COWASJP.COM – KINI ada #KemenkeuSatu. Slogan. Baru. Lagi digalakkan di internal Kementerian Keuangan. Tujuannya satu: agar terwujud bahwa kementerian keuangan itu hanya satu. Tidak boleh ada banyak Kementerian Keuangan. Misalnya ada Kemenkeu pajak, Kemenkeu bea cukai, Kemenkeu kekayaan negara, dan seterusnya.
#KemenkeuSatu itu kelihatannya dipakai untuk mengakhiri eksistensi berbagai 'kerajaan lama' di dalam kementerian keuangan.
Maka kalau nanti Anda mendengar ada yang meneriakkan slogan #KemenkeuSatu! Anda harus menjawab: #Kolaborasi!
Seperti itulah yang saya lihat di Surabaya Kamis lalu. Ada satu acara besar di Kanwil bea cukai Jatim. Saya hadir. Saya ikut berteriak #Kolaborasi!
Meski lokasinya di bea cukai tapi acara itu ditangani perwakilan Kementerian Keuangan Jatim.
Rupanya kini ada lembaga yang disebut perwakilan Kementerian Keuangan di setiap provinsi. Di Jatim, kepalanya: Prof Dr PM John Hutagaol. Ia arek Suroboyo: alumni SMA St Louis.
Rupanya kepala perwakilan Kementerian Keuangan itu hanya menjadi semacam koordinator semua Kanwil yang berada di bawah Kemenkeu. Dengan demikian, di samping tetap sebagai kepala Kanwil Pajak Jatim 1, Prof John juga koordinator 9 Kanwil lainnya: termasuk kanwil bea cukai dan kanwil perbendaharaan negara.
Di provinsi lain pun demikian.
Perwakilan itu sifatnya hanya koordinasi. Bukan hierarki. Hanya agar mereka tidak berjalan sendiri-sendiri. Terutama dalam kegiatan kemasyarakatan.
Unjuk #Kolaborasi itulah yang didemonstrasikan di Surabaya Rabu lalu. Selama tiga hari (28-30 September 2022). Dalam acara besar Festival UMKM. Sembilan Kanwil menangani satu acara. Besar sekali. Ada konsultasi pajak UMKM. Ada supervisi dari bea cukai untuk ekspor UMKM. Tentu ada juga pameran produk UMKM.
Lalu ada demo masak.
Bukan masaknya yang penting, tapi minyaknya: pakai minyak merah.
Saya juga baru tahu hari itu: minyak merah. Saya belum pernah tahu: ada minyak merah.
Itu memang penemuan baru. Saya pun menyimak jeli penjelasan tentang minyak merah itu. Yang menjelaskan penemunya sendiri: Dr Ir Donald Siahaan. Ia peneliti di Balai Penelitian Kelapa Sawit di Medan. Di bawah Dr Ir Frisda R. Panjaitan.
Donald lulusan IPB: teknologi pangan. Gelar doktornya di University of Philippines di Los Banos.
Donald pun menyandingkan data hasil penelitiannya: minyak merah vs olive oil. Mana yang lebih hebat.
Awalnya seperti tidak masuk akal: minyak merah lebih hebat dari olive oil. Bagaimana bisa olive oil kok kalah. Padahal olive oil –minyak zaitun– begitu diagungkan di Eropa. Dan di seluruh dunia. Termasuk di dapur rumah saya.
Bagaimana bisa olive oil yang begitu mahal dikalahkan oleh minyak merah temuan Donald Siahaan dari Medan. Anda sudah tahu: harga olive oil kualitas sedang saja bisa Rp 150.000/liter. Yang paling bagus bisa Rp 500.000/liter.
Lalu bandingkan berapa harga minyak merah. "Kira-kira akan Rp 15.000/liter," ujar Donald.
Ia mengatakan ''kira-kira'' karena minyak merah memang belum ada di pasar. "Baru akhir tahun ini mulai diproduksi," ujarnya.
Penelitian itu dilakukan selama dua tahun. Yang membiayai: Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Yang kini dipimpin Eddy Abdurrachman yang asalnya juga dari kementerian keuangan. Keseluruhan acara Festival UMKM di Jatim itu pun didukung lembaga itu.
Donald sebenarnya sudah lama tahu: minyak sawit itu kaya akan vitamin E, pro-vitamin A dan squalene. Namun semua khasiat itu nyaris hilang total dalam proses perubahan dari CPO menjadi minyak goreng. Yakni akibat pemanasan dalam proses itu.
