COWASJP.COM – KARENA begitu banyak kasus yang menggemparkan belakangan ini, banyak orang semakin yakin rejim Jokowi kian membusuk dari dalam. Bila hal ini terjadi di sebuah negara maju, yang demokrasinya berjalan dengan benar, seperti di Jepang misalnya, tentu pemerintahan sudah jatuh.
Untungnya, sampai detik ini, masih belum ada kekuatan yang dapat menumbangkan tampuk kekuasaan pemerintah. Jokowi masih bisa berleha-leha di dalam istana. Bersembunyi atau masa bodoh terhadap keriuhan berbagai persoalan yang ramai diperbincangkan atau bahkan diperdebatkan di ruang publik.
Mumpung MPR/DPR/DPD masih melempem. Institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK masih bertekuk lutut di bawah ketiak rejim. Mahkamah Agung (MA) bahkan Mahkamah Konstitutsi (MK) terkesan tidak bergigi. Sehingga begitu mudahnya bisa “dilangkahi”. Sementara itu, masyarakat sipil atau civil society masih terlelap tidur. Belum ada satu pun pemicu yang dapat membangunkan dari kelelapan tidurnya.
Meski demikian, kian hari kian tampak tanda-tanda bahwa presiden dan segelintir elit di lingkaran kekuasaannya pun semakin pasrah. Upaya untuk mewacanakan tiga periode, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan tampak sudah mentok. Segala upaya yang dilakukan seperti sudah menerjang tembok tebal. Semakin tipis kemungkinan Jokowi untuk terus berkuasa sehabis pemilu 2024. Surva-survey berbayaran mahal pun kian redup. Bahkan para buzerRp yang dulu galak sekarang lebih banyak memilih diam.
Sekali lagi, pembusukan itu memang sudah berlangsung dari dalam. Kasus penganiayaan berlatar belakang asmara remaja belasan tahun oleh Mario Dandi terhadap David Ozora berbuntut panjang. Kelakuan putera pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT) itu malah menyasar ke kelakuan bejat bapaknya. Sehingga RAT kini bahkan telah ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi.
Kemudian, kasus RAT melebar dan meluas seakan tak terbayangkan sebelumnya. Menjalar ke kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Rp 349 triliun di jajaran kementerian keuangan. Khususnya di lingkaran Dirjen Pajak dan Bea Cukai. Yang terbongkar melalui Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD.
Skandal Besar
Bagaimanapun, hal ini adalah sebuah skandal besar. Publik menyorotnya dengan tajam. Seberapa kuat pun Menkeu Sri Mulyani Indrawati defensif, membela diri, mengungkapkan data yang berbeda dengan data Mahfud MD, namun publik kadung tidak percaya. Ketika beberapa anggota DPR RI pun cenderung membela dan menyalahkan Mahfud MD, karena membocorkan sebuah isu yang dianggap tak sepatutnya diungkapkan ke ranah publik. Namun masyarakat justru semakin yakin bahwa mantan Ketua MK itu berada di jalur yang benar. Dan mereka mendukungnya.
Persoalan ini tidak ubahnya seperti ledakan gunung es, yang memperparah permasalahan yang ada. Setelah sebelumnya, publik geger oleh kasus pembunuhan Brigadir Josua Hutabarat oleh mantan Kadivpropam Polri Ferdy Sambo. Yang setelah melalui proses persidangan yang rumit dan panjang, akhirnya Sambo divonis mati.
Lalu ada pula kasus narkoba mantan Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa. Yang tidak kalah mencoreng nama institusi Polri. Dan tentunya juga mencoreng muka rejim Jokowi. Karena dengan sejumlah kasus di atas, rejim semakin kelihatan tidak mampu mengendalikan para pembantunya. Yang seakan tidak peduli kehormatan Jokowi sebagai presiden. Karena bertindak seenak udelnya demi kepentingan jangka pendek sendiri-sendiri. Secara ugal-ugalan.
Tidak dapat dinafikan bahwa borok itu meruyak semakin dalam. Rejim seakan tidak berkutik menghadapi begitu banyak masalah. Mulai dari korupsi di jajaran pemerintahan yang sudah di luar batas. Pejabat yang lebih sibuk main politik ketimbang mengurus pekerjaan pokoknya, untuk menyongsong pesta demokrasi 2024.
Begitu juga investasi dan grudugan TKA Cina yang terus disorot publik. Sejumlah infrastruktur yang mangkrak atau dijual murah. Last but not least, ambisi pemerintahan yang kebablasan dalam hal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Ketika situasi ekonomi tidak mendukung. Terutama karena pemerintah tidak punya uang. Sehingga utang terpaksa terus ditambah dan beban untuk membayarnya pun semakin berat.
Sejauh ini, rakyat masih tampak diam. Terjerat dalam kedongkolan yang terus dipendam.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri, mereka kecewa. Karena puluhan janji manis presiden yang tidak ditepati, antara lain. Pengesahan Perppu No 2 tahun 2022 tentang Ciptakerja menjadi undang-undang oleh DPR, Selasa, 21 Maret 2023. Yang sangat dipaksakan dan menuai protes keras dari kalangan buruh dan mahasiswa.
Begitu juga beberapa kasus yang mendapat perhatian publik. Seperti kematian misterius ratusan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2019. Kasus KM 50 yang menewaskan enam anggota pengawal mantan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Dan tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. Yang ternyata menjadi alasan di balik penolakan FIFA menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah pertandingan piala dunia U-20.
Semuanya semakin mengecewakan publik. Membuat mereka membandingkannya dengan apa yang terjadi di Malaysia. Ketika badan anti-korupsi negeri itu menangkap mantan Perdana Menteri (PM) Muhyiddin Yassin, Kamis, (9/3/2023). Yang dituding melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan tindak pidana pencucian uang.
Sebelumnya, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa kabur ke Maldive, menyusul kerusuhan politik. Setelah pemerintahnya gagal membayar utang luar negeri sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 764 triliun.
Tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi di masa depan. Meskipun pembusukan dalam pemerintahan terus berlanjut. Dan kekecewaan rakyat kian meningkat. (*)
Bandung, 1 April 2023.-