COWASJP.COM – Tulisan Dahlan Iskan, ziarah ke makam ibunya, judul: Safari Ramadhan, Rabu 5 April 2023, mengingatkan saya akan peristiwa 16 tahun silam. Waktu itu, Abah Dahlan -- begitu saya biasa memanggil beliau -- ingin ke makam ibunya, minta dicarikan helikopter.
Kala itu Abah sedang dirawat di sebuah RS Tianjin, Tiongkok. Operasi transplantasi hatinya di Tianjin First Center Hospitan, China pada 6 Agustus 2007. Operasi itu dilakukan untuk mengganti organ hatinya yang sudah terkena sirosis dan kanker hati.
Nah, sebelum pelaksanaan transplantasi hati (sebelum Agustus 2007), Abah pulang. Ingin ziarah ke makam ibundanya di Magetan, Jawa Timur.
Saat pulang dari Tianjin ke Indonesia saat itu di tangannya sebuah jarum suntik masih menancap. Lalu dilakban agar tak kelihatan. Dan aman.
Lantas tubuhnya dibungkus dengan jaket. Agar tak kelihatan jarum di tangannya itu.
Di Tiongkok, pasien rawat inap boleh ke apartemen sambil membawa cairan infus. Pun pulang kampung halaman, juga boleh.
Itulah yang dilakukan Abah. Beliau pulang ke Surabaya. Dalam kondisi siap operasi ganti hati.
Jarum di tangannya tak pernah dilepas. Tetap seperti saat berada di rumah sakit.
Saat pulang itulah saya mendapat telepon. Untuk menjemput beliau di Bandara Juanda.
Baru melintas dari pintu keluar bandara, beliau bilang. “Din, saya sudah belasan tahun tak pernah ke makam ibu,” tuturnya.
“Tapi, saya tidak boleh naik mobil jauh-jauh,” tambahnya.
Beliau memandang ke arah helikopter yang parkir di bandara Juanda. “Gimana cara untuk pinjam heli,” lanjutnya.
Abah tahu kalau saya dekat dengan TNI Angkatan Laut. Dan biasa pinjam heli untuk droping logistik ke daerah bencana. Seperti saat banjir yang tenggelamkan PP Langitan. Banjir bandang di Bondowoso dan lainnya.
Mendengar permintaan Abah, saya pun mulai putar otak. “Ini perintah mulia,” batinku.
Bila terjadi sesuatu saat operasi ganti hatinya, maka jadi hutang yang tak akan bisa saya lupakan. Bila permintaannya itu tidak saya kabulkan.
Tapi pinjam heli juga sulit. Tidak semudah cari mobil. Tapi harus saya dapat. Apa pun caranya.
Usai menurunkan Abah di Sakura Regency, kediamannya, saya pun mulai putar otak.
Danpuspenerbal adalah orang pertama yang saya telepon. Untuk pinjam helikopter. Namun, hari itu Panglima TNI sedang berada di Surabaya. Danpus pun tidak berani. Bahkan minta maaf.
Lantas saya ingat temanku. Pilot heli PT Sampoerna. Kapten Gansar, namanya. Sebelum gabung di Sampoerna, dia penerbang heli TNI AL. Dengan pangkat terakhir kapten.
Di lingkungan pilot TNI AL, dia dikenal penerbang koboy. Saya sering dibuat mabuk udara bersamanya. Karena sangat akrab,
Kapten Gansar pun saya telepon. “Capten boleh nggak saya sewa helinya,” tanya saya.
Spontan Gansar menjawab. “Kalau heli Sampoerna tidak boleh disewakan,” ucapnya.
“Tapi ada caranya kalau Pak Nas butuh sekali. Bahkan Pak Nas bisa gratis,” sambungnya seraya tertawa.
Saya pun dijelaskan prosedurnya. Yaitu harus melalui direksi Sampoerna di Jakarta.
Saya tak kehabisan cara. Wartawan Jawa Pos di Jakarta yang biasa meliput ekonomi dan sering menulis Sampoerna, saya kontak. Agar bisa dapat, saya sampaikan kepadanya seolah ini perintah Abah. Carikan heli!
Karena yang membutuhkan adalah Abah, dalam kondisi sakit, dia pun tak berani menolak.
Berbagai upaya dia lakukan. Sampai dapat.
Jam 23 malam telepon saya berbunyi. Kapten Gansar telepon dan menyatakan heran. Sebab saya bisa menerobos direksinya. Orang asing pula.
Petunjuk dari dia: “Pak Nas, helikopter besok jam 08.00 siap di Sampoerna Rungkut. Di lantai atas kantor,” ucapnya.
Dalam hati saya mengucapkan: Alhamdulillah. Permintaan Abah bisa saya laksanakan dengan baik. Saya tidak bilang kepada Kapten Gansar kalau itu atas bantuan wartawan di Jakarta. Sampai sekarang tidak saya ceritakan.
Saya pun lapor kepada Abah kalau besok pagi jam 8 harus sudah siap di Sampoerna.
Pagi-pagi, Abah dan Ibu sudah siap di Perusahaan rokok terbesar di Rungkut, Surabaya, itu. Disambut oleh direksi Sampoerna di Surabaya. Mereka ikut terbang bersama Abah ke Madiun. Agar terkesan heli itu digunakan direksi PT Sampoerna untuk kunjungan ke gudang Madiun.
Tepat pukul 08.00, Abah dan Ibu Dahlan terbang ke Madiun. Mendarat di gudang Sampoerna di sana. Turun dari heli. Abah telepon. “Lho ... Din. Anda di mana ?” tanyanya.
“Di Surabaya,” jawab saya.
“Saya pikir anda ikut,” ucapnya.
Saya tidak ikut karena Gansar minta untuk melaporkan cuaca di Surabaya saat dia pulang. Itu pula yang saya lakukan.
Hari itulah kali pertama Abah ziarah ke makam ibunya. Setelah belasan tahun sibuk dengan koran. Hingga lupa pulang kampung halaman. (*).
Penulis: Nasaruddin Ismail, mantan wartawan Jawa Pos.