COWASJP.COM – Tanggal 11 September 2022. Tak terasa, 3 tahun sudah aku harus berdamai dengan stroke. Aku bersyukur, karena tak terlalu lama harus jadi kembang bayang alias bunganya tempat tidur. Berikut penuturan Santoso alias Akung Bondet, wartawan senior di Madiun sebagai penyintas stroke.
***
HARI itu Kamis, 11 September 2019, jam menunjukkan pukul 13.30. Panas menyengat ubun-ubun ketika aku berangkat mengajar jurnalistik di SDN 03 Nambangan Kidul. Kurasakan sepeda motorku selalu nyerong ke kiri. Aku berhenti di SPBU mini di Pilangbango yang ada pompanya.
Begitu berhenti, aku ambruk. Kaki kiriku tak kuat menyangga beban. Aku tertindih sepeda motor. Tak bisa bergerak lagi, hingga ditolong orang yang ada di sekitarnya. Didudukkan di lincak bambu, dunia rasanya berputar. Aku rasakan seperti mau tersungkur.
Uti (istriku) yang dikabari datang langsung membawaku ke RS Sogaten, sebuah rumah sakit milik Pemkot Madiun. Aku hanya ingat ketika perawat yang membawa brankar tanya, ‘’bapak ada dimana ini?" Setelah itu, aku tak sadarkan diri.
Aku baru tersadar ketika terdengar suara sirine ambulans. Kulihat uti duduk di sampungku. ‘’Aku dibawa kemana?’’ ‘’Bapak dirujuk ke RSUD Dr Sudhono yang alatnya lebih lengkap,’’ jawabnya. Saat itu jam 21.00, kuhitung berarti sejak jam 14.00 atau sekitar 7 jam aku tak sadarkan diri. Selama 14 hari aku dirawat di rumah sakit. Pulang masih dalam kondisi lumpuh separuh, bagian kiri.
Depresi, itu pasti. Bagaimana tidak? Biasa aktivitas tinggi, ya mengajar dan pelatihan jurnalistik. Kadang ada job seminar literasi, sampai jualan lumpia Semarang di embongan sebagai PKL, ngopi sambil diskusi. Eh....tiba-tiba lumpuh. Apalagi ada tetangga yang bertahun-tahun tidak sembuh. Semua itu membuat depresi semakin menjadi-jadi.
Untungnya aku termasuk seorang literat. Maka komputer pun kusandingkan di tempat tidurku. Berselancar di dunia maya. Kucari semua artikel tentang stroke. Dari situlah aku tahu, bahwa golden periode pemulihan tercepat hanya 3 bulan saja. Setelah itu akselerasi pemulihan akan melambat. Bahkan kalau sampai setahun, dimungkinkan bisa cacat tetap.
Periode inilah yang harus mendapat perhatian ekstra penderita stroke. Pun juga kecepatan penanganan begitu terserang stroke. Pasien harus segera dilarikan ke rumah sakit. Golden time-nya hanya 4 jam, kalau tak ingin kerusakan otak semakin parah. Aku yang terpaut 2 jam, darah yang meleleh di otak sudah mencapai 11 mili. Stroke hemoragik (pecah pembuluh darah otak), itulah yang aku alami akibat tensi melambung sampai angka 230/110.
Narik rombong dengan motor modifiksi roda 3. (FOTO: Dok. Keluarga Santoso)
Gusti Allah sepertinya mencambukku, sekaligus juga memberi jalan pintas menuju pemulihan. Sebulan sejak terserang, aku harus menyelesaikan tanggungjawabku. Yakni melaksanakan job yang terjadwal, pelatihan literasi mandiri di SMPN 12 Kota Madiun.
Dengan masih duduk di kursi roda aku laksanakan job itu. Meski sebenarnya para guru agak ragu melihat kondisiku. Tapi dedikasi tak pernah mati. Kulaksanakan job itu. Meski 3 jam harus berbicara dan membuat kepala pusing saat sampai di rumah.
Namun di sinilah justru aku mendapat jalan pemulihan. Yakni motivasiku untuk pulih meningkat bagai meteor. Secara psikologis, acara itu membuat sebuah keyakinan tumbuh. ‘’Bahwa ternyata aku masih bisa, ternyata aku masih berguna.’’ Kalimat sakti itulah yang membuat depresiku terkikis, berubah menjadi semangat makantar-kantar (membara). Aku harus segera pulih. .
Apalagi sehari-hari aku melihat, uti sudah bangun sebelum ayam jantan berkokok. Ia harus masak di dapur untuk jualan nasi kuning di pagi hari. Saat itu, hanya dari jualan itulah penyangga hidup keluarga. Habis jualan masih harus mengurus aku membersihkan tubuh termasuk juga saat BAB. Itu juga menjadi motivasiku.
