COWASJP.COM – KAMIS, 21 Mei 1998, penguasa Orde Baru Seoharto mengundurkan
diri sebagai presiden. Ketika baru 2 bulan terpilih untuk yang ke-7 kalinya. Setelah 32 tahun tak tergoyahkan. Akibat krisis moneter yang luar biasa. Sehingga mendapatkan tekanan ekonomi, politik dan gelombang perlawanan kalangan mahasiswa dan berbagai elemen anak bangsa.
Ringkasnya, kekuasaan Soeharto tumbang karena gerakan massa rakyat alias “people power”. Lalu Sabtu, 21 Mei 2022 nanti, sejumlah masyarakat dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) merencanakan demonstrasi besar-besaran. Ini bertepatan dengan 24 tahun momentum reformasi.
Dikuatirkan, momen ini akan berubah menjadi sebuah gerakan people power. Yang bisa berujung pada upaya pemakzulan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Sebagaimana dikemukakan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid, beberapa waktu lalu.
Bagaimanapun, jejaring kekuasaan tentu sudah mencium kemungkinan ini. Sehingga dengan berbagai cara telah melakukan langkah-langkah antisipasi. Agar riak-riak perlawanan di kalangan rakyat itu tidak meledak menjadi sebuah gerakan yang mampu merontokkan fondasi kekuasaan.
People power merupakan satu hal yang makin sering terdengar belakangan ini. Ketika gerakan mahasiswa tampak kian membesar dan terkonsolidasi. Tidak hanya di Jakarta dan beberapa kota besar saja. Seperti yang sudah dimulai beberapa waktu sebelumnya. Tapi bahkan juga di sejumlah kota kecil tingkat kabupaten dan kotamadya.
Lalu gerakan mahasiswa akan disambut pula dengan pekik perlawanan oleh kalangan buruh dan rakyat jelata. Bersatu padu menjadi satu bentuk perlawanan rakyat semesta. Atas begitu banyak kebijakan pemeritah yang dianggap tidak peduli mereka. Yang kian menyesakkan dada. Dengan dampak yang tidak terbayangkan.
Kini, ada begitu banyak masalah yang membuat rakyat habis kesabaran. Pertama, karena langka dan naiknya harga sejumlah barang kebutuhan pokok. Seperti yang terjadi pada kasus minyak goreng. Yang ternyata diakibatkan lemahnya penguasa dan membangkangnya para mafia. Terbukti dengan ditangkap dan ditersangkakannya sejumlah orang oleh kejaksaan agung.
Kedua, masih digaungkannya kemungkinan naiknya harga beberapa komoditas lainnya yang sangat dibutuhkan rakyat. Seperti pertalite, gas melon 3 kg dan sejumlah komoditas penting lainnya. Yang akan dicicil satu per satu. Seperti pernah diungkapkan oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Yang di mata rakyat akan semakin memperberat beban kehidupan mereka.
Ketiga, semakin terkuaknya borok pemerintah dalam kaitannya dengan hutang luar negeri yang kian menumpuk. Yang dikuatirkan akan membuat pemerintah tidak mampu lagi membayar suatu saat nanti. Di tengah ambisi penguasa untuk terus membangun infrastruktur, yang sebagiannya justru mangkrak dan tidak berguna.
Keempat, karena begitu ngototnya pemerintah melanjutkan upaya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru. Di tengah ketiadaan dana yang kian hari kian nyata dan terang benderang di mata rakyat.
Kelima, sejumlah kebijakan pemerintah yang membuat rakyat semakin tercekik hidupnya secara sosial, ekonomi, politik dan hukum.
Rakyat menjerit, tapi pemerintah sepertinya berpegang pada adagium: Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Artinya, walau bagaimana pun besarnya protes rakyat, pemerintah tetap tidak peduli. Sehingga segala kebijakan pro rakyat selalu diabaikan. Sedangkan kebijakan-kebijakan pro oligarkhi terus menerus dikembangkan. Sehingga beban kehidupan rakyat semakin berat. Tidak hanya secara fisik, tapi juga secara psikis. Yang membuat mereka semakin tertekan, muak dan marah.
Sekarang, bukan rahasia lagi bahwa perbaikan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah nol besar. Karena penguasa lebih banyak melindungi kepentingan segelintir orang yang disebut oligarkhi. Yang telah mengangkangi sebagian besar sumber daya alam (SDA) bangsa ini. Padahal UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 menyatakan: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Begitu juga dalam bidang politik. Di mana pembelahan anak bangsa bukan hanya dibiarkan, tapi justru dipelihara. Dengan cara memelihara dan mendanai buzerRp dan influencer. Sehingga pembelahan anak bangsa bahkan sampai ke akar rumput itu tampak nyata. Dibiarkan begitu saja seperti penyakit yang tidak ada obatnya.
Lalu dengan demikian, penguasa dapat melihat mana yang pro dan mana yang kontra. Dan dalam prakteknya, yang pro dilindungi, yang kontrak dikriminalisasi. Hukum tidak ditetapkan sebagai panglima. Tapi hanya sekadar alat penguasa untuk melindungi kekuasaan dan menghancurkan lawan-lawan politik.
