COWASJP.COM – IA berhenti dari tentara. Pangkatnya mayor. Uangnya sudah banyak. Ia merasa tidak enak: jadi tentara merangkap jadi pengusaha sukses.
Namanya: Wayan Supadno. Ia orang asli Yogyakarta. Ketika masih bayi ikut nenek bertransmigrasi ke ujung timur pulau Jawa. Ke Grajagan. Ke pinggir hutan di selatan Banyuwangi. Ayahnya ikut juga dalam rombongan neneknya itu.
Di situlah Wayan sekolah. Lalu masuk D3 Unair. Sambil bekerja: memberi kursus bimbingan tes. Juga jadi cleaning service untuk rumah tempatnya menumpang: agar tidak perlu bayar kos.
Sebagai keluarga transmigran orang tuanya tidak mungkin membiayai Wayan kuliah. Apalagi sang ayah belakangan ikut jejak orang tuanya: bertransmigrasi ke Sulawesi Tengah.
Selesai kuliah, Wayan melamar ke perusahaan farmasi asing. Jadi detailer. Pekerjaan utamanya mendatangi dokter. Agar mau memasukkan obat dari perusahaannya ke resep sang dokter.
Wayan ditempatkan di Banjarmasin. Awalnya begitu sulit ketemu dokter. Selalu saja ditolak. Lalu ia menemukan cara. Ia cari tahu kapan anak dokter itu ulang tahun. Lalu cari tahu: apa hobi si anak. Hari itu Wayan pun menyerahkan hadiah ulang tahun ke rumah dokter: mobil. Mobil mainan.
Prestasi Wayan dihargai. Ia dipindah ke wilayah yang lebih besar: Sulawesi Selatan. Sukses lagi. Giliran Wayan yang minta pindah: ke Bali. Wilayahnya termasuk NTB. Permintaannya dipenuhi.
Di Bali, Wayan terpikir bisa dekat dengan, ehm, gadis yang diincarnya –sejak masih di SMP di selatan Banyuwangi. Ia ingat pernah kirim surat cinta ke gadis SMP itu: ditolak. Surat dikembalikan. Beserta amplopnya. Masih utuh. Amplop itu belum dibuka.
Cinta remaja itu ia bawa ke Banjarmasin. Ke Makassar. Ke Bali. Dari Bali, Wayan melamar lagi. Kini diterima. Itulah istrinya sekarang. Yang memberinya tiga anak: yang bungsu lagi sekolah di Prancis.
Di Bali itu pikiran lama Wayan muncul kembali: ingin jadi tentara. Ia melihat pengumuman pendaftaran jadi perwira. Sewaktu mahasiswa pun Wayan ikut resimen mahasiswa.
Setelah pendidikan militer di Magelang Wayan ditempatkan di Pematang Siantar. Ia jadi pelatih tentara. Pangkat pertamanya letnan dua.
Bagaimana bisa tugas pertama langsung jadi pelatih? "Mungkin karena saya paling disiplin," katanya. Wayan mendapat pelajaran disiplin saat bekerja di perusahaan obat Inggris. Lalu menjadi darah dagingnya.
Di Pematang Siantar itu ia melihat begitu banyak cangkang sawit berserakan. Tiap hari ia juga melihat truk pengangkut batu bara. Suatu saat ia hentikan truk itu. Ia minta 5 kg batu bara. Ia merebus air di dua tungku. Satu pakai bahan bakar batu bara, satunya lagi pakai cangkang kelapa sawit. "Hasilnya kurang lebih sama," katanya.
Pikiran bisnisnya pun jalan. Ia harus menemui pimpinan pabrik kertas di Porsea. Jangan lagi bakar boiler dengan batu bara. Harus dengan cangkang. Lebih murah. Lebih ramah lingkungan.
Pabrik kertas itu dipimpin orang India. Si India menolak ide Wayan. Tapi Wayan sudah biasa ditolak: surat cintanya. Juga usahanya bertemu dokter di saat jadi detailer.
Akhirnya berhasil juga. Wayan mendapat kontrak pasok cangkang sawit 3.000 ton setahun. Selama 5 tahun. Jadilah Wayan pengusaha. Tugasnya sebagai pelatih tentara jalan terus. "Saya sampai punya tabungan Rp 7 miliar," katanya.
Wayan ingat orang tuanya. Yang hidup sebagai transmigran di Sulteng. Ia ingin pindahkan ayahnya ke Riau: agar bisa bertani sawit. Ia tahu ada transmigran yang dapat 2 hektare lahan sawit di Riau. Ia cari siapa yang tidak kerasan di lahan sawit itu. Ia beli lahannya. Ia serahkan ke ayahnya. Jadilah ayahnya pengelola 2 hektare kebun sawit.
Wayan sendiri ternyata pindah tugas ke Riau. Ia menjadi wakil kepala rumah sakit tentara di Pekanbaru. Pangkatnya sudah kapten. Ia pun bisa sambil menjadi pengusaha kebun sawit.
