COWASJP.COM – POLRES Malang sudah meminta pertandingan itu digeser ke sore hari. Pukul 15.30. Jangan malam hari, pukul 20.00.
Polisi sudah mengantisipasi apa yang rawan. Ini bukan pertandingan biasa. Ini Arema lawan Persebaya.
Arema FC juga sudah setuju digeser ke sore hari. Dikirimlah surat ke PSSI Pusat. Tanggal 12 September 2022. Dalam hal ini ke PT Liga Indonesia Baru (LIB).
Jawaban dari LIB ditulis tanggal 19 September 2022. Isinya: pertandingan dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Yakni malam hari. Surat balasan LIB itu ditandatangani direktur utamanya, Ir Akhmad Hadian Lukita MBA QWP.
Arema, kata surat itu, diminta melakukan koordinasi secara optimal ke Polres. Tidak dirinci apa yang dimaksud optimal di situ. Maka jadilah pertandingan tersebut malam hari.
Sebelum mengirim surat balasan itu, LIB rupanya mengadakan rapat lebih dulu dengan apa yang disebut host broadcast. Lembaga inilah yang punya hak siar televisi atas semua pertandingan Liga 1 Indonesia. Tahun ini, siaran langsung Liga 1 hanya bisa dilihat di Indosiar dan Vidio.Com.
Jelaslah ini masalah rating penonton TV. Pihak TV sudah telanjur menyusun acara selama satu tahun. Perubahan atas satu acara bisa mengacaukan acara lainnya. TV telah membayar mahal untuk mendapat hak siar. Juga sudah menandatangani iklan untuk semua acaranya.
Memulai pertandingan pukul 20.00 sebenarnya ditentang se-Indonesia. Bonek juga demo ke PSSI soal jam seperti itu. Berhasil. Persebaya tidak pernah lagi main malam.
Antisipasi lainnya sudah dilakukan Arema: panitia tidak menyediakan tempat untuk suporter Persebaya. Langkah ini bagus. Sudah benar. Bisa mengurangi potensi ketegangan. Toh Stadion Kanjuruhan pasti bisa dipenuhi oleh suporter Arema sendiri. Bahkan saksi mata menyebutkan penonton yang tidak bisa masuk stadion pun masih sekitar 20.000 orang.
Stadion Kanjuruhan tidak di kota Malang. Itu di Kepanjen, jauh di selatan kota Malang. Di situlah sekarang ibu kota kabupaten Malang. Jarak dari Stadion Gajayana di kota Malang dengan Stadion Kanjuruhan di Kepanjen 25 km.
Kanjuruhan diambil dari nama kerajaan abad ke-6 di sekitar Malang. Raja Kanjuruhan yang terkenal adalah Gajayana.
Polisi sudah benar dengan analisisnya. Panitia sudah benar dengan suratnya ke LIB. Juga sudah benar tidak mengalokasikan jatah kursi untuk suporter Persebaya. Tapi toh terjadi bencana sepak bola yang demikian tragisnya: lebih 127 orang meninggal dunia. Itu angka terbesar kedua di dunia. Untuk sejarah kelam sepak bola. Itu mengalahkan tragedi Heysel ketika Liverpool bertemu Juventus di final Piala Champion. Di tahun 1985. Yang meninggal 39 orang. Tragedi Kanjuruhan juga jauh lebih besar dari tragedi Hillsborough 15 April 1989. Yang sampai sekarang, hampir 35 tahun kemudian, masih terasa ngerinya: yang meninggal 96 orang. Yakni saat final piala FA Inggris antara Liverpool vs Nottingham Forest di kota netral Sheffield. Hanya kalah oleh tragedi Estadio Nacional, Peru, pada 1964 yang menewaskan 328 orang.
Kalau saya lihat video-video peristiwa Kanjuruhan yang beredar, tidak seharusnya tragedi Kanjuruhan terjadi. Biar pun Arema kalah 2-3 oleh Persebaya. Tidak ada perang suporter –karena tidak ada supporter Persebaya. Bonek sendiri juga lagi kecewa dengan tim Persebaya –kalah beruntun, pun dengan tim seperti Rans Nusantara FC milik artis Raffi Ahmad.