BUZERRp dan KONGLOMERAT HITAM
Terlepas dari semua masalah di atas, kita mencatat bahwa persoalan terbesar bangsa saat ini adalah BuzerRp dan Konglomerat hitam. Dua persoalan yang telah menjadi semacam “kanker ganas” bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
BuzerRp membuat keterbelahan masyarakat semakin menjadi-jadi. Tapi sayangnya, mereka memang sengaja dipelihara. Konon, mereka itu bahkan dibayar mahal. Seperti diakui Abu Janda dalam beberapa kesempatan. Bahwa dia memang dibayar penguasa. Dengan anggaran puluhan milyar rupiah per bulan.
Sementara konglomerat hitam oleh banyak kalangan dipandang sebagai pihak yang mengendalikan kebijakan penguasa. Segelintir orang yang lebih dikenal dengan sebutan oligarkhi ekonomi. Para konglomerat hitam yang tidak diragukan lagi sejak penyelenggaraan pemilu telah meng-“ijon” kekuasaan pemerintah dengan kucuran dana yang luar biasa besar. Sehingga kemenangan dalam pemilu dapat diraih, walau apa pun caranya. Kemudian segala kebijakan strategis pemerintah terpaksa harus mengikuti apa yang mereka mau. Bukan menuruti kemauan rakyat yang telah memberikan amanat kekuasaan.
Sudah jadi rahasia umum karenanya. Jokowi sebagai presiden yang memegang amanat rakyat sekarang bukanlah penguasa sesungguhnya di republik ini. Tentu saja, tidak ada yang menolak bahwa dialah presiden. Tapi dalam menerapkan kebijakan, menurut istilah mantan Ketua MPR Amien Rais, dia sudah diibaratkan bebek lumpuh. Di satu sisi dia harus memperhatikan kepentingan oligarkhi. Di sisi lainnya dia justru tidak sepenuhnya diikuti dan dipatuhi bawahannya. Karena bukan mustahil bawahannya juga sudah terjerat oleh kekuasaan oligarkhi ekonomi itu. Secara langsung maupun tidak.
Keputusan Jokowi melarang ekspor CPO, misalnya. Yang dalam tempo singkat dikoreksi Menko Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto. Sebelumnya, keputusan presiden melarang ekspor batu bara juga dibatalkan LBP dalam hitungan hari.
Kita mencatat, sudah begitu seringnya Jokowi melakukan kebijakan yang plin-plan. Tidak konsisten. Yang berujung revisi dari bawahannya sendiri. Yang bukan hanya minim penjelasan. Bahkan justru tidak ada penjelasan sama sekali.
Semua itu menggambarkan bahwa presiden memang tidak punya wibawa. Tidak punya kapasitas dan kapabilitas untuk melindungi kepentingan rakyat dari ancaman kekuasaan oligarkhi. Situasi yang membuat rakyat benar-benar habis kesabaran. Sehingga gerakan”people power” dalam waktu dekat sepertinya tidak mungkin dihindari. Apalagi desakan agar Jokowi mencopot menteri tertentu tidak pernah mendapatkan tanggapan yang semestinya.
Amin Rais: "Jokowi diibaratkan bebek lumpuh. Harus memperhatikan kepentingan oligarkhi dan bawahannya tidak patuh sepenuhnya." (FOTO: tangkaoan layar - republika.co.id)
Sebaliknya Jokowi justru memberikan jabatan yang lebih banyak lagi kepadanya.
Sehingga slogan-slogan yang diteriakkan kaum demonstran – dari kalangan mahasiswa maupun buruh – kini mulai berubah ke arah desakan untuk menuntut presiden mengundurkan diri. Aksi-aksi mahasiswa, gerakan kaum buruh, perlawanan emak-emak garis keras dan rakyat jelata disinyalir akan semakin mewarnai percaturan politik tanah air dalam beberapa waktu ke depan. Terutama menyongsong momentum reformasi 21 Mei nanti.
Tentu saja kita tidak ingin bangsa ini tercebur ke dalam lumpur konflik yang berdarah-darah. Disebabkan lemahnya penguasa.
Semestinya semua ini dapat dijadikan peringatan bagi penguasa. Bahwa sekarang kita tidak berada dalam situasi dan kondisi yang baik-baik saja. Dan bahwa perlawanan rakyat akan meluas bila penguasa tidak mengambil langkah-langkah yang semestinya, dalam mengatasi segala permasalahan yang ada.
Gerakan people power yang pernah menumbangkan kekuasaan rejim Orla Soekarno dan rejim Orba Soeharto rasanya perlu direnungkan semua pihak. Karena situasi dan kondisi di era terakhir kedua rejim itu lebih kurang juga terjadi sekarang. Rakyat menjerit karena kehidupan mereka secara ekonomi kian sulit. Sementara rejim tidak tampak begitu sungguh-sungguh mengatasinya. Karena korupsi kolusi dan nepotisme dibiarkan merajalela. Dan penguasa tidak mengambil langkah-langkah yang semestinya.
Boleh jadi gerakan people power yang ditakutkan akan terjadi itu hanya riak-riak kecil saja, sehingga tidak akan berujung pada pemakzulan bagi pemerintahan Jokowi. Tapi hendaknya hal-hal seperti ini tidak dianggap enteng. Memperbaiki sejumlah langkah ke depan tentu lebih diharapkan. Sisanya biarlah Allah yang memutuskan, dengan tetap meningkatkan ketaqwaan kepada-Nya. (*)