Tabungannya dari jualan cangkang sawit di Pematang Siantar ia belikan lahan di Riau. Ia datangkan 16 anak muda miskin dari Banyuwangi. Satu orang diminta mengelola 2 hektare kebun sawit. Berhasil. Mereka juga beternak sapi di kebun sawit. Sekalian sebagai sumber bahan baku pembuatan pupuk alami.
Rumah sakit tentaranya maju. Usaha pribadinya juga maju. Ia jadi bos. Pangkatnya naik menjadi mayor. Umurnya menginjak 45 tahun. Ia memutuskan untuk pensiun dini sebagai mayor. Ia ingin sepenuhnya konsentrasi di bisnis.
Saat itu lagi ada tawaran menggiurkan: membangun ratusan rumah dan ruko. Ia pun bekerja sama dengan pengusaha itu. Rumah dibangun. Pakai uang tabungannya. Ditambah uang muka dari pengusaha itu. Juga dari pinjaman bank.
Si pengusaha lari. Ke Singapura. Rumah-rumah sudah setengah jadi. Tidak ada yang membeli. "Saya langsung bangkrut. Habis. Ludes," katanya.
Wayan Supadno tunjukkan jeruk madu Chokun Thailand hasil panen dari kebun miliknya. (FOTO: borneonews.co.id)
Wayan tinggal punya rumah di Jonggol. Dekat Bogor. Ia meninggalkan Riau dengan tangan kosong. Ia merenungi nasibnya. "Ini salah saya sendiri," katanya. Ia tidak mau menyalahkan siapa pun. Tidak juga menyalahkan pengusaha yang lari tadi.
Di Jonggol ia berpikir: mau kerja apa. Dari kebun sawit di Riau ia belajar membuat pupuk. Ia mencoba membuat pupuk biologi. Ia coba di lahan mangkrak di Jonggol. Ia bertani di situ. Dengan pupuk buatannya sendiri. Lahan itu sekaligus arena demo untuk pupuk buatannya. Ia jualan pupuk.
Mulailah Wayan dapat uang kembali. Lalu berpikir membuka lagi kebun sawit. Tidak di Riau. Sudah penuh. Lahan sudah mahal.
Ia melirik Pangkalan Bun di Kalteng. Ia berkebun sawit dengan mengandalkan pupuk buatannya sendiri. Ia tahu hitungan. Petani kecil itu tidak efisien: biaya beli pupuk bisa Rp 1.800/kg CPO. Perkebunan besar hanya perlu Rp 1.300/kg CPO.
"Saya hanya Rp 950/kg CPO," katanya.
Di Pangkalan Bun, kini ia sudah punya 500 hektare sawit. Ia juga punya peternakan sapi. Seekor sapi, katanya, bisa menghasilkan pupuk 10 kali lipat dari berat badannya. Tiap tahun. Itu baru dari tahinya. Sebanyak itu pula dari air kencingnya.
Dari pupuk itu dua anaknya bisa kuliah sampai S2. Lalu si bungsu sekolah sampai Prancis. Wayan punya keinginan baru: membina 50 anak muda miskin untuk berkebun sawit. Di Pangkalan Bun. Ia lagi mencari anak miskin yang mau mengubah nasib. Seperti 16 anak muda yang kini bisa hidup sejahtera di Riau.
Syaratnya harus mau dan siap kerja keras. Ia akan menyediakan 2 hektare tanah untuk diubah menjadi kebun sawit.
Waktu jadi tentara ia amat disiplin. Waktu jadi petani ia sangat serius. "Waktu di tentara saya punya prinsip, komandan saya harus senang. Artinya pekerjaan saya harus beres melebihi yang dipikirkan komandan," katanya.
Wayan, yang sama sekali tidak punya darah Bali, selalu ingat masa kecilnya di desa. Di Grajagan. Tiap hari ia lihat adu jago. Ia punya kesimpulan: jago (ayam jantan) yang memenangkan pertarungan adalah yang sering diadu. Sampai tidak punya bulu di kepala dan lehernya. Sampai kulit lehernya tebal. Saking seringnya dipatuk lawan. Jago yang lebih tinggi dan besar pun bisa kalah dengan jago kecil yang sering diadu.
"Hidup itu kalau mau sukses juga harus sering menghadapi ujian," kata Wayan.
Banyak orang mencela hobi adu jago. Wayan justru belajar dari perkelahian itu. (*)
***
Siapa membunuh Putri (26)
Bluebeach Nenia
Oleh: Hasan Aspahani
TERAKHIR kali saya bertemu Nenia di perayaan kecil-kecilan pernikahan Bang Jon di rumahnya. Kami sempat berbincang sebentar, basa-basi tanya kabar dan apakah dia masih kerja di Nagata Plaza. Dia bilang dia sudah pindah bekerja di Penangsa. Dia menyebut nama resort hotel yang langsung mengingatkan saya tentang kasino gelap itu. Bluebeach Resort.
Saya bertemu lagi dengannya di INN Cafe. Saya, seperti biasa datang bersama Yon, lurahnya hiburan malam di Borgam. Ada show Glenn Fredly. Nenia datang bersama seorang lelaki bertampang oriental. Saya lihat dia tak lagi sama dengan pertama kali saya bertemu dulu di kedai kopi, saat dikenalkan Bang Jon dulu.
Dia seperti sosok yang jauh dan liar. Dekat tapi tak terjangkau. Dia riang tapi tampak terasing dari keramaian. Dia merokok. Mungkin bukan dia yang berubah. Tapi saya yang dulu terlalu polos, dan kini saya melihat sisi dia yang lain, yang sebenarnya.
Saya dengar mereka – Nenia dan lelaki bertampang oriental itu - bercakap dalam Bahasa Inggris. Di hadapan saya Nenia dan lelaki itu tak menyembunyikan kemesraan. Artifisial. Saya berusaha ramah dan melihat pemandangan itu dengan wajar.
Kami bersapaan dan bersalaman. Dia memperkenalkan siapa laki-laki itu tapi saya tak terlalu jelas mendengar siapa namanya. Jack? Jach? Semacam itulah. Saya sedang menikmati Glenn yang sedang membawakan Terpesona, hits debutnya bersama Funk Section.
Saya tak pernah benar-benar suka sama Glenn, tapi beberapa lagunya mengingatkan pada banyak hal.
Malam itu Nenia pergi lekas. Si lelaki tampaknya tak menikmati Glenn. Ia menyempatkan menghampiriku.
”Masih punya nomorku, kan? Hubungi saya ya, saya mau ngomong.”
”Soal apa?”
”Telepon aja ya...” kata dia.
”Boleh saya ke Penangsa, ke tempatmu kerja?” tanyaku. Ini lebih menarik buat saya sebagai wartawan. Nenia bisa jadi pintu masuk ke dalam kasino itu, memenuhi rasa-ingin-tahu-ku.
”Boleh. Telepon aja dulu ya...” Dia segera berlalu.
Yon bertanya padaku apakah Nenia masih sama Bang Eel.
”Nggak tahu, Yon. Sudah nggak kayaknya.”
Saya dan Yon hendak meninggalkan INN Cafe, ketika serombongan tamu datang. Beberapa orang di antaranya seperti saya pernah lihat di pengadilan.
”Kayaknya itu orang-orang AKBP Pintor,” kataku pada Yon.
”Yang dua orang itu anggota tim pengacaranya,” kata Yon, menunjuk orang yang dimaksud.
Kami berselisih di pintu keluar. Seorang di antaranya mengenali saya.
”Wah, ini dia si wartawan hebat kita,” katanya.
”Oh, ini dia Abdurrauf itu ya?” kata temannya. Jarang sekali sekali orang menyebut bahkan sekadar tahu nama lengkapku. Cara dia menyebut nama saya dengan nama lengkap seakan mau bilang bahwa dia telah mencari informasi banyak tentang saya.
”Ah, mau kemana, Bung? Kita minum-minum dululah. Laku kan koran kalian hari ini?”
”Sudah dari tadi, Pak,” kataku. ”Terima kasih.” Saya mengendus aroma tak enak, panas dan berbahaya. Apalagi dia menyinggung soal koran. Terbakar juga emosi saya.
Seorang menarik lengan saya dengan kasar. Saya menepis. Nyaris terjatuh. Mereka tertawa-tawa. Seseorang mendorong saya. Yang lain menjegal kaki saya. Kali ini saya benar-benar terjengkang.
”Belum minum kok sudah mabuk,” kata orang yang mendorong saya tadi. Mereka terus tertawa. Saya tak kenal siapa. Seperti preman. Tampangnya kasar dan lengannya bertato.
Keributan di pintu masuk itu sedikit mengganggu pengunjung. Sekuriti kafe datang menertibkan kami. Si preman mendorong sekuriti itu. ”Hei, kau jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan si wartawan sok hebat ini...,” katanya.
Dua sekuriti lain datang menyeret si preman keluar. Dia berteriak-teriak marah. Tapi teriakannya terdiam ketika seorang menghantam mulutnya. Si preman terempas, terlepas dari pegangan sekuriti. Keributan seakan pindah ke luar kafe, ke samping hotel.
”Abang Dur tak apa-apa?” kata Edo. Baru saya kenali si pembungkam preman tadi adalah Edo. Beberapa orang berdiri siaga seperti mengawal Edo. Ada tato ”Terpedo” di lengan mereka. Aduh, bisa jadi panjang urusannya.
”Ngapain kamu, Do? Siapa suruh kamu pukul dia?”
”Maaf, Abang Abdur. Ini teman-teman saya mereka ada kerja di sini. Willy tadi kenal orang-orang yang tadi baru masuk. Orang-orangnya polisi tersangka itu,” ia menunjuk lelaki berkumis dengan kaus ketat.
”Kami takut dia ganggu Abang Abdur,” kata si Willy. ”Ternyata betul.”
”Makanya tadi kami masuk, susul ke sini,” kata Edo.
Saya memandangi kawan-kawan Edo. Mereka membalas pandanganku seperti pasukan menunggu perintah komandan.
Edo mungkin paham kebingunganku. Ia menjelaskan dengan ringkas tentang geng Terpedo yang ia kumpulkan. ”Teman-teman ini perlu pekerjaan,” kata Edo.
”Bagaimana bisa dapat kerja di INN Café ini?” tanyaku.
”Bang Jon yang bantu,” kata Edo.
Saya memandangi Edo. Melihat ketulusannya membantu kawan-kawannya. Saya juga diam-diam salut sama Bang Jon. Urusan Edo dan Terpedo tak bisa saya campuri. Dalam hati saya timbul juga rasa aman, ada yang melindungi. Hari-hari ke depan mungkin saya memerlukan itu.
”Tadi saya lihat ada pemred Podium Kota bareng mereka,” kata Yon. Yon menggerutu. Kesal sekali ia. Yon bilang ia bisa suruh sekuriti usir mereka.
”Sudah, Yon. Biarkan saja,” kataku.
AKBP Pintor dibawa ke Borgam. Kedatangannya disambut dan dielu-elukan massa yang menunggu sejak pagi. Seperti pahlawan besar. Ia langsung dibawa dan ditahan di tahanan Kejari dengan status tersangka.
Di Bandara Hang Tuah, pengacaranya, Johnson Panjaitan SH, langsung menggelar jumpa pers. Ia yakin kliennya tak bersalah, penetapan kliennya sebagai tersangka katanya hanya fitnah. ”Penyidik kasus ini tiba-tiba diganti. Ada penyidik yang punya dendam pribadi pada AKBP Pintor. Tak cukup bukti untuk menersangkakan klien kami. Nanti saya buktikan di pengadilan,” katanya.
Awang, Runi, dan AKBP Pintor diajukan kembali ke persidangan dengan dakwaan terpisah. Pengacara Restu Suryono dan tim tetap jadi pembela Awang dan Runi.
Kesaksian Awang dan Runi menguatkan dakwaan pada AKBP Pintor. Cerita yang ditangkap dari sidang sebelumnya menjelaskan bagaimana AKBP Pintor meminta Awang untuk membunuh Putri, tiga minggu sebelum kejadian. Dengan janji dibayar Rp50 juta.
Awang diberi ATM untuk menarik uang, dengan secarik kode PIN. Lalu Awang dan Runi diberi tiket kapal agar pergi meninggalkan Borgam. Awang menerima uang Rp 2 juta setelah membuang mayat Putri dan menunggu di hotel Bersama Runi dan Zakia, anak korban dan AKBP Pintor. Anak itu akan dijemput dan diserahkan ke AKBP Pintor setelah sisa uang yang dijanjikan diserahkan. Garis besarnya begitu. Saya menyiapkan tim liputan, membuka lagi seluruh berita kami, dan membuka lembar kertas baru di dinding ruang rapat.
Nenia meng-SMS, bertanya kapan saya bisa menemuinya. Sore itu dia ada waktu. Edo mengantarku ke Hotel Bluebeach Resort. Tampak tak berbeda dengan resort yang lain. Kasino itu, kabarnya, ada di ruangan besar di basement. Juga di lantai paling atas, yang punya akses khusus.
Nenia menemuiku di ruang meeting hotel. ”Aku lagi break sebentar. Terima kasih ya sudah datang,” kata Nenia. Dia berpakaian sangat professional. Dengan setelan yang pas di badan,
”Apa kabarnya Bang Eel?” tanya Nenia.
Tadinya justru saya yang mau bertanya soal itu, belakangan Bang Eel jarang bercerita soal soal hubungan mereka berdua. ”Kamu masih ketemu dia kan?” tanyaku. Tapi kupikir pertanyaan itu salah, membuat Nenia tak nyaman, mengingat pertemuan kami di INN Café.
”Itulah yang aku mau tanyakan ke kamu, Dur,” kata Nenia. “Beberapa waktu lalu dia ajak saya menikah.”
”Dia melamar kamu?” tanyaku.
”Nggak. Eh, nggak tahu juga. Pokoknya dia ajak aku menikah.”
”Terus?”
”Saya tak menjawab. Saya terus-terang saja belum ingin menikah. Belum siap. Setelah itu saya agak menjaga jarak, menolak ketemu, takut dia tanya lagi, dan saya tak mau menolak. Saya masih pengin bareng dia, tapi untuk menikah belum,” kata Nenia.
Selama tak bertemu, Nenia jalan dengan banyak laki-laki lain. Siapa saja. Apalagi sejak bekerja di Bluebeach Resort. Banyak tamu-tamu hotel yang, kata Nenia, datang untuk berjudi, dan di luar jam itu, juga jam kerja dia, membutuhkan teman. Mula-mula sebagai layanan hotel, tapi kemudian ia lakukan itu di luar jam kerja.
”Lalu aku baru tahu dua hari sebelum kita ketemu di INN malam itu, bahwa aku hamil, Dur,” kata Nenia. Dia menceritakan itu seperti sebuah cerita yang biasa saja. Saya agak terperanjat.
”Saya tak yakin siapa yang bikin saya hamil.”
”Bukan Bang Eel?” tanyaku.
”Mungkin Eel. Tapi mungkin juga bukan. Yang pasti saya tak mau aborsi. Janin ini mengubah diri saya. Saya ingin jadi ibu. Saya mau rawat dia.”
”Terus gimana? Apa rencanamu?”
”Kalau saya menerima ajakan Bang Eel menikah, dengan kondisiku yang sedang hamil begini, setelah saya menggantung jawaban, kira-kira dia masih mau menerima saya?”
Tanpa ragu saya katakan, ”Pasti mau. Saya tahu siapa dia. Dia pasti mau menerima kamu.”
”Meskipun saya hamil begini?”
”Ya. Saya orang yang paling banyak dia ajak bicara sekarang. Urusan kerja terutama, juga urusan pribadi.”
Nenia tampak sedikit lebih tenang. ”Kamu jangan bilang ke dia ya, kalau kamu tahu soal ini.” Saya mengangguk. ”Jangan khawatir. Saya amanah…” (*)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan
Edisi 27 September 2022: Pendidikan Kering
Jhelang Annovasho
Saya tahu banyak perkembangan RUU Sisdiknas dari Mas Anindito Aditomo. Masih muda, dosen Universitas Surabaya. Saat ini menjabat kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan di Kemdikbud. Langsung ke masalah: bunyi "tunjangan profesi guru dan dosen" memang indah. Tapi sejatinya menyakitkan. Di lapangan, TPG jadi alasan guru hanya diupah 300 rb/bulan sebelum tersertifikasi (menerima TPG). Setelah menerima TPG, yayasan tidak mau lagi menggaji, alasannya sudah terima "gaji" dari negara dalam bentuk TPG. Guru di posisi yang lemah. Jika pindah sekolah maka TPG berhenti. Jika tidak kok haknya tidak diberikan. Gaji yang layak itu hak. TPG juga hak. Ini bagi guru swasta. Lulusan sekolah guru cuma digaji 300 rb saat lulusan sekolah teknik digaji 8 jt untuk pertama kali. Mana penghormatan profesinya? Sejak dulu selalu dijawab, "ojo di-bandeng bandengke."
Teguh Gw
DPR-nya dibekukan dulu. Sampai pendidikan menghasilkan manusia, bukan manusia-manusiaan. Atau, jumlah anggota DPR dikurangi. Cari orang-orang seperti siapa itu, ketua DPRD yang mengundurkan diri tempo hari. Kalau ada 100 yang seperti dia, ya cukup 100 saja. Kalau hanya ada 15, ya 15 saja. Alokasi anggaran gaji DPR dialihkan untuk memperbaiki mutu pendidikan dulu. Membenahi negara ini memang perlu ngedan. Mosok kalah sama Covid? Mikrovirus saya bisa ngedan, kok manusia gak berani?
Leonardus Nana
Semua orang pasti sependapat bahwa maju mundurnya pendidikan berbanding lurus dengan kualitas guru. Demikian juga maju mundurnya sebuah perusahaan bergantung pada kualitas karyawannya. Tapi apa bedanya Guru dari Karyawan perusahaan? 1. Perusahaan akan terus memberdayakan Karyawan melalui pelatihan rutin. 2. Perusahaan mengaji Karyawan setara UMR/UMP + bonus, +THR, +Insensitive 3. Perusahaan terus memberi promosi yang mendorong Karyawan terus berprestasi 4. Karyawan akan demo secara national dan bahkan menunt intervensi pemerintah bila perusahaan gagal memenuhi hak Karyawan. 5. Pemerintah menetapkan gaji pokok+hak hak lain dari Karyawan dan mengawasi perusahaan untuk memenuhinya 6. Pemerintah akan menghukum bahkan membekukan izin operation jika perusahaan gagal memenuhi kekwajibannya 7. Perusahaan (tidak semua) menjamin kesejahteraan Pendidikan anak anak Karyawan lewat CSR 8. Bagaimana dengan Guru khususnya Guru swasta??? Mungkinkah Pak DI tahu mohon info lewat seri tulisan berikutnya.
Pryadi Satriana
Pak Mirza, peristiwa th 1980-an itu terjadi di salah satu SMP Negeri di Malang. Guru Geografi yg diminta les tiga bulan sblm disuruh mengajar level SMA itu terjadi di Bogor. Ini saya cerita sedikit ttg kompetensi guru bhs Inggris salah satu SMP di Bogor. Di LKS ada dialog yg harus dilengkapi: A: "How do I call you?" B: " ................................ " Diisi murid les saya: "You can call me Fariz". Kata gurunya itu salah krn pertanyaannya tanya no telp/HP shg harus dijawab: 081... Saya komen gini:"Bilang gurumu suruh les di saya." Ada kejadian lain, mahasiswi jurusan bhs Inggris di sebuah PTS di Bogor pakai jaket bertuliskan: Faculty of Teaching and Educational Science. "Kamu di FKIP jurusan bhs Inggris?" "Ya, Pak". "Tulisan di jaket itu yg bikin teman2mu?" "Itu dari jurusan, Pak." "Dosenmu ada yg S3?" "Bbrp Pak, kebanyakan S2." "Lha kok geblek semua?" (Tertunduk diam, tersenyum getir ...) Skrg yg tingkat nasional ya? Saya pernah membantu di Konsorsium Bhs Inggris selama 8 th, di Gedung E, Lantai IV. Yg tanda tangan SK saya Dirjen PLS (Pendidikan Luar Sekolah). Direktorat memberikan pelatihan2 bhs Inggris, sertifikat pelatihan dikeluarkan oleh "Out of School Education." Saya - yg memang biasa "nyablak" - langsung bilang,"Ini direktorat orang2 yg putus sekolah/'drop out'? Oaallah ..., wong2 geblek koyok ngene kok iso ngantor nang Depdiknas Pusat yo? Itulah 'potret' pendidikan kita. Sedih. Prihatin. Malu. Campur aduk. Hiks ... (mbrebes mili ...).Wis, ngono ae. Salam. Rahayu.