Wasit malam itu juga tidak terlalu menimbulkan kekecewaan penonton. Saya melihat banyak sekali kemajuan di perwasitan Indonesia: setidaknya sudah bisa banyak tersenyum. Dulu ulah wasit sering jadi penyebab ketidakpuasan suporter. Kasus-kasus salah semprit memang masih terjadi tapi sudah jauh menurun. Penempatan wasit tambahan di dekat gawang juga bagus sekali.
Wasit juga bukan faktor penyebab tragedi Kanjuruhan.
Permainan tim Arema sendiri juga tidak mengecewakan. Memang, tumben, sempat kalah 0-2 di awal babak pertama, tapi segera menjadi 2-2 sebelum turun minum. Bahkan bisa mendominasi serangan di sepanjang babak ke-2.
Keberhasilan mengubah 0-2 menjadi 2-2 memang menimbulkan harapan besar untuk menang. Apalagi lantas mendominasi serangan. Bahkan boleh dikata, Arema sempat mengurung Persebaya. Saya menyaksikannya di rumah secara live. Dua kali tendangan pemain Arema nyaris menjebol gawang Persebaya. Sayang masih mengenai tiang gawang.
Mendominasi serangan, mengurung, mengenai gawang adalah suasana yang membuat dada siapa pun sesak: kok tidak masuk-masuk. Padahal harapan mereka harus menang.
Arema baru saja kalah di kandang sendiri: lawan Persib Bandung. Masak kalah lagi. Lawan Persebaya pula.
Maka gemes itu memuncak menjelang pertandingan selesai. Lemparan dari arah penonton mulai beterbangan, termasuk ke arah kubu Arema sendiri.
Kubu Persebaya menangkap apa yang akan terjadi bila tidak tahu diri. Maka, meski menang, tidak ada selebrasi di tengah lapangan. Para pemain langsung menuju lorong ke arah ruang ganti pakaian. Pun tidak mampir sekadar bersalaman ke tempat pelatih berada. Pemain cadangan dan ofisial Persebaya juga langsung menuju ruang ganti baju.
Sampai di sini belum terjadi kerusuhan. Hanya teriakan dan lemparan. Tapi suasana memang mulai mencekam. Rencana tim Persebaya melakukan selebrasi di ruang ganti pakaian pun dibatalkan. Pemain hanya diberi waktu 5 menit untuk ganti baju. Mereka harus segera menuju kendaraan taktis polisi. Mereka diamankan. Agar bisa keluar dari kompleks stadion dengan selamat. Empat kendaraan taktis sudah disiapkan di depan stadion. Cukup untuk semua tim Persebaya. Aman. Mereka berhasil bisa masuk rantis semua.
Di dalam stadion pemain dan ofisial Arema FC masih di tengah lapangan. Mereka akan melakukan apa yang biasa dilakukan setelah pertandingan: kumpul di tengah, membuat lingkaran dan menghormat ke penonton.
Tapi suasana tidak seperti biasanya. Stadion yang penuh dengan 40.000 penonton tidak segera longgar. Mereka tetap di stadion. Tidak banyak yang meninggalkan tempat untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Mereka masih belum mau beranjak. Masih ribut dengan teriakan. Juga lemparan.
Para pemain Persebaya menunggu di dalam rantis polisi: kapan kendaraan taktis itu bergerak meninggalkan stadion. Tapi kendaraan tidak kunjung bergerak. Tidak bisa bergerak. Jalan keluar dari stadion itu penuh oleh manusia. Para pemain Persebaya sempat selebrasi di dalam kendaraan polisi itu tapi hanya satu menit.
Selebrasi mereka terhenti oleh kilatan nyala api tidak jauh dari mereka. Ada mobil yang terbakar. Ini berarti gawat. Apalagi kendaraan mereka masih tetap berhenti di tempat.
Di dalam stadion, para pemain yang berkumpul di tengah lapangan berinisiatif bersama-sama berjalan ke arah tribun penonton. Gestur tubuh mereka seperti ingin meminta maaf atas kekalahan itu. Mereka melangkah pelan ke arah tribun.
