COWASJP.COM – UNIK DAN MENARIK, memang. Di sebuah nagari dengan total penduduk tidak lebih dari 10.000 jiwa, terdapat lebih dari 60 surau. Jika ditotal di zaman dahulu dan sekarang. Padahal tidak semua penduduk itu juga selalu menetap di kampung itu. Karena tidak sedikit pula yang pergi merantau ke daerah lain. Dalam jangka waktu pendek maupun sedang.
Bila dipertanyakan, mengapa begitu banyak surau didirikan, maka jawabannya tentu beragam. Tapi dalam konteks Rao-Rao – yang terkesan unik dan menarik ini – ada beberapa alasan orang mendirikan surau. Sehingga akhirnya berjumlah begitu banyak. Berdekatan. Berhimpitan. Tapi banyak yang tidak digunakan lagi. Di samping itu, ada pula yang secara fisik sudah mau roboh, tinggal puing bahkan ada pula yang tidak berbekas lagi.
Salah satu alasan surau-surau itu didirikan adalah karena adanya kesepakatan dari para ninik mamak, tungganai di rumah gadang, panghulu dan perangkat adat lainnya. Yang membutuhkan tempat menyelenggarakan rapat-rapat tertentu. Dengan menetapkan surau sebagai tempat rapat dan musyawarah. Dengan alasan itu, berdirilah Surau Kaum (tempat musyawarah kaum atau suku tertentu) dan Surau Pasukuan Kampung Nan Ampek (tempat musyawarah para tetua suku Kampung Nan Ampek).
Alasan kedua adalah karena adanya perbedaan pelaksanaan ibadah antara kalangan tua yang masih teguh mempertahankan cara ibadah kaum terdahulu, sebagaimana ajaran suluk dan sebagainya. Sehingga kalangan tua tidak mengizinkan generasi muda yang sudah terpengaruh modernisme Islam untuk melakukan ibadah di surau mereka.
Karena menurut bahasa kalangan tua, anak-anak muda itu hanya datang untuk “mancigok-cigok” saja. Atau untuk mengintip-intip cara ibadah mereka. Lalu dengan begitu mereka dapat mencemo’oh tata cara ibadah kaum tua itu. Sedangkan kalangan muda yang menolak pelaksanaan ibadah yang mereka anggap penuh dengan “tahayul, bid’ah dan churafat” (TBC), ingin pula memiliki tempat ibadah yang sesuai dengan apa yang mereka fahami tentang Islam.
Alasan ketiga adalah para syeikh atau tuan guru dari ajaran thariqat yang berkembang ingin memiliki tempat tersendiri. Sehingga mereka bisa menerima murid yang akan ikut suluk di tempat mereka. Mereka akan mengajari para murid tersebut untuk mendekatkan diri secara khusyuk kepada Sang Khaliq. Dengan meninggalkan segala bentuk kegiatan keduniaan. Melaksanakan puasa mutih. Dengan pengertian tidak makan daging. Melakukan sholat dan zikir tanpa henti selama 40 hari 40 malam di dalam kelambu. Di bawah bimbingan sang tuan guru.
Tapi seiring perkembangan zaman, dengan kenyataan bahwa para syeikh yang memberikan pengajaran suluk atau thariqat tak ada lagi karena sudah banyak yang meninggal dunia, maka surau-surau suluk pun tinggal nama. Sebagian masih ada fisiknya, bahkan ada yang sudah direnovasi dengan anggaran yang tidak sedikit. Tapi pelaksanaan tata cara ibadahnya sudah berbeda jauh dengan apa yang dulu berlaku di surau itu. Di samping itu, sebagian besar sudah tak ada lagi fisiknya.
Para tetua kampung masih ada yang ingat nama-namanya. Tapi fisiknya sudah tak bisa dijumpai lagi.
Alasan keempat adalah sebagai tempat ibadah orang kaya yang barangkali karena satu dan lain hal tidak dapat berjalan jauh ke masjid tapi tetap ingin sholat berjama’ah setiap waktu. Sehingga mereka mendirikan surau-surau pribadi di lokasi yang berdekatan dengan rumah atau tempat tinggal mereka. Sebagai bagian dari pelaksanaan sunnah Rasul. Bahwa kaum lelaki tempat ibadahnya di masjid. Sedangkan kaum perempuan tempat ibadahnya di rumah masing-masing.
Peranan Masjid
Pemahaman agama umat Islam di Rao-Rao yang semakin meningkat menyebabkan jama’ah masjid kian bertambah. Orang-orang yang ingin disebut “Urang Siak” (Baca: taat beragama) maupun yang memang Siak dalam pengertian faham agama semakin banyak, sehingga betapa pun sulitnya keadaan mereka tetap berupaya untuk meramaikan masjid. Hal ini semakin menggerus jumlah jama’ah di masing-masing surau.
Sementara itu, mereka yang tidak begitu intens dalam menjalankan ibadah agamanya, meskipun tetap beragama Islam, ramai berkumpul di lapau-lapau (warung-warung kopi). Tak pelak mereka ini pun ikut menggerus jumlah jama’ah di surau-surau. Di samping juga tidak sedikit di antara mereka yang justru banyak yang meninggalkan kampung halaman. Mencari penghidupan di perantauan yang dekat maupun jauh. Termasuk juga di antara mereka adalah kaum muda yang dulu rajin ke surau, tapi karena sulitnya hidup di kampung maka mereka pun banyak yang pergi merantau.
Surau Baruah yang terus dipercantik. (FOTO: Dok. Nasmay L. Anas)
Betapa pun, merantau adalah tradisi orang Minang yang kian hari kian meningkat. Tradisi yang oleh Alm. Buya Hamka sering digambarkan dalam pantun yang beliau sampaikan dalam ceramah maupun novel yang beliau tulis: “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Karantau dagang dahulu, di rumah baguno balun”. Artinya, pergi ke rantau anak-anak muda itu terlebih dahulu, karena di kampung belum ada gunanya. Belum punya anak dan isteri yang jadi tanggungan. Belum diajak ikut berunding dalam acara-acara kerapatan adat nagari.
Selain itu, tradisi kaum pria tinggal di rumah bini banyak sedikitnya juga mempengaruhi kebiasaan kaum pria yang lebih cenderung beribadah di masjid ketimbang di surau-surau kampung maupun surau pasukuan. Umumnya surau-surau kampung maupun pasukuan dihadiri para ipar mereka. Yang di zaman lampau hidup “segan menyegani” satu sama lain, dengan pengertian ada ewuh pakewuh di antara mereka.
Perkembangan zaman, terutama akibat kemajuan sains dan teknologi adalah satu hal pula. Misalnya, perkembangan internet seperti sekarang, yang semakin memudarkan kemungkinan orang muda untuk tinggal di surau dan bersosialisasi seperti di zaman lampau.
Kemajuan ini membuat masyarakat hidup lebih individualistik. Apalagi, di kampung-kampung sekarang sudah banyak orang yang menjadikan rumah gadangnya jadi lebih modern. Kalau dulu biasanya orang mandi ke sungai – dalam pengertian bukan kali, tapi sungai tempat mandi yang dibuat khusus berdekatan dengan surau, dengan ciri khas berpancuran – sekarang air sudah bisa dialirkan ke rumah-rumah. Banyak orang yang sudah memiliki WC maupun kamar mandi di rumah masing-masing.
Sehingga mereka tidak merasa perlu lagi pergi ke sungai tempat mandi. Dengan demikian surau semakin ditinggalkan.
Semua itu tidak menghilangkan kesan bahwa orang Rao-Rao – di kampung maupun di perantauan – sangat peduli kepada agamanya. Sangat teguh membela agama dan ikut mensejahterakan orang di kampung halaman. Karena walaupun hanya pedagang kaki lima, namun untuk mengirimkan sumbangan Rp 100 – 200 ribu untuk kepentingan kehidupan beragama di kampung halaman bukanlah hal berat buat mereka.
Dengan demikian, sejumlah surau yang bahkan kekurangan jama’ah tetap dijaga eksistensinya. Bila ada yang rusak terus diperbaiki. Bahkan yang sudah tampak cantik masih terus dipercantik. (Selesai)