Bulan kedua aku sudah bisa berjalan. Bondho nekad, itu yang aku lakukan. Ketika hari Minggu pagi uti jualan di embongan, aku nekad keluar rumah. Kalau sebelumnya belajar jalan sambil trantanan, saat itu mencoba untuk jalan di depan rumah.
Ternyata bisa. Dan aku pun berjalan berkeliling satu blok perumahan. Kenekadanku membuat tetangga yang tahu kaget. Tongkat kaki tiga yang aku bawa hanya aku jinjing. Alhamdulillah, aku bisa jalan. Aku berteriak kegirangan dalam hati dan tentu tak lupa bersyukur.
Bertemu siswa jurnalistik membuat bahagia.
Sejak itu —lagi-lagi— aku nekad mengajar jurnalistik lagi. Diantar anakku ke sekolahan. Tapi pandemi mengakhiri aktivitas yang membuatku bahagia ini.
Uti sempat geleng-geleng kepala melihat kenekadanku ini. Motor pun aku rombak jadi roda tiga. Modifikasi motor ini dibiayai oleh Yayasan Dompet Dhuafa yang diinisiasi oleh Pak Parni Hadi, pendiri Harian Republika Jakarta.
Sejak itulah aku sudah berani nggeret rombong jualan di embongan lagi menggunakan motor roda tigaku. Meski uti dan anak-anak melarang, tapi aku nekad. Dalam hal nekad, aku belajar dari Begawan Media Dahlan Iskan. Dalam kondisi sakit parah dan mau ganti hati, dia masih bisa bergurau bahkan menulis pengalaman dan apa yang dirasakan.
Karena itulah di masa pandemi, aku isi dengan menulis dan menulis. Hingga terbitlah 2 buku, yakni MELAWAN STROKE dan buku ke-14 MY WIFE MY TREASURE.
Semua buku ini istimewa lho. Dan mestinya bisa masuk MURI atau paling tidak Guinness Book of Record, hehehehe.... Sebab aku menerbitkan buku dengan jurusku sendiri ‘’Seven-D’’. Yakni ditulis sendiri, diedit sendiri, di-layput sendiri, digrafis sendiri, dicetak sendiri, dijilid sendiri dan dijual sendiri. Termasuk 2 buku saat stroke pun aku lakukan itu.
Kalau mau mengoleksi silakan add akun FB saya, ‘’Bondet Santos’’...hehehe promo,. Mudah-mudahan tidak digunting sama redaksi.
Tiga tahun...yah tak terasa sudah tiga tahun aku sebagai penyintas stroke. Aku bersyukur bahwa Gusti Allah masih memberi kesempatan untuk bisa beraktivitas.
Meski sampai saat ini untuk berjalan masih timik-timik (perlahan-lahan). Tak apalah. Yang penting bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa menyusahkan siapa pun.
Karena pekerjaanku lebih banyak menggunakan memori, maka sekarang ini aku fokus untuk menjaga dan mengasah memori. Tentu dengan caraku sendiri. Misalnya dengan setiap malam menyanyi diiringi keyboard di Joglo Palereman Kelun.
Menyanyi merupalan terapi memori sekaligus artikulasi dan intonasi suara. (FOTO: Dok. Santoso)
Aku selalu memilih lagu barat. Bukan sok ke-barat-baratan. Tapi lagu itu yang aku rasakan paling susah untuk dihapalkan. Karena itulah aku tak pernah menggunakan teks. Semua harus aku hapalkan di luar kepala. Yah...untuk terapi merangsang saraf memori bekerja dengan baik. Selain itu, menyanyi juga untuk melatih kembali artikulasi dan intonasi suara. Pun untuk mensinkronkan antara nada dan suara.
Kini aku menjalani sisa hidupku dengan rasa syukur. Meski dengan kondisi ekonomi pas-pasan,... pas untuk makan sehari-hari. Pun berharap bisa momong cucu sampai mereka bisa hidup mandiri.
Ada satu hal yang aku ingat saat di rumah sakit. Rasanya suatu malam aku dikerumuni banyak wanita cantik berpakaian serba hijau. Salah satunya memegang erat tangan kananku sambil menangis. Di tengah tangisnya, wanita cantik itu berkata, ‘’Bapak tidak boleh pulang dulu,..... nanti kalau sudah waktunya, bapak baru boleh pulang.’’
Aku tak paham apa maknanya. Adakah ini merupakan halusinasi akibat depresiku. Atau...inikah 72 bidadari itu....hehehehe....wallahualam.(*)