Tiba-tiba terlihat satu penonton meloncat pagar. Ia lari masuk lapangan. Ia menyongsong para pemain yang berjalan ke arah tribun. Penonton itu terlihat merangkul kiper. Lalu menyalami yang lain. Pihak keamanan terlihat berusaha mencegah penonton itu berada di tengah pemain. Tapi sesegera itu beberapa penonton lagi berhasil meloncati pagar. Mereka juga menuju pemain Arema. Kian banyak saja yang berhasil meloncati pagar. Lapangan pun mulai penuh dengan penonton.
Petugas keamanan bertindak. Terlihat di video ada petugas yang menghardik penonton dengan kasar. Menendang. Mementung. Memukul.
Adegan seperti itu dilihat dengan sangat jelas oleh penonton yang ada di tribun, yang posisi mereka lebih tinggi. Emosi penonton meledak. Solidaritas sesama penonton meluap. Begitulah psikologi penonton sepak bola. Mereka disatukan oleh emosi. Mereka tidak peduli suku, agama, ras, umur, dan gender. Mereka merasa satu keluarga, satu suku, satu bangsa, satu agama. Tidak ada persatuan bangsa melebihi persatuan bangsa sepak bola.
Saya pernah membuat kaus dengan tema tulisan seperti itu: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Bola.
Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, 127 tewas. (FOTO: Tangkapan layar video - nusantara62.com)
Saya melihat, dari situlah tragedi itu meledak. Ini bukan Arema lawan Persebaya. Bukan Aremania lawan Bonek. Ini penonton lawan petugas.
Ada teriakan Sambo juga di sana.
Mengamankan tim Persebaya ke rantis sudahlah langkah yang jitu. Apalagi kalau bisa segera keluar dari kompleks stadion. Maka prioritas berikutnya, seharusnya, membuka jalan keluar dari stadion. Bukan saja untuk tim lawan, juga untuk mengurangi kepadatan stadion. Pasti banyak juga yang sudah ingin pulang. Sudah sangat malam. Tapi mereka tidak bisa keluar. Buntu.
Di dalam stadion sebenarnya sudah tidak ada lagi faktor penentu yang bisa memicu kerusuhan. Kalau pun mereka kecewa kepada tim Arema, itu kekecewaan orang yang mencinta. Tidak akan mencelakakan mereka. Sama dengan kekecewaan Bonek pada tim Persebaya 2022.
Maksimum yang akan terjadi adalah merusak stadion. Seperti yang dilakukan Bonek dua minggu lalu ketika Persebaya kalah oleh Rans United FC 1-2. Stadion Gelora Delta Sidoarjo dirusak. Itu pun hanya mampu merusak pagarnya. Persebaya segera memperbaiki: habis Rp 170 juta. Tidak ada yang luka. Apalagi meninggal dunia.
Maka yang terbaik dilakukan di dalam stadion Kanjuruhan malam itu adalah: mereka yang masuk ke lapangan itu jangan diusir. Jangan dihardik. Diminta saja untuk duduk. Di atas rumput. Seluruh pemain dan ofisial juga memulai duduk. Petugas juga duduk. Biarkan emosi tercurah dulu. Perlu waktu untuk meredakan emosi.
Sama sekali tidak ada faktor yang menakutkan malam itu. Mereka itu satu bangsa: bangsa bola. Tim lawan sudah diamankan. Cukup. Tim tuan rumah tidak akan diapa-apakan –maksimum dimaki-maki atau diludahi. Saya sudah kenyang dengan hal seperti itu. Pun dilempari kencing dalam plastik.
Menghardik mereka hanya menambah emosi. Apalagi menendang dan memukul. Tambah lagi tembakan gas air mata. Yang bikin panik. Bikin sesak. Bikin berdesakan.
Kita begitu berduka. Kita juara dunia sepak bola di segi tragedinya.
Kita harus bangkit dengan prestasi. Kalau pun kita dihukum FIFA selama lima tahun, kita manfaatkan itu untuk benah-benah di dalam negeri. Lima tahun mendatang kita buat kejutan internasional. Sekali bebas dari hukuman, prestasi langsung mengejutkan. Di mata dunia. Setidaknya Asia. (*)
***
Siapa Membunuh Putri (31)
Kerusuhan Besar
Oleh: Hasan Aspahani
SIDANG dengan terdakwa AKBP Pintor berjalan tidak lancar, kacau di ruang sidang, dan rusuh besar di luar. Para pendukung terdakwa memenuhi bangku-bangku di ruang sidang. Seperti sidang-sidang sebelumnya, ada pendeta di ruang sidang itu, yang tampak terus-menerus berdoa, ibunda Putri bernyanyi-nyanyi lagu rohani.
Bahkan sempat ada acara tiup lilin ulang tahun Zakia anak pasangan Putri dan Pintor. Ketika AKBP Pintor dibawa masuk dan duduk di kursi terdakwa, ibunda Putri berseru menyerukan kalimat pembelaan: kuatkan dirimu, Anakku, kamu tak bersalah. Tuhan melindungimu! Tuhan akan tampakkan siapa yang sebenarnya bersalah! Tuhan bersamamu, bersama kita!
Sepanjang pembacaan dakwaan, berkali-kali hakim meminta agar pengunjung sidang tertib. Awang dan Runi dihadirkan sebagai saksi. Pengacara Restu mendampingi mereka.
Sapril dan Ferdy dihalang-halangi orang ketika hendak memotret. Bahkan ada yang memaki-maki, ”tak usah kau meliput, wartawan provokator, koran sampah!” Sapril dan Ferdy tampaknya sudah terbiasa.
Saya duduk di deretan belakang kursi pengunjung. Edo berkeras menemaniku. Bang Eel melarangku untuk datang ke PN Borgam. ”Koran berdarah yang dilempar ke percetakan itu peringatan buat kita, Dur. Peringatan keras,” katanya. Saya mengabaikan. Sidang ini harus saya saksikan. Bukannya saya tak percaya dengan kemampuan Sapril dan Ferdy. Saya hanya ingin memberi dukungan moral pada dua wartawan saya itu.
Ketika dakwaan dibacakan semua orang yang ada di ruang sidang seperti mendengar cerita. Bagaimana sebuah rencana pembunuhan diatur dan dieksekusi, jejak-jejak dihapuskan. Terbayang di kepala saya semua fakta-fakta yang telah kami beritakan. Tak ada yang berbeda. Hanya beberapa fakta baru seperti melengkapi bagian-bagian yang selama ini belum terungkap.
Jaksa terus membacakan dakwaan. Orang yang mengikuti kasus ini bisa menyimpulkan bagaimana rekayasa sebelumnya diatur. Dakwaan yang dibacakan, persis seperti berkas yang saya terima dari Pak Rinto dan Pak Restu Suryono, membongkar semua cerita rekayasa itu. Sulit memang dipercaya. Sesadis itukah seorang suami pada istrinya?
Apalagi aksi keluarga Putri membuat semua orang bertanya, apa benar Pintor sekejam itu? Kenapa keluarga Putri membela Pintor habis-habisan? Kenapa tak marah pada Pintor kalau memang dia pelakunya? Tapi sulit juga untuk tak percaya pada fakta-fakta penyelidikan yang dipaparkan dalam dakwaan.
Saya teringat ucapan Pak Rinto bahwa tugas pengacara bukan membuat hakim yakin bahwa kliennya tak bersalah. Tapi membuat hakim ragu bahwa kliennya bersalah. Vonis tak boleh diputuskan dengan keraguan, harus memutuskan vonis dengan bukti yang sah dan meyakinkan. Seluruh drama di ruang sidang itu saya kira hanya untuk itu: membuat hakim ragu-ragu. Atau ini juga bagian dari skenario rekayasa itu, karena hakim sudah dipesan untuk membuat vonis sesuai maunya terdakwa?
Pertanyaan besarnya adalah kenapa Pintor membunuh Putri? Selain motif kemarahan, keterusikan harga diri seorang lelaki, seorang suami yang selama ini manut dan dicocok hidung oleh istri, sampai batas yang tak lagi bisa ditoleransi? Atau atau lapisan lain yang lebih tebal yang tak akan terkelupas oleh proses hukum di persidangan ini?
Saya dengan lekas menghubungkan fakta-fakta yang ada, informasi yang terkumpul. Meski sebatas ini saya hanya bisa menduga-duga. Sebagian informasinya disampaikan oleh Pak Rinto dalam pertemuan kami terakhir di rumahnya, juga dari pengacara Restu.