Alon Masz Eh
Hmmm... Betul juga dulu guru yg ngajar di sekolah dan di les, raut muka dan psikologinya beda... Beda solusi beban dapurnya mbah. Manusiawi lah le... Itulah alasan ada tunjangan sertifikasi, sebaiknya jangan dikritik presidennya untuk solusi kesejahteraan ini, beliau2 sangat berjasa untuk para guru. Memang timbul masalah juga, banyak yang tidak sabar menunggu tunjangan cair, SK disekolahkan (SK gurunya yg dicarikan guru), pinjaman cair, mobil2 baru jor2an di lapangan upacara sekolah le. Husssh... Ndak semua mbah, banyak guru yg hidup wajar dan sabar, masih konsen ke muridnya... Eh, tapi kasian guru2 honorer loh mbah, sering disuruh ngajar, karena pinter sering diperintah bikin materi, bikin slide, itu loh... Gajinya beda jauuuh sm yg dpt tunjangan mbah. Itulah le... Ga nyaman dibikin alasan, Dinyamanin leha2, ndak kasihan sm yg honorer. Mustinya yg pantes tembus sertifikat yah yg muda2 dan pinter, yah yg honorer le... Tp krn urutan kacang dan sungkan, yg senior dulu lah. Yah mustinya yg senior nyontohin dan ngajarin yg muda tah mbah.... Hooh le, banyak juga yg senior dan berprestasi, ngajari juniornya. Wis ta doakan yg honorer dapet tunjangan juga lah, yg tua dan males...tunjangan dikurangi, kalo ndak mau dikurangi jadi pengurus komite aja le.... Wadadadadah mbah, lak bolak-balik sumbangan nanti....
Rahma Huda Putranto
Abah, lagi ada hot isu soal tim shadow di Kemdikbud. Tapi soalan RUU pendidikan ini, saya sulit lepas dari nama2 tim penyusun buku pedoman Kurikulum Merdeka. Ada beberapa nama yang pasti muncul. Cek saja di Google. Kita akan tahu siapa mereka. Disitu kita bisa memperkirakan kemana kiblat pendidikan Indonesia. Bisa juga tahu tentang sekolah internasional. Bisa juga memperkirakan kenapa organisasi profesi yang ada di RUU Sisdiknas berhak dibentuk oleh siapa saja asal memenuhi syarat bla... Bla... Bla.. Ah, abah pasti lebih tahu.
Johan
Alokasi dana anggaran besar, tapi manfaatnya untuk guru dan anak didik bagaimana? Sejauh yang saya amati, dinas terkait rajin mengadakan acara seminar dan sosialiasi. Mengumpulkan pengurus sekolah yang berada di wilayahnya. Hotel , restoran, katering yang dipilih untuk kegiatan tentu sangat bersukacita. Atau jangan-jangan tidak, karena ada titipan diskon? hhh Pengurus sekolah pun dibuat tersenyum, karena mendapat amplop atau uang saku untuk partisipasinya membantu menghabiskan anggaran. Siapa yang tidak mau? Atau jangan-jangan ada diskon juga. wkwkwk.
yea aina
Iseng-iseng baca realisasi anggaran pendidikan APBN 2022 kuartal 1, senilai 103,5 T. Angka yang cukup wow, untuk seperempat total anggaran 621 T(APBN-P 2022). Itu realisasi amanat konstitusi 20% APBN. Bagian sedikit ganjilnya adalah: Kemendikbud dan kemenag, masing-masing telah "merealisasikan" anggaran senilai 15 T dan 8,8 T saja. Melalui belanja pemerintah pusat. Maka besaran 79,7 T merupakan realisasi anggaran DILUAR 2 kementerian itu. Alokasi APBN pendidikan, TERNYATA ada pos belanja bernama TKDD, kepanjangan dari Transfer ke Daerah dan DANA DESA, realisasinya 76,9 T sepanjang kuartal I 2022. Semoga saja, implementasi anggaran jumbo berupa TKDD berguna bagi PEMBELAJARAN rakyat, khususnya di pedesaan. Toh pendidikan formal merupakan bagian dari PEMBELAJARAN yang berlangsung di masyarakat desa. Entah realisasinya?