Maka Donald pun meneliti: bagaimana agar vitamin E dan provitamin A di sawit itu tidak hilang. Demikian juga squalene-nya yang amat tinggi.
Ditemukanlah proses membuat minyak goreng kelapa sawit tanpa melalui temperatur tinggi. Itulah minyak merah. Nama yang simpel.
Minyak makan merah, alternatif minyak goreng dari Pemerintah. (FOTO: nawacita.co)
"Di Nigeria ternyata juga dilakukan hal yang sama. Di sana, sejak lama, rakyat menanam kelapa sawit. Lalu membuatnya menjadi minyak goreng," ujar Donald. Ia pernah ke sana. Untuk memperdalam penelitiannya. "Proses membuatnya sangat tradisional. Semua orang bisa," ujar Donald.
Minyak merah Donald ini memang berwarna merah. Cerah. Sekilas seperti warna air buah delima yang dimasukkan botol.
Memang masih ada kelemahannya: aromanya tidak harum seperti minyak sawit yang kita kenal. Itu perlu proses sosialisasi untuk membiasakannya. Tidak mudah. Ini pekerjaan berat. Namun olive oil pun begitu. Aromanya juga tidak seperti minyak goreng yang kita kenal. Tapi rasa olive oil dianggap rasa yang tinggi karena berhasil masuk ke kalangan atas. Keberhasilan itu dipicu oleh khasiat olive oil yang bisa membuat sehat –sedang minyak goreng biasa dianggap sumber kolesterol.
Apakah minyak merah akan bisa menembus pasar yang didominasi aroma harum minyak goreng?
Dari harganya yang ''hanya'' Rp 15.000 /liter harusnya bisa. Hanya selisih sekitar Rp 3.000 dari minyak goreng sawit. Tapi soal aroma gorengan tadi soal yang sangat besar. Sehat bisa kalah dengan enak. Khasiat bisa kalah dengan selera.
Kita biasa pilih sakit tapi enak daripada sehat tapi kurang enak.
Mengapa baru dua tahun lalu Donald memulai penelitiannya?
Itulah sisi baik pandemi Covid-19. Selama Covid penjualan vitamin E dan A meningkat drastis. Padahal harganya mahal. Kenapa tidak memanfaatkan kandungan vitamin dalam sawit yang sudah lama ia ketahui. Jadilah minyak merah itu.
Maka kalau saja minyak merah bisa memasyarakat –bisa seluas minyak goreng– alangkah sehatnya masyarakat kita. Imunitas masyarakat bisa naik dengan sendirinya. Tentu kalau cara menggorengnya juga benar: jangan dipanaskan melebihi 160 derajat Celsius. Sehebat olive oil pun tidak berguna kalau diperlakukan seperti itu.
Siapa yang akan memproduksi minyak merah itu?
"Karena prosesnya sederhana, koperasi bisa melakukannya. Atau UMKM. Jangan sampai diproduksi pengusaha besar. Investasinya hanya sekitar Rp 1,5 miliar per unit produksi," ujar Donald. Itu untuk unit dengan kapasitas 1 ton/hari. "Kalau pun daya serap pasarnya bagus lebih baik melibatkan banyak koperasi atau UMKM untuk memproduksinya. Jangan hanya satu-dua pabrik besar," katanya.
Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki mengatakan, pemerintah siap menjual minyak makan merah (M3) sebagai alternatif dari minyak goreng kelapa sawit mulai 2023 dengan harga Rp9.000 per liter. (FOTO: tirto.id)
Bahan baku minyak merah ini sama dengan minyak goreng: CPO. Tapi kalau koperasi atau UMKM yang memproduksi bisa jadi akan kesulitan memasarkannya. Memasarkan minyak merah tidak mudah. Perlu perjuangan khusus. Sebagai produk baru dengan aroma baru bisa saja minyak merah dianggap aneh. Lalu terjadi penolakan di masyarakat.
Sasaran pasar minyak merah haruslah orang yang sadar kesehatan dulu. Itu berarti kelas menengah ke atas. Tahap berikutnya barulah turun ke kelas di bawahnya.
Bisa saja koperasi atau UMKM yang memproduksi tapi penjualannya harus ditangani perusahaan marketing yang hebat. BPDPKS bisa turun tangan menemukan off taker dan distributornya.
