Lagi, Protes Itu Muncul di Padang

Wagub Sumbar Audy Joinaldy membuka Seminar Nasional Kebangsaan Umat Islam bertajuk “Merekat Kebersamaan untuk Menghadapi Tantangan Masa Depan” pada Jumat (27/1/2023). Di Pangeran Beach Hotel Padang. (FOTO: dutametro.com)

COWASJP.COMMENARIK untuk dicatat. Bahwa sebuah seminar penting diselenggarakan di Pangeran Beach Hotel, Padang, Sumatera Barat, Jum’at 27/1/2023 lalu. 

Bertajuk "Merekat Kebersamaan untuk Menghadapi Tantangan Masa Depan", seminar ini dihadiri sejumlah tokoh nasional, di samping tokoh masyarakat Sumbar sendiri. 

Di antaranya mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, Wasekjen MUI Ahmad Fahrur Rozi, Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gahazar, pakar politik dari UNJ Ubaidillah Badrun serta puluhan tokoh dan akademisi nasional lainnya.
Bahkan, menurut beberapa pemberitaan media online lokal, tidak sedikit tokoh masyarakat dari berbagai pelosok Sumbar yang berhamburan datang untuk menghadiri seminar ini. 

Bisa jadi karena begitu pentingnya tema yang diusung. 

Tentu saja kita mencatat bahwa seminar ini penting dengan momentum yang tepat seperti sekarang. Ketika negara kita tidak berada dalam keadaan baik-baik saja, sejumlah tokoh berkumpul. Untuk membicarakan banyak hal yang perlu diperbincangkan. Demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Demi menciptakan perubahan yang dibutuhkan seluruh anak bangsa dari kecentangprenangan yang kita hadapi sekarang.  

Di samping itu, yang tidak kalah menarik adalah lokasi penyelenggaraan seminar ini. Barangkali tidak banyak yang tergelitik untuk bertanya: Mengapa acara ini diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat? Bukankah Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya lebih layak untuk penyelenggaraan acara serupa?

Sebagai sebuah bentuk kepedulian terhadap nasib bangsa ini oleh masyarakat Minang, tentu patut dicatat bahwa Padang menjadi lokasi penyelenggaraan seminar. Di samping kenyataan penggagas acara ini adalah Gubernur Sumbar Buya Mahyeldi Ansharullah. 
Tapi terlepas dari itu, dapatkah penyelenggaraan acara ini merupakan satu bentuk protes kecil atas keadaan bangsa saat ini? Yang kian menurun kualitasnya ditinjau dari banyak hal. 

Jika demikian, tentu hal ini mengingatkan kita bahwa kota Padang khususnya, dan Ranah Minang umumnya, pernah tercatat dalam sejarah. Sebagai daerah yang dengan berani memprotes pemerintah pusat. Sehingga melahirkan apa yang dikenal “Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI). Yang kemudian diikuti oleh Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Indonesia Timur. 

PRRI/Permesta
 
Tercatat dalam sejarah bangsa bahwa PRRI/Permesta dinyatakan sebagai sebuah pemberontakan. Tapi menurut sejumlah tokoh yang terlibat di dalamnya – terutama dari kalangan sipil, seperti Mohammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Soemitro Djojohadikoesoemo dan lain-lain – PRRI/Permesta tidak dimaksudkan sebagai sebuah pemberontakan. Tapi hanya sebagai satu bentuk tekanan kepada pemerintah pusat. 
Meski demikian pemerintahan Soekarno langsung memerintahkan militer di bawah Jenderal Ahmad Yani untuk menggempur mereka dengan kekuatan bersenjata. Hal ini disebut-sebut atas desakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Padahal ianya tidak lebih dari sebuah protes yang diawali oleh para tokoh militer di daerah. Pertama, terkait anggapan mereka bahwa pemerintahan Soekarno tidak adil dalam pembagian keuangan pusat dan daerah. Termasuk tuntutan otonomi daerah yang lebih luas. Kedua, tentu saja, karena pemerintahan Soekarno sudah begitu dekat dan sangat dipengaruhi PKI. 

Tak dapat dipungkiri bahwa keadaan saat pecahnya PRRI/Permesta begitu mirip dengan situasi sekarang. Bahkan situasi sekarang bisa dikatakan lebih parah. Ketika umat Islam diadu domba dan dipecah belah begitu rupa. Perekonomian rakyat jelata semakin terpuruk akibat kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada oligarki ketimbang mereka yang disebut wong cilik. Hutang negara yang sudah melebihi 7 ribu triliun. 

nasmay-2.jpgPuluhan tokoh nasional hadiri Seminar Nasional Kebangsaan di Sumatera Barat, 27/1/2023. (FOTO: sumbar.sigapnews.co.id)

Begitu juga penegakan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Tindak pidana korupsi yang merajalela dari mereka yang sedang menjabat. Dan melebihi era Orde Lama, sekarang bangsa ini pun menghadapi gerudugan Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina. Yang di mata banyak orang merupakan bencana awal menuju satu bentuk penjajahan baru. 