Mirza Mirwan
"One child, one teacher, one book, and one pen, can change the world. Education is the only solution. Education first." Kata-kata di atas bukan diucapkan oleh pakar pendidikan bergelar profesor dokter, melainkan oleh seorang remaja putri berusia 16 tahun, tgl. 19 Juli 2013, di depan forum UN Youth Assembly. Remaja putri itu sebenarnya belum sembuh total dari beberapa kali operasi akibat tembakan milisi Taliban. Sekitar 15 bulan, Oktober 2014, kemudian ia dinobatkan sebagai penerima Nobel Perdamaian bersama Kailash Satyarthi dari India. Remaja putri tadi adalah Malala Yousafzai, gadis Pakistan, yang menjadi idola kedua putri saya -- padahal usia Malala lebih muda. Di tahun 2013 Majalah TIME menobatkan Malala menjadi salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia, sekaligus menjadi gambar sampul majalah yang hampir berusia satu abad itu. Malala berada di peringkat 15, jauh di atas Barack Obama yang di peringkat 51. Ya, yang bisa mengubah dunia adalah pendidikan. Lebih spesifik lagi kualitas pendidikan. Dan faktor utama yang menentukan kualitas pendidikan adalah kualitas guru. Dan di bawah, Bung Lukman bertubi-tubi mengeluhkan betapa rendahnya kualitas guru kita. Saya mengerti, dan hanya bisa berempati. Mekanisme rekrutmen guru di kita memang tertinggal jauh dari sesama negara berkembang, alih-alih negara maju. Pada th. 1980-an syarat minimal calon guru SD/MI, misalnya, hanya lulusan SPG/PGAA. Di AS, entah guru SD, SMP atau SMA, harus lulusan program master (S-2).
yea aina
Dugaan Abah Dis, pembahasan RUU SISDIKNAS bukan RUU basah, kiranya kurang pas. Terlemparnya RUU tersebut dari prioritas Prolegnas, mungkin lebih karena "kenyamanan distribusi" alokasi anggaran jumbo 20% APBN. Ilustrasi APBN 2023, Anggaraan pendidikan bernilai Rp. 608,3 T lho Bah. Hampir setara subsidi energi APBN 2022. Maka bisa DIBATALKAN kenaikan BBM, Listrik dan lpgnya dong kwkwkw.
Jokosp Sp
Kok baru Undang - Undang yang dibahas ya ? Kapan majunya pendidikan ini ? Pengalaman rekrutmen karyawan baru, sama saja hasilnya. Sulit mencari yang benar - benar sudah siap kerja. Kita lihat yang dari SMK jurusan Tehnik Mesin Ringan atau Alat Berat, hasil wawancara saja masih gagal " tidak tahu komponen unit ". Apalagi suruh nerangin fungsi dan cara kerjanya, babak belur. Yang dari D3 tehnik mesin sama juga hasilnya. Yang S1 juga sama babak belurnya ketika disuruh menerangkan hal yang sama. Kelemahan saat ini adalah : hanya sibuk dan ngejar teori dari buku, kurang jam praktek untuk misal overhaul ( bongkar - pasang mesin ). Kenapa bisa ? ternyata hasil wawancaranya adalah kurangnya ketersedian Alat atau Mesin yang sesuai dan yang disediakan pihak SMK, Politehnik, dan Universitas. Jadi kalau mau siap kerja dari anak - anak baru, ya perusahaan harus siapkan waktu untuk Training dan Praktek lapangan paling tidak satu ( 1 ) tahun. Ini dari satu sisi lulusan tehnik yang saya hadapi selama ini. Jadi la mbok ya para ahli di departemen pendidikan sering - sering turun lapangan, lihat fasilitas sekolahnya seperti apa ? Bangunannya seperti apa ? sudah memadai belum kalau mau ngejar seperti pendidikan di Singapura ?. Piye Mas Menteri ?
Liam Then
Ndak ada duit untuk beli mesinnya Bang. Tapi ada duit buat acara seremonial di hotel-hotel, gedung konvensi. Untuk mendapatkan real skill mau tak mau harus lewat praktek. Belum pernah saya ketemu, orang yang hapal dan pegang buku panduan. Langsung bisa tanpa praktek. Wkkwkwkw.
Liam Then
Peribahasa kuno orang Tiongkok . 一日为师,终身为父 Teacher for a day, father for a life time. Begitulah level penghargaan orang sana kepada profesi guru sejak jaman dulu. Memang terkesan hiperbolis, tapi sederhananya, tanpa guru, berapa persen kira-kira dari kita yang menjadi mahir membaca? Di kita sini cuma di sebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kesejahteraan profesi guru itu mutlak harus di perjuangkan. Harapan saya kepada pemerintah. Fokus tuntaskan masalah guru honorer, yang kerap kali nasibnya munculkan banyak berita, dari gaji ratusan ribu pun di rapel dan tak dibayar-bayar. Saya tidak tahu bagaimana cara penyelesaian yang paling tepat. Tapi setidaknya bisa mulai dari stop rekruetmen guru honorer. Hapuskan istilah ini. Karena apresiasi/gajinya sangat merendahkan martabat. Sederhananya ,hasil apa yang mau di harapkan dari tenaga kerja yang kurang gizi? Dipikir secara sederhana saja. Hukum alami yang kerap terjadi ; sesuatu yang dimulai buruk akan berakhir buruk. Hampir tak oernah berakhir baik. Belum mengajar saja sudah pusing urusan perut. Mana bisa fokus mengajar dan meningkatkan kualitas diri. Kepada kaum guru, terima kasih atas perjuangan anda semua. Saya ada rasa di hati ini , perasaan kecintaan anda pada profesi dan anak didik ,membuat anda-anda tetap bertahan , di profesi yang tidak menjanjikan ini.