Sayang sekali kalau BPDPKS yang sudah berhasil mendanai penelitian itu hanya berhenti di situ. Lihatlah kandungan vitamin E/ppm-nya. Bandingkan dengan minyak apa pun. Minyak merahlah yang tertinggi. Mengalahkan minyak jagung, minyak bunga matahari, apalagi olive oil. Demikian juga kandungan provitamin A-nya (lihat grafik).
Begitu hebatnya. Tapi belum ada #MinyakmerahSatu. Belum ada juga #Kolaborasi. (*)
***
Siapa Membunuh Putri (29)
BAP
Oleh: Hasan Aspahani
RUMAH Rinto selalu begini suasananya. Rumah besar yang lengang. Tenang. Agak misterius. Dia tinggal sendiri. Anak-anaknya tinggal di luar negeri. Ada pembantu yang bekerja pulang hari membereskan pekerjaan rumah dan merawat taman. Saya hari itu melihatnya tidak seperti orang yang habis sakit. Atau habis menjalani operasi berat.
”Sudah sehat, Pak?” tanya saya. ”Bagaimana operasinya?”
”Biasa, sehat-sehatnya orang tua seperti saya,” katanya. ”Pak Azhari, calon mertuamu itu cerita apa saja?”
”Tak banyak, Pak. Cuma menyebut nama Pak Rinto sebagai salah satu temannya waktu dia aktif sebagai wartawan di sini,” kata saya. Dan memang cuma itu. Pak Rinto mengangguk-angguk.
”Kami lebih dari sekadar teman. Tapi benar ya dia tak cerita lebih dari itu?” tanya Pak Rinto sekali lagi. Seolah cemas ada yang saya tahu dari ayah Inayah yang harus ia jelaskan padaku. ”Ia tak berubah ternyata.”
“Apa pun yang dia ceritakan padamu, Dur, kalau ada, saya tak akan membantahnya, tapi saya yakin kamu jujur, seperti dia, bahwa dia tak cerita apa-apa. Indonesia ingin kamu tahu cerita yang sebenarnya. Ini bagi kami seperti rahasia yang kami jaga,” kata Pak Rinto.
Rinto dan Azhari muda datang ke Borgam Di tahun yang sama. Di tahun-tahun awal, Azhari sempat menumpang sebentar di rumah dinas Rinto. Tak sulit bagi mereka untuk menjalin hubungan yang kemudian berkembang menjadi persahabatan.
Rinto polisi berdedikasi. Azhari wartawan yang idealis. Mereka berdua, dengan profesi masing-masing ingin memberi kontribusi pada kota pulau ini, kota yang mereka bayangkan sebagai masa depan mereka, seperti ratusan ribu pendatang lainnya.
Rinto selalu memasok Azhari dengan informasi-informasi penting yang bisa dia akses, terkait fakta-fakta dan kejadian penting. Dengan dedikasi dan peran masing-masing, keduanya merasa ikut mengarahkan Borgam agar berkembang ke arah yang benar. Ibarat seorang ibu yang melahirkan anak, mereka ingin jangan sampai kota ini lahir dengan terlalu banyak pendarahan.
“Kami sadar bahwa terlalu besar musuh yang kamu hadapi. Musuh itu maksud saya situasi, keadaan, yang terjadi karena lebih banyak orang yang menyesuaikan diri dengan hukum rimba, aturan ala mafia. Kamu faham kan? Siapa yang kuat, yang banyak modal dia bisa mengatur dan membeli peraturan dan orang-orang yang pegang kekuasaan. Itu yang kami hadapi. Azhari lebih dahulu menyerah. Ia tinggalkan kota ini, jadi dosen. Dia orang yang cerdas. Dia cocok jadi orang kampus. Kegelisahannya membuat dia selalu kembali ke sini, sebagai akademisi dan peneliti, bukan sebagai wartawan. Saya bertahan beberapa tahun sebagai polisi. Sebelum keluar,” katanya.
“Terus, selepas tak lagi dinas, apa yang Pak Rinto kerjakan?”
“Nah itu rahasianya. Saya ceritakan ke kamu sekarang,” katanya.
Rinto dan Azhari muda, dulu, pernah menolong beberapa perempuan muda korban trafficking, perdagangan manusia. Mereka direkrut sebagai tenaga di tempat-tempat hiburan, karaoke, panti pijat, bar, mereka diiming-imingi gaji menggiurkan, nyatanya mereka tak lebih dari sekadar dijadikan pelacur. Dipekerjakan seperti budak. itu kontrak, tak bisa lari, dikawal ketat.
Suatu kali ada enam orang kabur dan dikejar preman suruhan pemilik pelacuran. Saya masih ingat nama-nama mereka. Enam orang itu membawa bukti-bukti keterlibatan beberapa oknum keamanan dan nama-nama tokoh besar lain.
Rinto dan Azhari mengupayakan enam orang itu lari mengamankan diri dulu ke luar pulau dengan kapal lewat pelabuhan tikus. Mereka bawa bukti-bukti yang mereka punya. Modal perlawanan mereka. Di tengah laut, awak kapal yang ternyata sudah dibayar oleh jaringan mafia itu, terjun ke laut dan kapal itu dibakar. Enam orang perempuan malang itu itu hilang. Tak berjejak.
“Azhari sangat terpukul. Ia merasa telah ikut membunuh enam orang itu. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Tak ada sumber yang tahu, kalaupun tak ada yang mau buka mulut. Koran tempatnya bekerja tak mau memuat beritanya. Ia mendesak saya untuk melakukan sesuatu. Saya juga tak bisa apa-apa. Atasan saya tak memercayai laporan saya. Kamu tahu apa kata atasan saya waktu itu? 'Selama tak muncul di koran berarti tak ada kejadian itu’, katanya,” kata Pak Rinto.
Sejak itu Pak Rinto percaya betul pada kekuatan media yang independen, yang dikelola wartawan yang masih punya idealisme. Tapi media kerap ada pada posisi yang rapuh, seringkali tinggal berdiri sendiri atau dengan mudah terbeli. Atau menyerah.
”Pak Azhari menyerah,” kataku. ”Pak Rinto juga menyerah…”
”Sebagai polisi saya memang menyerah. Saya keluar. Tapi saya tak melupakan keinginan kami untuk bisa berbuat sesuatu agar kota ini berkembang dengan benar. Menghargai manusia. Memanusiakan manusia,” katanya.
”Apa yang bapak lakukan?”
”Tawaran itu tak datang serta-merta. Saya sudah kontak dengan orang-orang yang kemudian saya tahu siapa mereka. Satu-satunya orang yang kuajak bicara minta pertimbangan adalah Azhari. Kami tahu yang kami lawan itu kekuatan yang kami tak tahu sebesar apa, yang ada di seberang sana,” katanya.
Mungkin karena mengambil pilihan itu, kata Pak Rinto, ia merasa seperti menjadi seorang pengkhianat. Tapi ia menimbang lebih banyak manfaat dan perbaikan yang bisa ia lakukan. Rinto menerima tawaran menjadi informan bagi semacam kelompok penentu yang sangat berpengaruh di negeri seberang sana itu. Ia tak pernah tahu persisnya bekerja dengan siapa. Semua diatur rapi, termasuk bagaimana dana operasional masuk dan ia terima.
”Kamu ingat Habibie pernah bilang mau bangun pelabuhan bongkar muat peti kemas yang lebih besar daripada negeri seberang itu? Secara kemampuan teknis dan dana apa yang tak bisa? Tak pernah rencana itu terwujud? Tidak. Karena kalau itu terjadi, berhenti berdetak jantung ekonomi di negeri seberang itu. Nah, saya sepertinya bekerja dengan mereka yang mengatur upaya penggagalan rencana itu. Apa pun mereka lakukan. Yang saya lakukan hanya memberi informasi dan pendapat, pandangan saya. Tak ada rahasia yang saya jual ke mereka, saya bukan mata-mata. Saya bukan intel,” kata Pak Rinto.
”Jadi persisnya apa pekerjaan Bapak?” tanya saya. Orang di kota ini mengenal dia sebagai komisaris dan pemilik perusahaan jasa, seperti penyedia tenaga sekuriti dan sewa kendaraan juga jasa sopirnya untuk pabrik-pabrik di kawasan industri Watukuning.