Sementara kekuatan-kekuatan pro-PKI dibiarkan dan dilindungi. Sekarang betapa viral pemberitaan tentang keinginan pemerintahan Jokowi mengakui sedikitnya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. 
Meskipun pemerintah tidak hanya bermaksud memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang berkaitan dengan pemberontakan PKI 1965/1966 – karena termasuk juga Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I - II 1998-1999 dan sebagainya – namun kecurigaan publik masih tertuju pada wacana permintaan maaf terhadap keluarga PKI pada Peristiwa 1965/1966.

Bagaimanapun, jatuhnya begitu banyak korban pada Peristiwa 1965/1966 tidak bisa dilepaskan dari pemberontakan PKI. Yang lebih dikenal dengan Gerakan 30 September  (Gestapu) PKI 1965. Karenanya, ketika timbul wacana pemerintah akan meminta maaf kepada keluarga PKI, suara penolakan bermunculan dari kalangan publik. 
Soalnya, di mata publik, PKI-lah yang menjadi biang kerok di balik terbunuhnya begitu banyak orang. Seperti 7 jenderal terbaik Pahlawan Revolusi yang dibantai dan diceburkan secara keji ke dalam sumur sempit di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Begitu juga para kiyai dan santri yang dibantai dan diracun di sejumlah tempat. 

Merekalah pelaku pembantaian sejumlah korban dari kalangan TNI dan umat Islam. Lalu kenapa sekarang meminta maaf kepada mereka, dengan pemutarbalikan fakta bahwa mereka adalah korban?

Protes Tanpa Ultimatum

Bisa jadi ada yang beranggapan bahwa apa yang baru saja berlangsung di Padang sebagai sebuah protes para tokoh bangsa. Melihat keadaan yang begitu carut marut. Tapi tentu saja tidak bisa disamakan dengan protes dalam PRRI/Permesta. Karena dulu ada ultimatum terhadap pemerintah pusat. Dan ada pula proklamasi pemerintahan revolusioner itu. 

Meski demikian, hal itu tidak mengurangi pengertian bahwa masyarakat Minang begitu peduli terhadap keadaan. Seminar yang bertajuk "Merekat Kebersamaan untuk Menghadapi Tantangan Masa Depan" itu tentu dimaksudkan untuk bersama-sama menghadapi tantangan di masa depan. Untuk menghindarkan bangsa ini jatuh ke dalam keterpurukan yang lebih dalam.

Dan satu poin penting lainnya untuk dicatat, betapa orang Minang sangat cinta kepada NKRI. Wakil Gubernur Sumbar Audy Joinaldy dalam sambutannya saat membuka seminar menyatakan protes bila Sumatera Barat disebut sebagai provinsi intoleran. “Karena di sini tidak pernah ada masyarakat membakar gereja, tidak ada orang non muslim digebukin dan lainnya. Karena itu saya protes," tuturnya. 

Di balik sikap orang Minang yang lebih suka terbuka menunjukkan sikap politiknya, orang Minang sangat kuat komitmennya terhadap NKRI. Karena, menurut Audy, di masa lalu tiga dari empat founding fathers Republik Indonesia berasal dari Sumatra Barat. Yaitu Tan Malaka, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Lalu kalau orang Minang disebut tidak Pancasilais, orang mesti ingat, Muhammad Yamin yang juga berasal dari Ranah Minang adalah satu dari tiga perumus Pancasila. Sementara pencetus Mosi Integral – yang mengubah negara ini menjadi negara kesatuan dari sebelumnya negara serikat buatan penjajah – adalah Mohammad Natsir yang juga putera terbaik Minang. 

Dan orang Minang yang tinggal di Sumbar itu hanya 5,7 juta jiwa. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perantauan. Di seluruh kepulauan Nusantara. Karena itu, kalau ada anggapan bahwa orang Minang lebih suka memisahkan diri dari NKRI, maka itu tidak mungkin terjadi. Karena tidak sedikit putera-puteri Minang yang justru memberikan kontribusi tidak sedikit terhadap daerah-daerah yang menjadi tempat perantauannya. 

Dengan demikian, terserah kepada seluruh tumpah darah bangsa sekarang. Apakah siap membela bangsa dan negara ini, atau justru pasrah membiarkannya dikuasai asing dan aseng. (*)

Bandung, 09 Februari 2023

Pewarta : Nasmay L. Anas
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda