COWASJP.COM – DALAM sebuah acara di Jakarta bulan Juni lalu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa ada 5 (lima) kepala pemerintahan yang berminat agar Indonesia secepatnya memasok batubara ke negara mereka. Permintaan batubara dalam format politik oleh beberapa kepala pemerintahan ini sebetulnya agak ganjil mengingat batubara adalah komoditas yang diperdagangkan secara bebas dan cukup transparan, baik terkait sumber asal maupun harganya. Fluktuasi harga batubara yang kini terjadi pun merupakan bagian dari mekanisme pasar yang berlaku.
Permintaan ekspor batubara ternyata tidak hanya diarahkan dari Indonesia. Rusia juga berencana meningkatkan ekspor batubara ke pasar global dari 18 persen menjadi 25 persen pada tahun 2050. Mengingat jalur transportasi kapal Rusia kini agak terganggu akibat perang Rusia-Ukraina yang belum jelas kapan berakhirnya, Rusia kini sedang merencanakan rute-rute alternatif bagi distribusi batubaranya ke negara-negara pembeli.
Di sisi lain, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan terjadinya kenaikan permintaan batubara sebesar 10 persen pada tahun ini, khususnya peningkatan permintaan dari India dan Cina. Di samping itu, Jerman, Prancis, Austria dan beberapa negara lainnya mulai mengaktifkan kembali pembangkit listrik yang menggunakan batubara. Hal ini juga menjadi pemicu utama naiknya harga batubara di seluruh dunia saat ini.
Permintaan pasokan batubara dari Indonesia, salah satunya, adalah dari Jerman. Pada awal bulan Mei tahun ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif sudah membicarakan terms and conditions ekspor batubara Indonesia ke Jerman dengan ketua Asosiasi Perusahaan Batubara Jerman (VDKI). Permintaan dari Jerman ini menjadi paradoks mengingat Jerman adalah salah satu negara yang mengkampanyekan penghentian penggunaan batubara untuk beralih ke energi bersih (clean energy).
Komitmen ini bahkan masih ditunjukkan di bulan yang sama (Mei 2022) pada pertemuan antara utusan khusus Pemerintah Jerman untuk Special Envoy for International Climatte Action at the Federal Foreign Office, Jennifer Lee Morgan dengan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar guna kerjasama transisi energi dan membahas isu perubahan iklim. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengakselerasi transisi energi dengan mengurangi penggunaan energi yang berasal dari batubara. Jerman sendiri berencana menghentikan penggunaan energi dari batubara pada tahun 2030.
Bagi Indonesia, permintaan ekspor batubara, yang selama ini dianggap biang keladi perubahan iklim dunia, sungguh sangat menyakitkan. Eropa butuh batubara Indonesia, namun di sisi lain Eropa menolak ekspor biodiesel dari Indonesia – yang merupakan tumpuan kehidupan ekonomi bagi jutaan petani – lantaran dianggap “tidak bersih lingkungan”.
Uni Eropa (UE) mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan (renewable energy). UE menempatkan biodiesel sebagai penyebab emisi gas rumah kaca, dan menganggap penggunaannya sebagai bertentangan dengan visi pembangunan berkelanjutan Uni Eropa.
Lalu, ada apa sebenarnya dengan meningkatnya permintaan atas batubara ini? Bukankah penggunaan batubara sebagai sumber energi banyak dihujat dengan dalih isu lingkungan lantaran memberi kontribusi CO2 terbesar? Bukankah sebagian besar negara di dunia juga sudah bersepakat untuk mengurangi penggunaannya sebagai sumber energi? Mengapa Indonesia kembali dilirik oleh banyak negara untuk memasok batubaranya sebagai sumber energi mereka?
Terjadinya permintaan ini bahkan bersebelahan dengan komitmen internasional melalui Conference of the Parties (COP). Dalam COP ini negara-negara maju berkomitmen memberikan asistensi bagi negara-negara berkembang untuk melakukan transisi energi.
Transisi energi adalah upaya suatu negara untuk menghentikan penggunaan sumber energi yang memiliki tingkat CO2 tinggi dan menggantinya dengan menggunakan sumber energi yang memiliki tingkat CO2 yang lebih rendah. Dalam konteks transisi energi, batubara adalah sumber penghasil CO2 terbesar dan karenanya secepatnya penggunaan batubara harus dihentikan.
Perang Rusia-Ukraina memberi dampak besar pada pergeseran isu-isu geopolitik dunia. Salah satu yang utama adalah mencuatnya energy security menjadi isu utama, menggeser isu-isu yang lain. Mempertimbangkan perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai itu, banyak negara berusaha melakukan redefinisi mengenai keamanan energi (energy security) masing-masing.
Sejatinya, isu keamanan energi merupakan bagian dari konsep energy trilemma. Yakni keamanan energi, energi untuk kualitas hidup (energy for quality of life), serta energi dan lingkungan (energy & environment) menjadi satu kesatuan dan harus mencapai keseimbangan. Di masa damai cukup mudah untuk mengintrodusir konsep energy trilemma, namun tidak demikian keadaan saat ini.
Kebutuhan akan keamanan energi dalam sistem energi di suatu negara tidak dapat diabaikan, khususnya ketika pasokan energi berkurang. Sayangnya pasokan energi tidak terdistribusi secara merata di seluruh dunia.
Tiap negara memiliki jumlah pasokan dan akses ke sumber energi yang berbeda-beda. Rusia, misalnya, memiliki sumber daya yang sangat besar atas pasokan energi primer. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kemampuan Rusia dalam mengekspor sumber-sumber energi yang dibutuhkan dunia: batubara sebesar 245 juta ton per tahun, minyak mentah sebesar 4,7 juta barrel per hari, dan mengekpor gas alam sebesar 250 bcm3 per tahun.
Dalam konteks keamanan energi, posisi UE terlihat sangat lemah lantaran banyak negara di kawasan itu bergantung pada impor dari Rusia. Guna menjaga keseimbangan pasokan energi, UE mengimpor beberapa bahan bakar fosil dari Rusia: gas alam sebesar 39%, minyak 27% dan batubara 46%.
Dalam kacamata keamanan, besarnya prosentase impor energi dari Rusia ini menjadi sangat riskan ketika hal itu dikaitkan dengan pentingnya keragaman sumber energi (diversification of energy sources). Bahwa untuk mencapai ketahanan energi, diperlukan keragaman pasokan energi dan impor energi dari beragam sumber. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh banyak negara di Eropa.
Penggunaan kembali batubara menunjukkan hipokrisi negara-negara maju tentang politik energi. Masih sekitar dua miliar penduduk bumi belum mendapatkan listrik dengan baik, dan satu miliar penduduk lainnya hidup tanpa ada aliran listrik di rumah mereka. Miliaran penduduk bumi membutuhkan pasokan listrik yang stabil dari batubara guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Tanpa pasokan listrik yang baik, peningkatan taraf hidup masyarakat sulit dilakukan, dan negara-negara maju menutup akses pendanaan terhadap pembangunan pembangkit listrik batubara ini.
Memiliki akses terhadap listrik bukan berarti hidup makmur. Tetapi tidak memiliki akses listrik sama artinya dengan hidup dalam jerat kemiskinan yang berkelanjutan. Tanpa aliran listrik yang stabil, tingkat kesehatan sulit meningkat. Wilayah-wilayah yang tak memiliki ketersediaan listrik adalah juga wilayah-wilayah dengan tingkat kematian bayi yang sangat tinggi.
Ketika hipokrisi negara-negara maju terkait batubara dipertontonkan secara telanjang, julukan ‘energi kotor’ dari yang disandang oleh pembangkit batubara sepertinya tidak lagi dipedulikan. Isu keamanan energi menjadi lebih penting ketimbang isu lingkungan. Pembangkit batubara pun akan terus bertambah. Jika negara maju tidak mau memberikan pembiayaan untuk pembangunan batubara di negara-negara berkembang, maka Cina yang akan membangunnya. Dan Cina sudah membuktikannya selama lebih dari dua dasawarsa ini.*