COWASJP.COM – DIKISAHKAN dalam sebuah riwayat. Rasulullah Muhammad Saw. sedang menunggang untanya, Alqashwa. Dalam sebuah perjalanan jauh yang melelahkan. Di belakangnya terdapat lebih kurang 10 ribu bala tentara Islam.
Tiba-tiba saja, perjalanannya bersama pasukan yang begitu banyak dihentikan oleh seorang nenek tua renta. Badannya ringkih. Pakaiannya lusuh. Melangkah terhuyung. Seolah kakinya tak kuat memanggul beban fisiknya. Meski tubuh yang ringkih itu tampak ringan seperti kapas. Tapi tanpa rasa takut sedikit pun, dia mengacungkan tongkat kayu yang dibawanya. Persis di depan moncong unta yang tiba-tiba pula berhenti mendadak itu.
Nabiyullah itu tersentak. Begitu pula sejumlah panglima perangnya yang gagah perkasa. Yang siap-siap maju ke depan untuk membela Nabi. Menghadapi segala kemungkinan terburuk.
Tapi Rasulullah mengacungkan tangannya ke atas. Memberi isyarat agar semuanya tenang.
“Apakah engkau yang bernama Muhammad, yang mengatakan dirinya Nabi Allah?” ujar nenek tua renta itu sambil menunjuk ke arah hidung Rasulullah dengan tongkat kayunya.
“Ya. Aku Muhammad. Nabiyullah. Dan siapakah engkau wahai perempuan tua? Mengapa engkau menghentikan langkahku?” Jawab Rasulullah dengan nada datar.
“Halimatusa’diyah......,” jawabnya.
Seolah disambar petir Rasulullah tersentak begitu rupa. Dalam hitungan detik dia melompat turun dari untanya. Serta merta dia memeluk badan ringkih perempuan tua itu. Seperti tidak akan dilepaskannya lagi.
“Ibuuu.... ibuuuu..... ibuuuuu,” raungnya, yang membuat tercengang seluruh anggota pasukan yang ada di belakangnya.
Kejadian ini begitu mengharu-biru. Rasulullah yang sangat mulia itu – dan telah menjadi seorang panglima perang yang sangat dihormati dan dipatuhi pasukannya – tampak seperti anak yang kehilangan ibunya begitu lama. Tapi kini menemukannya kembali.
Tentu saja, Halimatusa’diyah adalah seorang perempuan dari keluarga miskin di pinggiran kota Mekah. Dia adalah ibu susu beliau. Sebagaimana kebiasaan suku Quraisy di zaman itu, setiap anak yang baru lahir selalu dicarikan seorang perempuan lain untuk menjadi ibu susunya. Dan Halimatusa’diyah adalah perempuan yang terpilih menjadi ibu susu beliau. Dialah yang merawat beliau di masa kanak-kanaknya.
Kisah pertemuan kembali Rasulullah dengan Halimatusa’diyah, setelah puluhan tahun berpisah, begitu menarik perhatian banyak kalangan. Para penulis tersohor, ulama besar dan ahli sejarah seperti berlomba ingin menuliskan betapa mengharukan pertemuan itu.
Pertanyaannya, mengapa pertemuan ini begitu penting? Bagaimanapun, orang tidak hanya melihat kisah mengharukan itu. Sebatas sebuah pertemuan mendadak saat itu saja. Betapa pun ia sangat menyentuh hati dan perasaan. Tapi bagaimana akhlaq dan perilaku Rasulullah yang jadi suri teladan bagi seluruh umatnya.
Ketika sebagian orang dari kaum Quraisy masih belum sepenuhnya pulih dari kebiasaan lama yang buruk. Yang masih menganggap hina seorang perempuan. Apalagi terhadap seorang perempuan kampung yang miskin dan papa seperti Halimatusa’diyah.
Derajat Perempuan
Dulu, sewaktu puteri beliau Fatimah Az Zahra masih balita, Rasulullah sering kedapatan menggendong Fatimah ke tengah pasar yang ramai. Termasuk di hadapan para pemimpin Quraisy. Rasulullah bahkan tidak hanya menggendong dengan kasih sayang. Tapi juga menciumi Si Kecil Fatimah di depan mereka.
Suatu perbuatan Rasulullah yang membuat sebagian orang Quraisy merasa jijik. Karena di masa itu tidak seorang pun di antara mereka yang memperlakukan anak perempuan sebagaimana halnya Nabi. Tidak menggendong dan memperlihatkan kasih sayang di depan khalayak ramai saja sudah bagus.