”Saya ini berusaha dengan cara-cara tak langsung menjaga Borgam aman. Kenapa saya bantu masjid, gereja, pesantren, sekolah, usaha-usaha kecil? Karena kota ini akan aman, kalau orang sini sejahtera, fisik dan jiwanya. Azhari pernah bikin penelitian. Apa yang diinginkan warga kota ini? Nomor satu itu rasa aman. Kedua kerukunan. Kesejahteraan ekonomi malah nomor tiga. Itu hasil penelitiannya, lho. Saya memang tak jadi polisi lagi, tapi saya tetap berurusan dengan rasa aman orang-orang, dengan skala yang lebih besar, dengan sumber daya yang lebih besar.” papar Pak Rinto.
”Bapak kerja sendiri ya, Pak?”
”Seperti yang kamu lihat,” katanya. ”Tentu saja saya tak melakukan sendiri. Kamu juga bantu saya kan? Dur, tahu kan kenapa aku cerita terbuka begini ke kamu? Cuma satu, saya percaya sama kamu, sejak semula saya lihat kamu orang yang bisa saya percaya. Apalagi ketika tahu kamu akan jadi menantunya Azhari. Dia itu tak pernah mau berutang pada orang. Padahal kami itu kurang dekat apa, dulu pertama dia pernah tinggal bareng saya. Ada anaknya di sini, calon istrimu itu, ia juga tidak cerita,” katanya.
Pak Rinto dengan wajah serius bertanya, seperti mengajukan dakwaan, ”Saya bisa percaya sama kamu, kan, Dur?”
”Saya menghormati orang yang memercayai saya dan menjaga kepercayaan yang diberikan pada saya, Pak,” kata saya. Sepertinya bukan kalimat itu yang penting buat Pak Rinto, tapi bagaimana saya mengucapkannya, dia seperti penyidik yang dengan awas mendeteksi apakah ada kebohongan di wajah saya ketika mengatakan kalimat itu. Sepertinya dia tak menemukan itu.
Dia lalu berdiri. ”Tunggu,” katanya. Tak lama kemudian dia keluar dari ruang kerjanya, dengan tiga jilidan berkas tebal. ”Ini tiga berkas perkara termasuk BAP tersangka pembunuhan Putri. Yang untuk Awang dan Runi tak beda jauh dengan yang sidang sebelumnya, ada tambahan terkait keterlibatan Pintor. Kamu pelajari BAP Pintor. Itu baru.”
Dari mana Pak Rinto dapatkan salinan ini? Kalau pun saya tanyakan ia pasti tak akan menjawabnya. Ia tampaknya hanya ingin menunjukkan bahwa jejaring pengaruhnya memang sekuat dan seluas itu. Ia bisa dapatkan BAP itu. Ia pasti bisa dapatkan informasi apa saja. Jadi teringat nasihat Pak Indrayana Idris dalam satu rapat besar kami. Sebagai wartawan kita jangan pernah merasa sombong dan merasa diri paling tahu. Kita akan malu, rendah diri, kalau kita tahu apa yang diketahui oleh para pengusaha-pengusaha besar itu. Mereka punya uang untuk membelinya, karena mereka memerlukannya dan harga kepentingan yang mereka pertaruhkan jauh lebih besar dari harga informasi yang mereka bayar.
Sementara wartawan harus taat pada kaidah dan etika jurnalisme. Itulah yang menjaga wartawan, yang membuat hasil kerja dan pekerjaannya menjadi berharga. Bukan berarti kita tak berdaya, tapi justru informasi yang kita dapatkan menjadi berharga karena keterbatasan itu.
Dalam konteks ini pula saya memahami hubungan Pak Rinto dengan siapa pun yang membayar dan membeli informasi darinya. Saya sekilas membuka-buka BAP itu. Sebagai wartawan saya seperti menemukan harta karun.
”Itu sudah jadi milikmu. Milik mediamu. Gunakan sebatas tak melanggar aturan apa-apa. Dan jaga kepercayaan saya. Saya cuma minta, turunkan sedikit tensi pemberitaanmu. Sementara, kalau bisa, jangan menambah ketegangan, ya,” kata Pak Rinto.
Kenapa tiba-tiba saya merasa Pak Rinto seperti sedang mengasihani saya, dan saya tak suka dengan itu. Atau dia memang benar-benar peduli sama saya, sama Inayah anak sahabatnya? Apakah dengan cara ini dia ”membeli” saya? Ke mana dia hendak mengarahkan saya? (*)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan
Edisi 30 September 2022: Martir Minoritas
iwan
Saya tidak yakin kalo AS tidak ikut campur dalam demonstrasi sebegitu besar dan masif nya, minimal kasih dana dengan dibantu beberapa penghianat bangsa. Modus nya sudah sangat biasa dan kasat mata.
Jsk
Tapi ini poin menariknya, soal trafik YouTube yang bisa di bilang mudah di manipulasi. Kalau mau. Saya belum terlalu berminat bermain dengan trafik karena ada alasannya. Saya cukup yakin mengatur trafik untuk youtube itu sangat mudah, tapi perlu energi juga. Makanya banyak keajaiban di YouTube, 3 tahun terakhir ini. Dalam catatan, bahasa anehnya maraton estafet. Jadi bertahap, kecuali anak konglo. Pindah saku sedikit selasai. Poinnya tinggal sediakan perangkat. Sekalian tips untuk YouTuber pemula. Buat konter dulu sebelum buat YouTube iya. Jangan buang waktu nonton tutor. ambil tindakan kalau sudah nggk tahan. Jadi, ada 2 juta orang melakukan hal yang sama dalam waktu 30 menit pertama. Dan tidak terjadi pada satu saluran. Kocak memang. Untuk alasannya, adalah beberapa developer game. Tidak menjengkelkan. Cuma nji-njiki. Maaf saja sepertinya belum cukup. Ini semacam digital war. Belum eksplisit, ini legal trolling, pembunuhan secara tidak langsung menurut saya. Berapa orang yang egonya ingin kalian makan. Berapa bocil yang BPKB motornya di bank, dan masih gila skin sekarang. Bilang babi, dan anjing cuma alasan sekedar pintar bermain game. Lomba chat pas lagi nge rank. Kebiasaan mereka saat ini hanya membuat senang sedikit kelompok. Sebar racun, sebar kemarahan, sebar ketakutan, sebar kebodohan, atau sebar kesialan. Iperg pemain MP untuk contoh lagi. Dengan memanfaatkan human nature para influencer. Kocaknya, dulu game moba idiot sudah di buatkan gong asal-asalan.
Jsk
Terakhir, siapa tau mereka yang dianggap tolol saat bermain game online oleh orang-orang tolol dengan beberapa mvp, punya bakat lain. Jadi developer game kalau membaca ini, beserta strukturnya sebaiknya bertanggung jawab untuk membuat kompetisi menjadi sehat. Maksud saya ganti algoritma judinya. Terutama produk montod, dan ep ep. Atau kalau mau ngeyel digital war juga nggak apa-apa. Saya yakin fokus kalian jualan bukan untuk nyari masalah.
Agus Suryono
SEMOGA KOMENKU DI DISWAY BERJUDUL MARTIN MINORITAS "EDISI DUA" BISA DISELAMATKAN.. He he.. Rupanya aplikasi DlSWAY ini memang belum atau TIDAKVstabil. Setiap hari masih ada perubahan. Termasuk yang terlihat awam adalah perubahan FONT, perubahan SUSUNAN komen. Sehingga orang IT nya kebingungan sendiri. Merubah kok di JAM SIBUK KOMEN.. Wah wah.. Padahal pekerja PENGASPALAN JALAN, kebanyakan kerjanya jam 10 malam. Saat jalajan atau SAAT KOMEN lagi SEPI.. Catatan: 1. Yang ini kuanggap sebagai EDISI SATU. 2. Padahal ku sudah komen PANJANG LEBAR di MARTIR MINORITAS Edisi Satu. 3. Yang Edisi Satu, saat ini HILANG tanpa bekas..
Budi Utomo
Mahisa. Mahesa. Dalam bahasa Jawa kuno artinya bovine (English). Bisa sapi atau lembu. Bisa pula kerbau atau banteng. Kebo (Jawa) = Kabau (Minang). Kebo Ijo, Mahisa Campaka, adalah contoh nama-nama dalam sejarah Jawa kuno. Mahisa atau Mahesa adalah singkatan dari Maheshvara atau Mahiswara. Itu lho nama lain dari Shiva/Siwa. Shiva/Siwa simbolnya bulan sabit. Itu yang ada di ikat kepala Shiva/Siwa. Nandini atau Handini atau Andini adalah sapi suci tunggangan Shiva. Agama Hindu Shiva menyebar ke Timur Tengah awal Masehi. Juga ke Indonesia/Jawa pada awal Masehi. Itulah sebabnya Mahisa atau Mahesa kemudian berubah arti menjadi Sapi/Kerbau di bahasa Jawa. Dan itu pula sebabnya Mahsa berubah arti menjadi Bulan dalam bahasa Kurdi/Iran. Terkait dengan Shiva (“Moon” God) dan Nandini (Sacred “Bovine” of Shiva).
Rihlatul Ulfa
Waduh harus coba login hampir 8 kali baru bisa. lewat firefox malah gagal. piye to iki bah.
Mamak Edi
Masalah hijab atau jilbab bagi perempuan muslim, betul, ia adalah kewajiban di ruang publik. Jika di negara itu mengadopsi syariat Islam, maka ada dinas amar makruf nahi munkar, yang berhak menegakkan disiplin itu. Meskipun begitu ketatnya dalam pandangan syariah pemberlakuan hijab itu, tapi pelanggarnya tidak masuk dalam daftar pelaku dosa besar. Itu artinya, banyak amal kebaikan lain yang lebih ringan yang bisa menebus dosa mereka yang tidak berjilbab itu. Tapi itu kan hubungan dia dengan Tuhannya. Adapun penegak disiplin di suatu negara itu, mereka pun merasa tagihan pendisiplinan itu bagian tugas yang diamanatkan dari langit untuk mereka. Jika benar perempuan itu sampai mengalami tindak kekerasan, di jalan menuju kantor dinas itu, secara syariat Islam pun tindakan pamongpraja itu melanggar hukum.
Pryadi Satriana
"Mahsa kena razia polisi moral." Moralitas itu terkait baik-buruk, 'bahasa agama'-nya 'dosa'. Yang berhak menghukum: Tuhan. Hal ini jelas diajarkan oleh Yesus (Isa). Saat orang2 Yahudi hendak merajam perempuan yg kedapatan berzinah, Yesus mengatakan, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Itu adalah ajaran Injil! Adalah ganjil jika mengatakan mengimani Injil tapi masih menerapkan rajam. Manusia harus belajar. Dari sejarah. Kejadian yg terjadi dalam 'perjalanan hidup' manusia. Seandainya tahu bahwa 'burkah' atau pun 'jilbab' sudah dipakai sejak masa Yakub sebagai bagian dari tradisi berpakaian, ndhak akan ada 'klaim' bahwa jilbab itu bagian dari syariat Islam. Banyak yg ndhak tahu, Arab Saudi sudah pada kesadaran bahwa memakai jilbab adalah bagian dari budaya, bukan bagian dari syariat. Dan karena itu, perempuan di Arab Saudi tidak wajib mengenakan jilbab. Kita diberi akal budi utk berpikir. 'Mikir sing bener'. Adanya mata dan otak spy kita 'melihat dan berpikir', punya wawasan yg luas. Yg 'haram' itu 'berbuat dosa' dan yg 'porno' itu 'pikiran mesum'. Gus Mus membuat lukisan "Berdzikir bersama Inul." Heboh. "Goyang ngebor" Inul dianggap 'porno'. Itu salah kaprah. Saya pernah menulis artikel tentang "Makna Pornografi" di Koran Tempo. Silakan baca utk memperluas wawasan. Semoga tulisan itu bermanfaat. Salam.
Mirza Mirwan
Maaf, Pak DI, saya terpaksa cerewet. Hari ini Disway.id benar-benar amburadul. Mestinya sampai pukul 13-an sekarang sudah ada 70-an komentar untuk CHD. Kenyataannya baru 36. Itupun komentar Pak Thamrin, Pak Agus, dan Bung Budi dobel-dobel. Saya ingat benar, waktu menulis komentar saya yang hilang tadi sudah ada 25 komentar lho -- artinya sejumlah itu yang hilang. Saya coba instal aplikasi Disway.id. Nah, lho. Saya berharap kayak aplikasi DI'sway dulu itu -- maksud saya komentar baru ditaruh di atas, reply baru ditaruh di bawah. Ternyata nggak. Di situ nggak ada reply untuk komentar. Daripada harus login lagi di Disway.id versi app, lebih baik saya cerewet di versi yang sekarang. Dan saya tak hendak komentar soal Mahsa Amini, meskipun saya mengikuti beritanya sejak 2 minggu yang lalu.
*) Diambil dari komentar pembaca http:disway.id