COWASJP.COM – Penilaian kritis terhadap kondisi Indonesia muncul dari Bulaksumur. Tepatnya dari Fisipol UGM. Setidaknya itulah yang bisa didengar dari Pidato Dies Natalis ke-67 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Tahun 2022. Pidato ini dibacakan oleh dosen Ilmu Hubungan Internasional Dr Nur Rachmat Yuliantoro. Ia menyampaikan pidato yang berjudul “Transformasi Digital, Pandemi, dan Krisis Iklim: Tantangan Baru Demokrasi Global.”
Awal kalimat dalam pidato yang disusun oleh tim yang beranggotakan 13 orang dosen ini pun cukup menyengat. “Demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Apapun istilahnya – democratic decline, democratic regression, democratic erosion, democratic backsliding, democratic deconsolidation, autocratization, atau lainnya – semakin banyak ilmuwan politik dan sosial yang bersepakat bahwa demokrasi sedang mengalami penurunan, “ ujar Nur Rachmat.
Pembahasan tentang demokrasi pun lantas “berjalan“ dari China, India, Amerika, Brazil baru kemudian ke Indonesia. Ketika membahas Indonesia inilah, sejumlah penilaian kritis muncul.
“Kondisi di Indonesia semakin memprihatinkan ketika pandemi COVID-19 dimanfaatkan untuk menegaskan kekuasaan oligarki. Menggunakan dalih kesehatan, pergerakan rakyat dibatasi, termasuk pembatasan melakukan aksi protes secara langsung yang berdampak pada berkurangnya ruang partisipasi publik, “ tegas Nur Rachmat.
Seminar Nasional Untuk Apa Reformasi? salah satu kegiatan dalam rangkaian dies natalis Fisipol UGM.
Doktor lulusan Flinders University Australia ini melanjutkan, pada awal pandemi di tahun 2020, Kepolisian Republik Indonesia tidak mengeluarkan izin demonstrasi untuk mencegah penyebaran virus. Namun, sikap ini disambut dengan langkah eksesif berupa penangkapan dan tindak kekerasan terhadap demonstran dengan alasan melanggar protokol kesehatan (CNN Indonesia 2021). Tentu saja, penggunaan kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Selain itu, oligarki memanfaatkan kondisi ini dengan menyelinapkan sejumlah perumusan hingga pengesahan regulasi yang problematis, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan UndangUndang Cipta Kerja.
“Hal ini sungguh ironis mengingat rakyat telah dihadapkan dengan kesulitan hidup akibat pandemi, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Kemudian, secara struktural negara menambah beban rakyat melalui keputusan-keputusan yang problematis di atas,“ tegas pria kelahiran Tangerang ini.
Ditambahkannya, keputusan pembangunan secara elitis tanpa partisipasi substansial masyarakat dapat meningkatkan ancaman krisis iklim sebagaimana tercermin dalam rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Pembangunan infrastruktur yang ditujukan untuk IKN tetap dilakukan, meskipun hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN menunjukkan hasil yang kurang baik.
“Pembangunan IKN beresiko mendorong krisis iklim, merusak tata air, dan keberlangsungan hidup flora serta fauna (CNN Indonesia 2022). Risiko kerusakan lingkungan yang berdampak ke masyarakat sekitar lokasi IKN tidak menjadi pertimbangan mengingat Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN telah disahkan menjadi Undang-Undang,“ tandas Nur.
Elit Politik Bersekutu
Tidak hanya itu. Suara kritis dari kampus almamater Presiden Jokowi, Mensesneg Pratikno dan sejumlah Menteri ini, juga menyoal soal rekrutmen politik. Simak saja penilaian berikut ini.
“Dalam praktik pelaksanaan demokrasi di Indonesia, pencalonan dan rekrutmen politik memerlukan biaya yang besar. Situasi ini menjadikan elit-elit politik cenderung bersekutu dengan kelompok bisnis dalam memenuhi pembiayaan politik. Potensi eksploitasi dan kerusakan lingkungan lebih besar ketika praktik-praktik oligarkis bertahan, yaitu apabila kebijakan pro-pembangunan yang tidak berkelanjutan bersesuaian dengan kepentingan bisnis-bisnis besar yang merusak lingkungan.“
Keberpihakan semestinya diberikan kepada masyarakat sipil yang berkepentingan untuk memperingatkan bahaya degradasi lingkungan akibat berbagai eksploitasi, bukan justru membatasi kanal-kanal aspirasi dan merepresi suara masyarakat yang kritis. Berlipat gandanya risiko perubahan iklim akibat kebijakan pro-pembangunan tidak berkelanjutan ini akan dirasakan akibatnya secara langsung oleh sebagian besar masyarakat.
Pidato dengan naskah setebal 28 halaman ini juga menyinggung soal kebebasan masyarakat di dunia. Disebutkan, hanya 20% penduduk dunia yang benar-benar merasakan kebebasan. Sebanyak 42% penduduk dunia saat ini tinggal di negara-negara yang setengah bebas karena berbagai masalah terkait korupsi, lemahnya penegakan hukum, maraknya perselisihan yang dipicu isu etnisitas dan agama, serta terdapatnya dominasi kelompok tertentu dalam politik.
Sementara itu, 38% sisanya hidup di negara-negara yang tidak bebas, di mana hak politik dan sipil warga diabaikan secara sistematik.
Dipaparkan pula, hanya 6,4% dari penduduk dunia tinggal di negara-negara dengan full democracy. Sekitar 39,3% penduduk tinggal di negara-negara dengan sistem demokrasi yang “tidak sempurna,” 17,2% di negara-negara dengan rezim hibrida, sementara 37,1% atau lebih dari sepertiga hidup di bawah rezim otoriter, terutama di Cina.
Pidato Dies yang disampaikan secara hybrid –daring dan luring-- ini menjadi pembuka rangkaian kegiatan dies Fisipol UGM. Kegiatan lainnya, di antarnya Seminar Nasional dengan tema "Untuk Apa Reformasi? Tantangan Demokrasi di Era Disrupsi". Seminar ini menghadirkan pembicara: Dr. Amalinda Savirani (Dosen DPP Fisipol UGM), Dr. Zainal Arifin Mochtar (Dosen Fakultas Hukum UGM) dan Dr. Kuskridho Ambardi (Dosen Sosiologi Fisipol UGM). Dr. Poppy S. Winanti (Dosen HI Fisipol UGM) bertindak sebagai moderator.
Ada pula Pameran Fotografi; Ekspedisi Kepingan Surga di Timur Kalimantan (19 September), lalu Inspirational Leadership Taking Action in Environmental Justice (22 September), Fisipol Three Minutes Thesis Competition (23 September), Refleksi 20 Tahun UU Penyiaran (28 September), Webinar Pengetahuan Lokal dan Keadilan Iklim (29 September), FisipRun (1 Oktober), Bincang Alumni (7 Oktober) dan Aksi Peduli Bumi; Penanaman 1000 Pohon di KHDTK Getas, Hutan Ngandong, Salatiga. (*)