Karena sesuai tradisi, mereka adalah masyarakat yang merasa malu memiliki anak perempuan. Lantaran itu tidak sedikit anak perempuan yang harus menghadapi nasib tragis dari orang tua mereka sendiri. Yang begitu lahir langsung dikubur hidup-hidup untuk menutupi rasa malu.
Tapi zaman berlalu, musim berganti. Perlahan tapi pasti, Rasulullah berhasil mengubah kebiasaan buruk itu. Islam datang membawa pesan damai, demi kebahagiaan umat Muhammad. Sampai nanti bumi ini digulung dan kiamat datang.
Rasulullah Muhammad menunjukkan akhlaq yang sangat mulia. Jangankan kepada ibu kandung. Kepada seorang ibu susu saja beliau begitu hormatnya. Karena Islam mengajarkan, betapa pentingnya memuliakan seorang ibu. Yang dalam Islam bahkan ditempatkan derajatnya tiga kali di atas ayah.
Mengapa begitu? Karena seorang ibu adalah orang yang paling menderita dalam membesarkan anak-anaknya. Di samping sebagai orang yang pertama kali tampil sebagai pendidik anak-anaknya. Dialah yang menentukan kualitas anak bangsa sesudahnya. Kualitas ibu akan sangat menentukan kualitas anak.
Bahkan Allah Swt. sendiri memberikan pengakuan dengan firman-Nya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
Dengan turunnya ayat di atas, Islam benar-benar memperlihatkan kepedulian yang begitu besar kepada ibu. Bagaimana memberikan rasa hormat yang begitu tinggi terhadap kaum perempuan yang ditaqdirkan menjadi ibu. Agar semua merasakan derita mereka. Agar semua dapat menyelami duka mereka.
Untuk itu, bahkan Islam memberikan gambaran yang jelas. Tentang para ibu yang patut dijadikan suri teladan. Dalam kisah-kisah yang di antaranya digambarkan dalam Alqur’an. Seperti kisah Siti Hajar, isteri Nabi Ibrahim AS. Masyithah, tukang sisir rambut anak fir’aun. Maryam binti Imran, ibunda Nabi Isa AS. Dan Ummul Mu’minin alias isteri Rasulullah Muhammad Saw, Siti Khadijah Al Kubra.
Ketika ditinggalkan Ibrahim di sebuah padang tandus antara Bukit Shaffa dan Marwa, Siti Hajar sabar. Karena dia tahu hal itu atas perintah Allah. Kesabaran itu dibalas Allah dengan Sumur Zamzam. Tidak hanya manfa’at untuk diri dan anaknya, tapi bahkan untuk seluruh manusia. Sampai sekarang. Bahkan barangkali sampai hari kiamat kelak.
Setiap kali menyisir rambut anak fir’aun, Masyithah selalu memulainya dengan bismillah. Pertanda tidak mengakui ketuhanan fir’aun. Ketika fir’aun marah, dia pun dilemparkan ke dalam kuali besar dengan minyak panas. Bersama bayi dalam gendongannya. Yang bisa bicara bahwa: “Sabarlah ibuku, sesungguhnya api di dunia tidak sepanas api neraka.”
Maryam binti Imran itu selalu menjaga kesuciannya. Tapi ketika melahirkan anak tanpa ayah, dia dicap pezina oleh kaumnya. Tapi Allah tunjukkan mukjizat. Nabi Isa mampu membela ibunya. Dengan pandai bicara dari dalam buaian.
Dan Siti Khadijah, wanita paling kaya di antara orang-orang kaya Mekah, merelakan seluruh hartanya demi dakwah Rasulullah. Tapi menjelang ajalnya, dia tak punya apa-apa lagi. Bahkan bajunya dipenuhi 70 tambalan. Lalu Allah mengirimkan kain kafan dari surga untuk membungkus jenazahnya.
Keempat perempuan mulia di atas telah memperlihatkan peran masing-masing. Dengan meninggalkan keteladanan yang tiada bandingannya. Kita tidak bicara lagi soal “aljannatu tahta aqdamil ummahat” – surga itu di bawah telapak kaki ibu – yang sudah terlalu sering disampaikan di berbagai tempat. Tapi kita mesti meyakini sepenuhnya bahwa seorang ibu mesti dijunjung tinggi kemuliaannya. Sambil membulatkan keyakinan bahwa “Ibuku adalah Surgaku”. (*)