Liam Then
Selintas buka web ,cari tahu nama-nama anggota komisi X, yang membidani pendidikan. Ada banyak nama yang akrab di mata disana. Dari pesohor mantan selebriti, sampai putra politisi. Range latar belakang pekerjaan pun bermacam-macam. Dari artis, mantan wagub, mantan komisaris,macam-macam. Yang tidak ada tertulis latar belakang pekerjaan juga ada. Kalau yang bergelar? Wah banyak. Semuanya keliatannya sangat intelek. Cuma saya heran kenapa sangat sedikit yang berlatar belakang pendidikan yang kuat dan meyakinkan? Apakah itu diisi oleh tenaga ahli saja? Saya jadi kepengen melihat suasana rapatnya. Penasaran jadinya. Mau melihat penguasaan materinya para anggota dewan. Disitu bisa dinilai ,mana yang rajin berkonsultasi dengan tenaga ahli, fraksi mana yang tenaga ahlinya mumpuni , ada isi. Atau adakah yang terkantuk-kantuk, karena ada yang sekadar menunaikan kewajiban absensi. Mungkin harapan kita semua, berpulang kepada pemimpin partai, agar anggota komisi X, dipilih dari orang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya. Bukankah lebih baik jadinya? Jika ahli di dukung tenaga ahli? Mohon ketua partai ada atensi , demi kita semua juga.
Mr P
guru, digugu dan ditiru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.. 36 tahun yang lalu. Anak desa pertama kali masuk sekolah. Belum bisa baca dan tulis. Waktu itu diajarkan sopan santun saat makan. Makan tidak boleh bersuara / kecapan. Tidak boleh buka mulut saat mengunyah makanan. diperagakan cara mengunyah makanan oleh Ibu guru tersebut. Dan kami diminta untuk menirukannya. Pelajaran sederhana, tapi membekas. Sampai saat ini. Saat makan bersama keluarga, saya acapkali mengingatkan anak-anak agar tidak berisik saat makan. Terutama ketika "menyeruput" kuah yang masih pasa. Nama guru tersebut : Ibu Farida
Fenny Wiyono
mendirikan sekolah lebih sulit syaratnya daripada mendirikan cafe dan club malam
Namu Fayad
Banyak dapat info tambahan dari ruang komentar pembaca. Saya juga berbagi curhatan. Ternyata di pendidikan formal itu ada pula profesi joki tugas akhir. Mengupah orang lain untuk membuat proposal penelitian, mulai dari keperluan skripsi hingga disertasi.
Pryadi Satriana
Saya mau 'share' pengalaman dg Depdiknas waktu masih di Konsorsium Bahasa Inggris, 'membantu' (krn memang ndhak dibayar!) selama 8 th membuat standar kompetensi lulusan, kurikulum, borang akreditasi kursus, dsb. di Gedung E, lantai IV Depdiknas, di Jl. Soedirman. 1. Yg saya sebut di atas tadi 'pengabdian', lembaga kursus dan PTN/S 'membantu' pemerintah, kan sudah dibayar oleh institusinya? 2. Yg diberi 'uang lelah' (baca: honor) waktu buat bahan ajar, krn dikerjakan di rumah. Jumlahnya ndhak seberapa, ndhak tahu sudah "disunat" berapa persen. Waktu saya tanya buku karya konsorsium yg sudah dicetak, dijawab itu sekadar proyek, dicetak terbatas untuk laporan saja, sudah ndhak ada. 3. Konsorsium sering diundang utk memberi pelatihan juga, pesertanya dari seluruh propinsi. Suatu kali - di Bandung - saya diminta tidur sekamar dg peserta dimana saya yg besoknya jadi pembicara. Alasan: ndhak ada kamar lagi. Opo gak gueendeng wong2 sing ngundang aku iku? Saya ndhak mau. Pulang aja. Transpor ndhak usah diganti. Ujug2 langsung ada kamar yg bisa saya tempati sendiri. Mereka biasa "coba2" kayak gitu. Sudah hapal. 4. Di undangan - juga spanduk di lokasi pelatihan - acara dari Jumat - Minggu, artinya: dibuka Jumat malam, dilaksanakan Sabtu, ditutup Minggu pagi. Yg kayak gitu sering! 5. Orang2 di konsorsium bhs Inggris itu dosen2 UI, Atmajaya, dan Direktur2 Akademis LIA, ILP, dsb. Kami2 tulus membantu pemerintah, tapi sering 'diplokotho'. Mas Menteri jangan sampai 'diplokotho'. Salam.
*) Dari komentar pembaca http://disway.id