COWASJP.COM – MOHON MAAF. Sungguh sangat menyakitkan bagi rakyat kecil, ketika biaya haji diusulkan Menag Yaqut Cholil Qoumas naik hampir dua kali lipat. Kemudian, walaupun usulan itu diturunkan dari 69.193.733 menjadi 49,8 juta, tetap saja itu tidak adil bagi rakyat kecil.
Bayangkan mereka yang sudah menabung bertahun-tahun. Agar dapat melaksanakan Rukun Islam kelima. Dengan banting tulang, peras keringat, mengumpulkan hasil jerih payah serupiah demi serupiah. Menjual sawah ladang, binatang ternak, bahkan berbagai harta warisan. Tapi dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka, tiba-tiba saja asa yang mereka pupuk sekian lama hilang musnah dalam sekejap.
Jumlah mereka ini sangat banyak. Harus diakui, ada puluhan ribu calon haji yang berasal dari kalangan ekonomi menengah bawah. Jumlahnya tentu lebih besar dari mereka yang berkemampuan cukup. Persoalan mereka jauh lebih rumit dibanding mereka yang kaya. Walaupun sejumlah permasalahan haji di negeri ini begitu memberatkan.
Pertama, biaya yang sangat mahal. Hitungan dan jumlah angka yang barangkali aneh buat mereka yang ada di negara tetangga.
Kedua, antrian yang sangat panjang. Yang mungkin baru bisa terpenuhi dalam tempo di atas 10 tahun. Sebagai akibat dari begitu besarnya minat umat Islam di negeri ini untuk melaksanakan ibadah haji. Sangat tidak sebanding dengan kuota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Bagi yang berusia lanjut, harapan itu bisa jadi hanya akan jadi kenangan. Karena tidak mungkin bisa berangkat haji sebagai akibat dari antrian yang begitu panjang dan sisa umur yang mungkin tidak lagi mencukupi. Walaupun sudah menyetorkan tabungan bertahun-tahun. Bisa jadi begitu antrian itu sampai, mereka sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Ketiga, tidak adanya kepedulian dari pemerintah maupun wakil rakyat di Senayan, berkenaan dengan para calon haji dari kelompok kurang mampu ini.
Sekali lagi, tentu sangat menyakitkan munculnya usulan kenaikan itu. Bagaimana nasib mereka yang sudah antri bertahun-tahun agar dapat menunaikan ibadah haji? Khususnya mereka yang antriannya sudah hampir sampai.
Tapi karena biaya haji naik begitu besar. Sehingga mereka tidak mampu menutup kekurangannya. Walaupun Kemenag menyatakan memberikan kelonggaran waktu untuk melunasinya sampai satu bulan. Kenyataan di lapangan, jangankan satu bulan. Satu dua tahun pun mereka mungkin tidak akan sanggup.
GRAFIS: liputan6.com
Kemenag seolah tidak faham bahwa persoalannya bagi mereka yang kurang mampu ini bukan perpanjangan waktu pelunasan. Tapi ketiadaan dana untuk melunasinya. Dengan demikian, artinya mereka mengundurkan diri alias batal berangkat.
Lalu dengan mudahnya pemerintah mengatakan, posisi mereka akan digantikan dengan yang lain. Apakah itu yang namanya keadilan? Seperti dinyatakan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag, Hilman Latief.
"Kalau ada yang mundur, maka ada yang naik penggantinya," begitu kata Hilman di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Januari 2023.
Itu pernyataan yang menggampangkan. Enak sekali. Tidak punya perasaan. Satu bentuk keberpihakan hanya kepada yang berpunya. Tapi tidak peduli kepada yang kurang mampu. Termasuk mereka yang sudah antri bertahun-tahun. Semua ini secara terang benderang semakin menegaskan ketidakpedulian terhadap pelebaran jurang kaya miskin di kalangan umat.
Menolak Kenaikan BPIH
Belum lama ini, sebuah berita yang dilansir Gontornews.com muncul di WA Grup kami, Tovasa 78 (Thalabah Fashlis Sadis 78/Siswa Kelas Enam 78) Gontor. Tentu saja bagi kami ini berita menarik. Yang memuat komentar Wakil Ketua MPR RI dan Anggota DPR RI Komisi VIII dari FPKS, Dr. Hidayat Nur Wahid, Lc., MA (HNW), berkenaan dengan kenaikan biaya haji (BPIH) tahun 2023 itu.
HNW menyayangkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023 memang turun dari yang semula diusulkan oleh Kemenag. Yaitu Rp69,9 juta. Tapi, menurut dia, turunnya masih berada di angka Rp49,8 juta atau nyaris di angka psikologis Rp 50 juta.
Angka di atas diperuntukkan bagi tiga komponen BPIH. Yaitu penerbangan Rp32,743,992. Living cost Rp 3,030,000. Dan layanan Masyair sebesar Rp14,038,708. Meski demikian, HNW melihat bahwa itu masih tidak efisien dan mestinya bisa diturunkan lagi.
“Dan karena itulah, katanya, FPKS DPR RI masih menolak ketentuan harga dari Kemenag yang Rp49,8 juta tersebut,” ungkap salah satu Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, itu.
Bagi sebagian besar umat Islam, penolakan kenaikan BPIH 2023 oleh FPKS DPR RI tentu sangat diapresiasi. Di tengah situasi dan kondisi ekonomi umat yang sangat tidak baik. Setelah didera pandemi Covid 19 selama hampir tiga tahun. Mestinya jika tidak diturunkan, janganlah ada kenaikan.
Sejauh ini di parlemen, kesannya kepentingan umat Islam yang begitu vital itu hanya disuarakan FPKS. Karena bagaimanapun umat mengharapkan jangan ada dulu kenaikan biaya, selama pemerintah belum dapat memberikan layanan yang lebih baik.
Untungnya masih ada pihak lain yang tersentuh hatinya untuk ikut menolak kenaikan itu. Ketua Fraksi PAN Dr. Saleh Partaonan Daulay, misalnya. Dia menilai kenaikan ini akan memberatkan jemaah, mengingat besaran kenaikan mencapai hampir Rp 30 juta rupiah.
“Usulan kenaikan itu terlalu tinggi. Pasti memberatkan. Dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia (221.000 orang. Pen), BPIH Indonesia mestinya tidak perlu naik. Kemenag harus menghitung lagi secara rinci structure cost BPIH. Penghematan bisa dilakukan di setiap rincian structure cost tersebut,” kata Saleh. Dengan penolakan dari kedua anggota dewan itu, terobat jugalah kegelisahan umat Islam berkenaan dengan kenaikan BPIH 2023 itu. Semua tentu berharap agar pemerintah tidak mengambil kebijakan sesuka hatinya.
Menaikkan BPIH hampir dua kali lipat, ketika pemerintah Arab Saudi justru memangkas biaya dimaksud sampai 30%. Sebagaimana dilansir Bisnis.com, 22 Januari 2023 lalu.
Jangan sampai setiap kebijakan itu selalu dipandang sebagai langkah yang memberatkan umat. Jangan biarkan setiap kebijakan yang memberatkan umat itu menjadi bola liar. Sehingga tertanam di dalam pikiran anak bangsa bahwa setiap persoalan yang dihadapi pemerintah akan selalu dibebankan kepada mereka.
Ketika ada yang menyinggung Dana Abadi Umat (DAU), di situ ada nilai manfaat yang mestinya dapat dinikmati umat. Termasuk jema’ah haji. Pemerintah menegaskan bahwa itu tidak sama dengan dana haji yang disetorkan jema’ah. Lalu dengan berbagai alasan, nilai manfaat itu akan dipotong begitu saja.
Tentu saja, umat berpikir bahwa nilai manfaat yang sudah diperuntukkan itu dapat diberikan sebagaimana mestinya. Jangan biarkan orang berpikir bahwa setiap subsidi itu harus dipotong. Setiap kenaikan biaya harus dibebankan kepada rakyat banyak. Termasuk kepada mereka yang tidak mampu.
Bagaimanapun, penyelenggaraan ibadah haji memang disyaratkan “bagi mereka yang mampu”. Tapi syarat itu tidak menyurutkan minat dan harapan umat Islam untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima itu. Sehingga mereka berusaha menabung sedikit demi sedikit, untuk mencapai tingkat “istitha’ah” (mampu) itu. Walaupun hanya sekali seumur hidup.
Karena itu, kenapa pemerintah tidak berpikir bagaimana memberikan layanan terbaik? Kenapa tidak memberikan bantuan secara maksimal? Kenapa segala kenaikan biaya tidak difikirkan dengan matang, sehingga tidak perlu membebani para calon jema’ah haji? (*)