COWASJP.COM – Bulan Juni ini bulan apa? Sebagian orang menyebutnya “Bulan Soekarno”. Ini karena pada bulan ini, ada tiga tanggal bersejarah menyangkut tokoh Proklamator itu. Pada 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan pidato tentang Pancasila sebagai dasar Negara. Presiden Joko Widodo pun telah mengembalikannya sebagai “Hari Lahir Pancasila”, dengan menetapkan sebagai hari libur nasional pula. Tanggal 6 Juni (1901) adalah hari kelahiran Soekarno, dan 21 Juni (1970) adalah tanggal wafatnya.
Sejak awal Juni yang lalu hingga akhir Juni 2022 sulit rasanya menghitung beragam acara untuk mengenang perjuangan Soekarno. Acara yang digelar pemerintah pusat, daerah tingkat satu dan dua, hingga kecamatan dan kelurahan. Belum lagi berbagai acara yang diadakan atas inisiatif pribadi-pribadi pengagum Soekarno, dari kalangan muda hingga tua.
Di Desa Waung, Kec.Porong, Sidoarjo, misalnya, Peringatan Hari Pancasila 1 Juni digerakkan warga setempat dengan mengusung 20 tumpeng keliling desa dan pagelaran wayang kulit. Seluruh warga desa tumplek bleg menyaksikan acara yang unik itu. Tokoh penggerak acara itu, Roni Arifin, masih muda sekali untuk mengenal Soekarno, meski gaung harapan bakal diusulkannya Desa Waung sebagai Desa Pancasila membuatnya bersemangat sekali. Roni baru berusia sekitar 40 tahun, saat Soekarno sudah wafat. Tetapi sudah seringkali Roni menggelar acara terkait penghormatan kepada Soekarno. Tak lupa Roni juga membagikan beragam hadiah untuk tokoh-tokoh desa dan veteran.
Namun, meskipun iklim politik penghormatan kepada Soekarno terus membaik, apa yang paling penting dari peringatan tanggal bersejarah itu, sayangnya, belum banyak dipahami warga masyarakat. Apa yang disampaikan Soekarno pada 1 Juni 1945. Pernah baca teks pidatonya? Pertanyaan soal ini mungkin lebih baik tidak usah disampaikan.
Faktanya, sejak akhir dekade 1960-an. umumnya murid sekolah dan bahkan mahasiswa tidak pernah tahu teks pidato tersebut. Umumnya mereka memang tidak tahu isi pidato itu karena tidak diajarkan di sekolah. Jelasnya: dilarang. Jutaan PNS dan anggota militer telah ditatar P4 sejak puluhan tahun lalu. Tetapi mereka juga tidak tahu. Bukan salah mereka tentu, karena memang tidak diajarkan.
Padahal, teks pidato tersebut bolehlah disebut sebagai salah satu mahakarya Soekarno sebagai pemimpin bangsa, karya intelektual kelas satu. Tidak kalah dengan pidato terkenal Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln di Gettysburg, Pennsylvania, pada 19 November 1863 menjelang akhir Perang Saudara Amerika. Soekarno memang diakui sebagai seorang orator yang luar biasa.
Hal ini bisa kita simak misalnya dari Majalah Time edisi akhir Agustus 1999 yang menampilkan 100 tokoh terkemuka abad ke – 20, salah satunya adalah Soekarno. Tulisan itu antara lain menyebutkan, betapa Soekarno menggunakan bakat bahasa dan pidatonya untuk mempersatukan negerinya. Media itu juga memberikan kilas balik sejarah tentang mentor politiknya, H.O.S Tjokroaminoto, yang memungkinkannya belajar berbicara di depan umum.
Media internasional itu menyatakan, Soekarno mempersatukan negerinya dan memerdekakannya. Ia membebaskan rakyatnya dari perasaan rendah diri dan membuatnya merasa bangga jadi orang Indonesia – bukan prestasi kecil, yang terjadi setelah 350 tahun penjajahan Belanda, dan tiga setengah tahun pendudukan Jepang.
Apa yang dilakukan Soekarno pada 17 Agustus 1945 tidak berbeda dari apa yang dilakukan Thomas Jefferson untuk rakyat Amerika pada 4 Juli 1776. “Mungkin bahkan lebih : Soekarno adalah satu-satunya pemimpin Asia di era modern yang mampu mempersatukan rakyatnya yang memiliki latar belakang etnis, budaya dan agama begitu beragam tanpa menumpahkan setetes darah,” tulis majalah itu.
Rasa kagum luar biasa atas kemampuan berbicara Soekarno bisa dilihat pula dalam buku Indonesia : The Possible Dream (1971) karya Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika Serikat dari akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an.
“….. Soekarno was a vital man, expressing exuberance and enthusiasm in everything he did. He had an extraordinary boyishness and, in those early years of his power, was warm, responsive, casual, always ebullient. His face lighted up with an enfectious smile when greeting a friend or a new acquintance. He was not easly disturbed unless his overweening vanity was touched or his emosions were aroused; then he could become explosive. He was, in brief, a dinamic, magnetic leader, a self-profeseed egotist, and effervescent extrovert. His amazing energy and vitality were the talk of the diplomatic corps. After a day in which he addressed mass meeting for hours – on one occasion I heard him make three two-hour speeches within a eight – hour period – he wolf down an enormous dinner and the dance until after midnight, enjoying every moment.”
FOTO: majalahagraria.today
(Soekarno adalah orang penuh vitalitas, mengungkapkan kegembiraan dan antusiasme di semua yang dia lakukan. Dia memiliki sifat kebocahan yang luar biasa dan, pada tahun-tahun awal kekuasaannya, hangat, responsif, santai, selalu bersemangat. Wajahnya bersinar dengan senyum yang menawan saat menyapa teman atau kenalan baru. Dia tidak mudah terganggu kecuali kepercayaan dirinya yang besar tersentuh atau emosinya terangsang; maka ia bisa menjadi marah besar. Dia, singkat kata, seorang pemimpin dinamis, sebuah magnet yang penuh ego dan sifat ekstrovet yang tinggi. Energi dan vitalitasnya yang luar biasa selalu jadi pembicaraan korps diplomatik. Suatu hari setelah berpidato di muka umum selama berjam-jam - pada satu kesempatan saya mendengarkan dia berbicara dua tiga jam dari delapan jam keseluruhannya- dia turun langsung makan malam dan menari sampai tengah malam, menikmati setiap momen yang dilaluinya.)
Bahwa Soekarno adalah seorang jago bicara (dan tentu saja juga menulis), manusia sejagat boleh dikatakan sudah tahu. Apa yang belum disadari banyak orang, Soekarno adalah seorang ahli bahasa. Ia tidak hanya pintar berpidato dengan bahasa Indonesia, tetapi juga sejumlah bahasa lainnya. Berapa sebenarnya bahasa yang dikuasai Soekarno?
Simak tulisan lainnya Prof. Dr. Sudjoko (alm), pengamat bahasa dan Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, menulis di harian Kompas , 20 Mei 1987 :
“ ….. Lalu muncul ahli bahasa yang bernama Ir. Soekarno. Bahasa-bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Sunda, Jawa, dan tentu saja bahasa Indonesia menyembur dari lidahnya dan penanya secara meyakinkan. Bahasa latin, Sansekerta, dan Arab diketahuinya ala kadarnya … “
Penjelasan lain pernah dikemukakan Brigjen (Purn) Marinir Bambang Widjanarko, salah seorang mantan ajudan Bung Karno. Dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno (Gramedia, 1988), Bambang menulis : “ … Dengan lancarnya dilayaninya teman bicaranya dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan bila bertemu dengan orang asing yang berbahasa Belanda, maka asyiklah BK (Bung Karno) berbicara dalam bahasa itu, yang memang sangat ia kuasai.”
“Menguasai beberapa bahasa asing memang merupakan salah satu kelebihan BK di antara banyak kelebihan lainnya. Di samping bahasa-bahasa tersebut di atas BK mengerti pula bahasa Jepang secara pasif dan sedikit Spanyol,” tulis Bambang.
Norodom Sihanouk, Raja Kamboja yang juga salah satu sahabat dekatnya, mengakui kehebatan kemampuan bahasa asing Soekarno lewat bukunya, Pemimpin Dunia yang Saya Kenal (Grafiti, 1991). Sihanouk mengatakan, dirinya bertemu Bung Karno pertama kali pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan April 1955. Ia juga mengungkapkan, saat itu kemampuan bahasa Inggrisnya masih buruk karena ia lebih memilih belajar bahasa Latin dan Yunani klasik daripada bahasa-bahasa modern di sekolah lanjutan Prancis di Saigon, dengan harapan nantinya menjadi guru bahasa Prancis, Latin dan Yunani.
“Untungnya, Soekarno seorang ahli bahasa yang ulung. Dia tidak hanya menguasai bahasa Belanda dan tentu saja Indonesia – termasuk bahasa pulau kelahiran ibunya tercinta, Bali – tetapi juga fasih berbahasa Prancis dan Pali, bahasa suci India zaman kuno yang masih digunakan oleh para biarawan Buddha, termasuk antara lain para biarawan Khmer kami. Bahasa Inggrisnya luar biasa … “, kata Sihanouk.
“Karena itu kami bisa segera bercakap-cakap, tanpa memerlukan seorang penerjemah, dengan bahasa Prancis,” katanya.
Nah, berapa bahasa yang dikuasai Bung Karno baik aktif maupun pasif? Hitung saja. Tetapi jangan lupa tentang kemampuan Bung Karno menggunakan bahasa-bahasa tersebut secara sangat ekspresif dan menawan. Ada nilai plus tentunya.
Prof. Ramlan Surbakti, Drs.MA.,Ph.D.,(71) Guru Besar Ilmu Politik di Program Pascasarjana Universitas Airlangga, pernah mengatakan, ketertarikannya pada politik adalah juga akibat menariknya pidato-pidato Bung Karno. Pengalaman sebagai cendekiawan berdedikasi versi Harian Kompas ini, di masa kecil di desa Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, masih membekas.
“Saya heran bagaimana warga kampung meninggalkan pekerjaan di sawah untuk mendengarkan pidato Presiden Soekarno,” kata Prof Ramlan, yang pernah pula menjadi Ketua KPU
Para pemimpin bangsa seperti itulah barangkali yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Mereka yang mampu mengangkat harkat dan kehormatan bangsa. Mereka yang mampu mempersatukan rakyat hanya dengan lidahnya. Tanpa kekerasan. Tanpa darah yang mengalir.(*)
Penulis: DJOKO PITONO, Veteran Jurnalis Internasional, Editor Buku.