”Kapolresta yang sekarang itu orang yang ambisius. Kasus mobil bodong untuk mabes yang kalian bongkar itu upeti dia untuk dapat promosi. Putri yang bantu dia. Ada hubungan khusus antara keduanya. Pintor sudah lama mengendusnya, tapi tak bisa dan tak mau dia melawan atasannya. Karena itu juga terkait karirnya. Sampai dia tak tahan lagi, dua kemarahan itu menggunung, jebol, lalu ia lampiaskan pada Putri,” kata Pak Rinto.
”Sudah terjadi mutasi besar-besaran di Polresta, kenapa Kapolresta tak diganti?”
”Itu bagian dari negosiasinya. Ada yang mau dia bereskan dulu sebelum diganti. Tak lama lagilah,” kata Pak Rinto.
”Kaitan dengan kasino ilegal di Penangsa itu, Pak?”
”Bagian dari pengumpulan dana untuk promosi itu juga. Kayaknya dia mengincar jabatan penting. Perlu dana besar sekali,” kata Pak Rinto.
”Kenapa harus Putri ya, Pak?”
”Selain ada hubungan itu, Putri memang punya kemampuan untuk itu dan dia mau melakukan itu. Dia punya dealer besar di Palembang. Artinya sudah tahu betul bisnis mobil. Juga bisnis mengelola tempat hiburan yang dibaliknya kasino ilegal itu. Kamu harus ingat juga, ayahnya orang penting di mabes. Masih punya pengaruh besar,” katanya.
Mengingat-ingat percakapan itu, melihat hubungan kejadian-kejadian itu, lalu mengaitkannya juga dengan eskalasi politik menjelang pilwako, saya tiba-tiba disergap perasaan tak nyaman. Ada yang tidak beres. Peringatan Pak Rinto agar kami menurunkan tensi pemberitaan mungkin terkait dengan ini: akan ada kerusuhan besar. Untuk menutupi hal-hal besar yang ingin dihapuskan jejaknya.
Saya lekas keluar ruang sidang PN menemui Sapril. Ia cemas. ”Gawat, kacau ini, Bang,” katanya. ”Itu pendukung Awang dan Runi. Dari tadi tambah banyak.” Ia menunjuk ke arah kelompok massa di satu sudut, ke arah orang-orang yang memakai kaus seragam. Mereka mengikat kepala dengan kain kuning.
Sapril menunjuk kelompok lain. Sama banyaknya. Dengan kaus seragam lain dan kain selendang merah sebagai identitas penanda.
”Abang balik kantor aja, Bang. Tak aman di sini,” kata Sapril.
”Kalian lekas kembali ke kantor kalau sudah tak ada lagi yang perlu diikuti di sini. Kamu terutama, Pril. Foto selamatkan dulu, pastikan kita sudah dapat foto yang bagus,” kataku.
”Bawa aja laptop saya, Bang. Tadi foto-foto Sebagian sudah saya pindahkan ke laptop. Buat jaga-jaga, yang di kamera belum saya hapus juga,” kata Sapril sambil keluarkan laptop dari ranselnya. Saya mengajak Edo meninggalkan PN.
”Ke kantor, Bang?”
”Iya,” kataku, tapi tiba-tiba aku mencemaskan Inayah. Cemas dan rindu. Beberapa waktu lalu dia bercerita ingin membuka semacam layanan rumah aman bagi pekerja perempuan yang bermasalah. Dia punya kegiatan di luar pesantren, yaitu pengajian rutin untuk beberapa kelompok pekerja wanita di dormitory. Ia bergantian dengan beberapa ustad dan ustadzah di Alhidayah.
”Kita ke pesantren dulu, Do,” kataku.
Saya menelepon Inayah. Jawabannya menambah kecemasan saya. Ia tak mengangkat telepon dan membalas dengan SMS, saya sedang menuju ke Bluebeach. Nanti saya ceritakan. Tak bisa bicara sekarang. Lagi sama beberapa polwan.
Saya menelepon Ustad Samsu. Saya langsung bertanya soal Inayah.
”Ada tiga orang perempuan datang minta perlindungan ke pesantren. Mereka sepertinya bingung tak tahu mau sembunyi di mana. Ada temannya di dormitory yang kenal sama Inayah. Mereka mengaku lari dari hotel Bluebeach di Penangsa. Kondisinya mengenaskan. Mereka mengaku disiksa. Mereka tak tahan dan berusaha kabur,” kata Ustad Samsu.
”Inayah ke sana mau apa, Ustaz?” tanyaku.
”Kata tiga orang itu ada puluhan temannya yang juga berusaha kabur. Tapi berhasil ditangkap lagi. Tiga orang itu masih di sini,” kata Ustad Samsu.
Saya semakin cemas. Saya minta Edo putar arah lagi ke Penangsa. Saya teringat Widi Woman Workers Cares. Saya menelepon dia. Widi sudah tahu dan sedang menuju ke Bluebeach juga. Edo menyarankan saya menelepon temannya di sana. Ia berikan nomor telepon anggota Terpedo. Beberapa kali panggilan tak diangkat, meski pun tersambung.
”Ada nomor lain, Do?” tanyaku. Edo mengingat-ingat. Sementara itu saya teringat Nenia. Kenapa tak terpikir dari tadi. Saya langsung menelepon dia. Teleponnya tak aktif. Edo memberikan nomor lain. ”Itu anggota Terpedo juga,” katanya.
Telepon diangkat. Saya minta Edo bicara. ”Ronald, ini aku Edo. Ya, Edo. Ada apa di sana?”
Saya mendengar orang berteriak-teriak. Ada yang menjerit histeris.
”Edo, ada kerusuhan! Kerusuhan, Edo. Ada tembak-tembakan!”
”Ada polisikah?”
”Ya, ini yang tembak-tembakan polisi sama tentara! Ada teman-teman yang kena tembak!”
”Kau tunggu. Saya sedang menuju ke sana.”
”Jangan, Edo. Jangan ke sini… bahaya…,” lalu terdengar suara tembakan dan orang menjerit kesakitan.
”Ronald? Ronald? Kamu kenapakah?” Ronald tak menjawab lagi. Terdengar suara makin kacau dan teriakan orang-orang makin panik, ada yang minta tolong, jerit kesakitan, lari, lari, ada api, api, api…. Edo mempercepat laju mobil ke arah Penangsa. Aku semakin mencemaskan Inayah. (TAMAT, Bersambung ke Siapa Membunuh Putri II)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan
Edisi 2 Oktober 2022: Cari Cinta
Komentator Spesialis
Kalbar dan Kalteng tunggu dulu ya sabar. Duitnya akan difokuskan ke Kaltim untuk IKN baru perlu 500 trilyunan. Nanti 10-20 tahun lagi akan dipikirkan. Kecuali pembangunan IKN baru ditunda, duitnya bisa dibagi rata ke semua daerah.
Fauzan Samsuri
Selama hayat masih dikandung badan masih ada kesempatan bagi MacKenzie Scott dan Lesti Kejora mencari cinta sejatinya. Bagi yang merasa sudah menemukan jangan sampai kesempatan itu hilang, tidak perlu mencari lagi karena mungkin cinta sejati memang tak ada, kecuali kita mau menerima pendamping kita apa adanya.
Agus Suryono
PENDIDIK DAN PENGAJAR.. Guru itu bisa dibedakan menjadi 2, yaitu: 1). Pendidik. 2). Pengajar. Kalau "pengajar", hanya SEKEDAR mengajar. Sedangkan "pendidik", tidak hanya sekedar mengajar, tetapi MENGAJAR dan sekaligus juga MENDIDIK muridnya. Dari cerita Abah, saya yakin JEWETT adalah PENDIDIK. Saya berharap, semua anggita PGRI adalah PENDIDIK. @PGRI. PPRI..
