HALIMAH As-Sa'diyah, Sosok Bidadari di Bumi

Ilustrasi ibu susu Nabi Muhammad SAW: Halimah As-Sa'diyah, yang mendapatkan berkah tiada henti. (FOTO: iStock - detik.com)

COWASJP.COMTERUS TERANG. Ini bukanlah sambungan dari tulisan saya terdahulu, “Ibuku adalah Surgaku”. Tapi karena ada yang bertanya, di antaranya, Akhil Kariem Dr. Hamdani Khalifah, MA – sesepuh umat Islam Nias – rasanya perlu kita mendalami kajian ini lebih jauh. 

Berkenaan dengan kisah Rasulullah baru bertemu lagi dengan Halimah As-Sa’diyah setelah ibu susunya itu sudah tua renta. “Mengapa Rasulullah luput selama ini bahwa perempuan yang pernah menyusuinya itu masih hidup? Tak ingat lagi? Kenapa Nabi tak membawanya hijrah? Apakah ia sudah memeluk Islam? Sejarah Islam tak banyak berkisah tentang peristiwa ini.” Demikian sahabat saya yang sekarang merupakan Pimpinan Dayah (Pesantren) Modern “Misbahul Ulum” Lhkoseumawe, Aceh, itu menuliskan pertanyaan beruntun. 

Hemat saya, ini adalah sebuah pertanyaan cerdas. Yang memang selayaknya diajukan oleh orang-orang yang peduli perjalanan sejarah dakwah Rasulullah. Dengan kenyataan adanya sejumlah kisah yang luput dari perhatian umat Islam. 

Tentu saja, untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas, kita perlu mempelajari kisah Halimah As-Sa’diyah binti Abu Dzuaib (Abdullah bin al-Haris) ini lebih dalam. Seorang perempuan dari keluarga miskin di pinggiran kota Mekah. Sebagian riwayat menyebutkan dia berasal dari bani Saad.  Kabilah Hawazin. Suku yang tinggal di Ta'if .

Sebagaimana kebiasaan di kalangan suku Quraisy di Mekah, mereka selalu mencarikan seseorang dari para perempuan kampung, untuk menjadi ibu susu bagi bayi mereka yang baru lahir. Dengan beberapa pertimbangan. Karena selain perempuan kampung dapat menjamin gizi yang bagus, nilai sastra dan bahasa orang perkampungan Arab juga tinggi.

Dan Halimah As-Sa’diyah termasuk di antara orang-orang yang berprofesi sebagai ibu susu. Terutama di masa paceklik saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Karena itu, tidak sedikit di antara mereka yang berkunjung ke kota Mekah. Untuk mencari anak-anak yang dapat mereka susui. Dengan mengharapkan upah atau hadiah sebagai imbalan dari pekerjaan itu. 

Tapi sesampainya di tempat tujuan, Halimah As-Sa’diyah tidak mendapatkan seorang anak pun. Sebagian rekan-rekannya seprofesi telah kembali pulang. Dengan membawa anak susuan masing-masing. 

Dan mereka tidak mau membawa Muhammad bin Abdullah. Karena Muhammad hanyalah seorang anak yatim. Ibunya pun bukanlah seorang perempuan kaya. Sehingga Halimah As-Sa’diyahlah yang kemudian mau menerima menjadi ibu susunya. 

Halimah datang bersama suaminya,  al-Harits bin ‘Abdu al-‘Uzza dan bayi kandungnya sendiri, Syeima binti Haris. Mereka mengendarai keledai yang kurus dan membawa unta yang tak kalah kurus. Sama seperti Halimah yang juga kurus dan tak punya banyak air susu. 

Sehingga bayi mereka menangis tiada henti sepanjang perjalanan menuju kota Mekah. Karena lapar. 

Bidadari di Bumi

Dan hal itu pulalah diperkirakan yang menyebabkan sebagian orang kaya Quraisy tidak mau memilih Halimah sebagai ibu susu anak-anak mereka. Padahal sebagian penulis menyebutkan: Halimah as-Sa’diyah adalah salah satu wujud nyata ‘bidadari’ yang ada di bumi.

Kenapa? Bukankah dia seorang perempuan kampung yang kurus kering dan tampak seperti tidak bergizi, tapi keikhlasan dan ketulusan hatinya telah menjadikannya sebagai wanita pilihan untuk jadi ibu susu Nabi. Yang langsung Allah balas dengan sejumlah keajaiban yang benar-benar menakjubkan. 

Di antaranya, keledainya yang waktu berangkat sangat lemah dan berjalan lambat. Sehingga mengganggu kecepatan perjalanan rombongan. Karena terpaksa sering-sering menunggu mereka yang selalu ketinggalan. 

Tapi setelah membawa bayi Muhammad, keledai itu tampak penuh tenaga. Melangkah lebih cepat. Mendahului langkah rombongan yang sudah berangkat lebih dahulu. 

Begitu juga unta mereka. Yang kemudian jadi gemuk dan memiliki air susu yang melimpah. Sehingga mereka tidak lagi kelaparan seperti dulu. Berkat meminum air susu unta yang banyak. Dan kambing-kambing peliharaan mereka pun begitu pula. Yang juga berubah gemuk-gemuk. 

Kehidupan yang berkah dan ekonomi yang terus membaik juga dirasakan oleh kaumnya di kalangan Bani Sa’ad. 

Tapi setelah peristiwa pembedahan dada Nabi oleh dua malaikat, Halimah kuatir akan terjadi apa-apa pada anak susuannya itu. Sehingga dia mengembalikannya kepada ibu kandungnya, Siti Aminah. Saat Nabi berusia sekitar 4 tahunan.

Setelah itu, Halimah dan Muhammad kecil tidak pernah bertemu lagi. Mungkinkah karena kehidupan Halimah dan keluarganya sudah mulai membaik, setelah mengasuh Muhammad? Sehingga dia tidak pernah lagi ke Mekah, untuk mencari anak yang akan disusuinya. 

Tapi bisa jadi juga karena di zaman itu tidak mudah mendapatkan informasi seperti sekarang. Halimah baru mendapatkan kabar ketika Rasulullah menyatakan dirinya sebagai Nabi. Saat usia beliau 40 tahun. 

Bagaimanapun 40 tahun bukanlah waktu yang singkat. Meski demikian, sebagian riwayat menyebutkan, Nabi Muhammad masih mengenal ibu susunya itu. Sehingga waktu bertemu, dia menghamparkan jubahnya untuk menyambut orang yang sangat dia muliakan itu. 

Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya “60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam: Teks dan Interpretasi”, mengulas hal ini cukup jeli. Menurut dia, menggelarkan surban untuk duduk diatasnya bagi seorang tamu, menunjukkan sebuah penghormatan yang sangat tinggi. Apalagi terhadap seorang tamu perempuan. Dan Rasulullah Muhammad Saw. memulai kembali tradisi  yang sudah banyak dilupakan. Akibat maraknya perilaku zalim kepada perempuan di masa Jahiliyah. 

Tapi pertanyaannya: Mungkinkah Muhammad yang berusia 4 tahun masih mengenal sosok Halimah, setelah hampir 40 tahun tidak berjumpa?  Mungkinkah seorang anak usia 4 tahun masih ingat orang yang mengasuhnya setelah hampir 40 tahun? Hal ini kurang masuk akal. Sebagian orang menyebut hal itu tidak logis. 

Yang lebih logis adalah bahwa Muhammad sudah lupa. Tidak mengenal lagi sosoknya. Walaupun bukan tidak mungkin ada yang bercerita kepadanya. Di samping itu, sejak muda dia sudah sibuk memperdagangkan barang-barang yang dititipkan kepadanya. Termasuk perniagaan Siti Khadijah, yang kemudian menjadi isterinya.  

Dan sejak diangkat menjadi Rasul di usia 40 tahun, Muhammad yang digelari kaumnya “Al Amin” (yang terpercaya),  juga mulai sibuk menjalankan misi dakwahnya yang tidak mudah. Menghadapi penentangan, pemboikotan dan tekanan yang tidak ringan dari para pemimpin Jahiliyah Quraisy. Selama tidak kurang dari 11 tahun menyebarkan dakwahnya di Mekah. 

Dapat dibayangkan, bagaimana mungkin Nabi dapat berfikir tentang hal-hal yang begitu pribadi terkait dirinya. Begitu juga Halimah yang mendapatkan begitu banyak kesulitan untuk bisa bertemu dengan anak susuannya itu. Karenanya masuk akal kalau mereka baru bertemu setelah peristiwa Fathu Makkah. Sebelas tahun setelah kenabian. Malahan Halimah masuk Islam melalui orang lain. Bukan melalui Rasulullah Muhammad Saw. sendiri. 

Bisa dibayangkan pula, berapa sudah usia Halimah. Ketika usia Rasulullah Muhammad Saw. sendiri waktu itu pun sudah 51 tahun. Apalagi kalau pertemuannya beberapa tahun setelah itu. Wajar saja beliau tidak lagi mengenal sosok ibu susunya itu. 

Meski demikian, bukan tak pernah beliau mendengar kisahnya. Bukan tak mungkin beliau sangat merindukan sosok Halimah. Karenanya, begitu menyadari yang ada di hadapannya adalah Halimah, tentu saja membuatnya sontak kaget luar biasa. Sehingga dia meraung-raung, “Ummiii...Ummiiii...Umiiii! (ibukuu...ibukuuu...ibukuuu).” Sambil memeluk erat-erat tubuh wanita yang dulu sangat menyayanginya itu. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda