COWASJP.COM – Saya mengenal almarhum Yoedhi Karyono sejak umur 5 tahunan. Sama-sama sekolah TK Islam di kampung, Lawang, Kabupaten Malang. Sama-sama anak tentara yang dikenal relatif nakal. Di Lawang banyak markas dan asrama tentara (TNI AD).
Waktu itu seingatan saya, Yoedhi anaknya pendiam dengan rambut lurusnya, dengan sorot mata serius, tak ada kesan jenaka seperti anak yang lain yang lincah bergerak ke sama kemari.
Yoedhi Karyono cenderung pendiam, tapi tak senang diganggu.
Saya gak pernah kenal lebih dekat, hanya sesekali bermain bersama di depan masjid Kauman bersama teman-teman yang lain. Mungkin kelompok pertemanan saya dan Yoedhi berbeda.
Waktu terus berjalan. Ndilalah saking kersaning Allah (atas kehendak Allah) kami berkumpul lagi saat SMA. Malah di tahun pertama kami satu kelas. Pada masa inilah, 1974, saya kenal lebih dekat lagi dengan almarhum. Ada yang tidak berubah pada dirinya, yaitu sorot mata dan ekspresi wajah seriusnya. Tak berubah sejak saya kenal Almarhum di TK dulu.
Berguraunya sama seperti teman yang lain, tapi mimik wajahnya tetap terkesan serius meskipun tertawa terbahak bahak. Ini yang khas pada diri Almarhum.
Yang lain sama dengan teman lainnya. Dari soal usilnya menggoda teman. Menjadi hal biasa. Bahkan guru yang sedang mengajar pada jam jam terakhir sekitar pukul 13.00 juga digoda.
Maklum jam-jam segitu rasa lapar melilit. Bercampur mual gegara bau menyengat timbunan tetes perusahaan alkohol persis di samping sekolah. Mulut pun terbuka lebar. Menguap, ngantuk.
Biasanya agar gak ngantuk dan bosen, ada murid yang bawa radio kecil. Disetel agak pelan di taruh di angin angin (ventilasi) lantas ditutup benda agar tak kelihatan. Hal itu pula yang dikerjakan Almarhum dan teman lainnya.
Alhasil saat jam pelajaran berlangsung, sekelas bareng-bareng mendengarkan guru mengajar sambil mendengarkan musik, iklan atau komentar dari penyiarnya.
Dan uniknya semua murid sekelas tidak ada yang berisik. Sehingga suara radio semakin jelas, dan guru yg mengajar merasa 'lancar', tak ada gangguan berarti.
Tapi radio disetel hanya saat jam pelajaran terakhir, dan bila cara mengajar gurunya kurang menarik, cenderung membosankan.
Perawakan Yoedhi kekar sejak SMA. Mungkin karena terbiasa naik gunung. Di sekitar Lawang banyak gunungnya.
Fisik Yoedhi memang kokoh. Saat SMP dia pernah berjalan Lawang- Banyuwangi bersama teman-temannya.
Penulis (berdiri nomor 2 dari kanan, kaos putih). Bersama teman-teman SMA. (FOTO: Dokumentasi).
Setelah naik kelas 2 SMA dilakukanlah penjurusan. Beliau di IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Saya di IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Beda jurusan, kami tak sekelas lagi. Kalau etemunya hanya say hallo. Seperti kurang begitu akrab. Begitulah orangnya. Kalau bicara terkesan serius.
Bertemu lagi saat di kantor Jawa Pos tahun 1985. Ketika Jawa Pos masih bermarkas di Jalan Kembang Jepun, Surabaya.
Kami sama sama mengikuti tes wawancara terakhir. Ketika sama-sama melamar jadi wartawan Jawa Pos.
Saat wawancara ada pertanyaan: "Seandainya kamu diterima di Jawa Pos, tapi bukan sebagai wartawan, apakah bersedia?"
Saya dan Zarmansyah (teman sealmamater di IPB Bogor) tidak bersedia. Namun Almarhum (alumnus Universitas Jember) menjawab dengan lugunya: "Bersedia!"
Zarmansyah saya kenal saat tes tertulis di Hopbiro (sekarang Mapolrestabes Surabaya). Dekat Kambang Jepun. Zarman duduk di sebelah saya. Materi tesnya pengetahuan umum. Kebetulan saya senang membaca, jadi tak ada kesulitan untuk menyelesaikan. Jadi kami berdua saling komunikasi intens sa'at menjawab soal-soal dalam tes.
Yang pasti, saya, Zarmansyah dan Almarhum Yoedhi Karyono sama-sama lulus tes dan diterima menjadi wartawan anyar Jawa Pos.
Saat ada tugas ke Jakarta, mess kantor saya di daerah Pasar Santa, Mampang Kebayoran baru. Ke kantor Jawa Pos di Jalan Prapanca cukup sekali naik bus.
Di Prapanca itulah saya bertemu lagi dengan Yoedhi Karyono yg telah menjadi wartawan Jawa Pos. Suatu ketika menjelang pukul 22.00 dia mau pulang. Dia mengajak saya. "Ayo turu nang omahku (ayo tidur di rumahku)." katanya.
"Wah sepurone (maaf) besok pagi saya ada acara," jawabku.
Setelah saya tidak di Jawa Pos lagi, pindah ke Petrokimia Gresik, setiap kali tugas ke Jakarta saya biasa main ke kantor Jawa Pos Prapanca. Malah beberapa kali datang pagi hari singgah mandi, istirahat, nunggu sampai siang di Kantor Prapanca, meskipun sudah 10 tahun meninggalkan Jawa Pos.
Komunikasi dengan Yoedhi Karyono sebelum maraknya media WA, lebih sering dengan media Facebook. Dari facebook sering beliau menggunggah foto-foto saat di luar negeri. Saat mengikuti kunjungan President Suharto, dan sedikit membahas politik. Yoedhi masuk dalam kelompok wartawan Istana Presiden.
Setelah pensiun sekitar tahun 2014, beberapa kali kami bertemu di Masjid Kauman, Lawang. Seperti biasanya, bicaranya pendek-pendek,
Foto tahun 2014 Yoedhi Karyono bersama guru olahraga SMA. (FOTO: Dok. Bambang Supriyantoro)
"Sekarang saya tinggal di Kepanjen, ngrawat ibu yang sakit," katanya di sela basa basi di dalam masjid.
Setelah tinggal beliau di Kepanjen kami justeru lebih sering bertemu. Entah di masjid, di jalan, bahkan di makam Lawang melayat warga sekampung yang meninggal.
Saat menjalin komunikasi dengan teman-teman SMA, beliau sangat ringan tangan, asal setelah selesai merawat ibunya.
Sejak SMA saya perhatikan beliau tipikal orang yg setia kawan, keras pendirian, dan tentu mudah tersenggol pendapat teman lainnya.
Beberapa bulan lalu pamit ke teman teman grup SMA nya, mohon maaf meninggalkan grup WA karena ingin menenangkan diri. Itu saja penjelasannya.
Suatu sore ada pesan WA dari putera Yoedi Karyono. Lewat nomor HP Yoedhi. Puteranya berpesan ke salah satu teman, bahwa ayahnya sakit. Mohon doanya dan berita tersebut di share ke grup.
Semua teman masih menduga-duga apa sakit beliau. Belum habis rasa penasaran tentang sakitnya, sekitar jam 11.00 kami mendapat kabar bahwa beliau telah meninggal dunia.
Innalillahi wainnailaihi rojiun,.. Selamat jalan sahabatku.(*)