Agus Suryono
SAYA PERNAH JATUH HATI KEPADA PADUAN SUARA BONEK.. Tahun sekian. Selama sekitar 5 tahun.. Setiap Jumat sore, saya naik KA Turangga, ke Surabaya. Dan setiap Minggu sore, saya kembali naik KA Turangga, kembali ke Bandung. Nah suatu sore, di hari Minggu, saat mau siap-siap ke Bandung, stasiun Gubeng penuh n full, manteman Bonek. Dari rumah, ke stasiun Gubeng, diantar istri, dan anak bungsu. Manteman Bonek, sangat tertib di stasiun. Mereka menunggu kereta, tuk pulang. Sambil menunggu, mereka menyajikan lagu, sangat indah, suaranya Bak paduan suara. Semuanya berjalan dan berlalu, tanpa saya tau, siapa yang memberikan aba-aba. Bahkan saat pergantian lagu, saya tak tau, siapa yang memberi kode dan tanda.. Sampai saat KA Turangga berangkat meninggalkan stasiun Gubeng, kereta yang akan membawa para mbak dan mas Bonek belum tiba.. Karena itu, para mbak dan mas Bonek, tetap melanjutkan paduan suaranya. Meski banyak yang tanpa sepatu maupun sandal, tetapi paduan suaranya tetap enak didengar. Sampai-sampai, setelah KA Turangga jauh meninggalkan Gubeng, anak bungsu saya tidak mau diajak pulang mamanya. Anak saya terpukau paduan suara.. Dari mbak dan mas Bonek.. Selamat jalan bagi para kurban..
Pryadi Satriana
Arema berduka Dunia sepakbola kita berduka Tragedi Kanjuruhan diliput media dunia Abah 'cuek' Malah "Cari Cinta" Bisa saja Abah sedang puber ... Puber ke-7! Opo pancen ngono, Bah? Ojo lali jaga kesehatan ... Ojo ngguya-ngguyu dewe ... Salam. Rahayu.
Jimmy Marta
Cerita ringan abah pagi ini, mencari cinta cocoklah untuk teman santai kita berhari minggu. Lepas dan lempang. Kita gk usah prihatin dg menjandanya Scott kedua kalinya. Beda dg yg pertama. Dg Jewet ini kan Scott yg menggugat. Pasti ia tidak bahagia. Dia pilih jadi janda lg daripada makan hati. Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Dengan harta selangit sebumi, tentu Scot happy2 saja. Apapun bisa dia dapatkan. Cuman memang cinta gk bisa dibeli.
Kapten
Video dari rubrika itu cukup jelas. Beberapa korban yang pingsan justru perempuan. Saya belum menemukan video baku hantam secara massive. Juga penasaran daftar korbanya. Terakhir karena sudah kebanyakan nulis di sini. Dan hal ini justru membuat saya terlihat bodoh. Mau tanya saja ke pak Er gham. Berapa kali adu pukul yg terjadi setelah pertandingan berakhir. Atau cuma skema begini. Bayar orang suruh masuk ke lapangan. Tujuannya untuk memancing penonton lain supaya agresif. Lalu, tembak gas air mata ketitik tertentu. Dengan begitu cerita berakhir, seolah2 penonton kecewa. Kemudian ada keributan.
Kapten
Beberapa daftar korban sudah di publish oleh media masa. Dari usia korban ada yang usia 13 tahun. Orang gila mana yang mau mukulin usia 13 tahun sampai meninggal di acara sepak bola. Juga ini yang aneh. Banyak bener korban perempuannya. Jadi ini mungkin bukan keributan penonton. Ini semacam kekacauan yang di buat panitia penyelenggara.
Er Gham
Tidak sekedar TIDAK BOLEH DIGUNAKAN. Gas air mata juga TIDAK BOLEH DIBAWA MASUK STADION. Jadi dalam keadaan DARURAT sekalipun, misal petugas TERDESAK, gas air mata tetap TIDAK BOLEH DIPAKAI dalam stadion. Ngerti ora ?
yanto st
Oh cinta deritanya tiada akhir kkkkk
Johan
Ketika sekelompok orang melakukan tindakan edan, kemudian ditangani dengan cara edan juga, yang terjadi selanjutnya adalah bencana. Turut berdukacita untuk para korban tragedi Kanjuruhan. Semoga keluarga yang ditinggalkan oleh korban diberi ketabahan dan kekuatan oleh Allah Yang Maha Kuasa.
AnalisAsalAsalan
Tentang cinta dan pernikahan. Cinta memang datang tanpa perlu menjawab kata tanya "Mengapa". Namun, pernikahan sebaiknya dilakukan dengan yang "sekutu", saya biasa menerjemahkan dengan "yang nyambung". Tanpa "sekutu", saya ambil Pareto, 80% susah komunikasinya. Alhasil, hidup bersama hampa, akhirnya berjalan sendiri-sendiri. Kalau sudah seperti itu, apa bedanya tanpa si dia? Perpisahan tak terelakkan. Sang Puteri, triliuner dan terkenal, menikah dengan guru biasa. Ini tidak sekufu. Hasilnya ternyata ikut 80% yang susah nyambung. Itu analisis saya yang asal-asalan. Hahahahaha.
Liam Then
Sangat sedih, nelangsa, hal seperti ini bisa terjadi. Alpa besar yang disebabkan oleh ketidakpedulian, alpa besar yang mentolerir ketidakcakapan. Hasilnya nyawa manusia terkorban sia-sia. Mayoritas anak-anak muda yang penuh harapan masa depannya . Tumpuan harapan bapak ibunya. Kejadian seperti ini, bukti bahaya kalau kealpaan di tolerir dan dianggap biasa.
Pryadi Satriana
AREMA MENGGUGAT Ya ... Tuhan ... Sebagian besar korban begitu muda Anak2 sekolah Rata2 uang saku mereka sekitar 10rb Mereka rela ndhak makan nasi pecel + teh selama 5 hari Demi selembar tiket Yg ternyata Mengantar mereka ke alam baka Aremania itu cuma 'supporter' Bukan bajingan ... Bukan bangsat ... Bukan teroris ... Mereka cuma penonton Mereka ndhak ingin 'tawur' Mereka ndhak punya 'pentung' Mereka ndhak punya 'pelindung diri' Mereka cuma mau nonton Dan pulang ... Tapi mereka ndhak bisa pulang Tubuh mereka sudah terbujur kaku ... Jiwa mereka telah melayang Adakah mereka bertanya: "Why me?" "Kenapa aku mati seperti ini?" "Kenapa aku ndhak bisa pulang lagi?" "Aku ingin pulang ..." "Sudah malam, Ibuku menunggu di rumah ... " #aku juga Arema# #aku cuma bisa berbuat ini# #maafkan aku Kawan# #kembalilah ke hadiratNya# #doaku menyertaimu Kawan# #semoga dosamu diampuniNya# #semoga ada di hadiratNya# #Aamiin#
Er Gham
Korban-korban belum tentu perusuh. Mungkin ada keluarga keluarga yang hanya ingin menonton saja. Tapi terjebak asap atau terjatuh dan terinjak saat berebut keluar stadion.
Pryadi Satriana
Suara lirih dari Kanjuruhan: "Bu, aku ingin pulang ..." "Bu, aku ingin ... " "Bu, aku ... " "Bu ... "
thamrindahlan
Entah siapa sedang jatuh cinta / Sekali pandang cintapun terpaku / Cinta buta misteri setetes tinta / Tak pandang wajah apalagi saku /
EVMF
Gas Air Mata atau Tear Gas termasuk Lachrymator kimiawi. Sedangkan Lachrymator alami contohnya Semprotan Merica (Capsaicin) yang biasa digunakan untuk membela diri, terutama oleh kaum perempuan dari kemungkinan serangan fisik, pelecehan seksual dan penjambretan. Bahan kimia yang paling umum digunakan untuk gas air mata adalah : chloroacetophenone, chlorobenzylidenemalononitrile, chloropicrin, bromobenzylcyanide, dan dibenzoxazepine. Akibat terpapar gas air mata secara umum dapat menyebabkan antara lain : sesak napas, batuk, penglihatan kabur, rasa terbakar pada wajah, dan GAGAL NAPAS. GAGAL NAPAS ini yang sangat berbahaya, bisa mengakibatkan kematian, karena : 1. terpapar gas air mata untuk waktu cukup lama. 2. terpapar gas air mata di area tertutup atau kepadatan yang luar biasa dari kerumunan masa dalam kondisi pertukaran aliran udara yang tidak baik. 3. ada orang yang memang memiliki riwayat gangguan kesehatan paru-paru, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
*) Dari komentar pembaca http://disway.id