di Swiss, fasiltas transportasi umum, dan harga barang-barang.
Hal yang paling disuka di Lisbon adalah adanya mall yang buka setiap hari, haha. Edisi kangen mall selama 9 bulan nih ceritanya. Portugal is nice place to live!! (*)