COWASJP.COM – Suatu hari. Saya dari Ruteng -- sebuah kota yang dingin dan subur di Nusa Tenggara Timur -- bermaksud pulang ke Surabaya. Lewat bandara Labuan Bajo.
Setiba di bandara, pintu pesawat sudah tutup. Mesinnya sudah hidup. Yang ditandai dengan baling-balingnya berputar.
Sambil berlari menuju ke pesawat saya lambaikan tangan. Crew pesawat nampak membukakan pintu dan menurunkan tangga.
Saya pun segera meloncat. Belum sempat duduk pesawat pun mulai melaju.
“Alhamdulillah,” kata saya, sembari mengelus dada.
Kemudahan seperti itu hanyalah dulu. Sekarang tak akan dijumpai lagi.
Landasannya juga sudah panjang dan lebar. Sehingga bisa didarati Boeing. Pesawat kepresidenan juga mendarat di sana.
Dulu. Di ujung landasan terdapat sebuah bukit. Yang membuat landasan pendek. Sehingga hanya bisa didarati pesawat berbaling-baling. Yang penumpangnya hanya sekitar 30 orang.
Bukit itu sekarang sudah tiada lagi. Sudah diratakan. Tapi begitu lepas landas di depan terlihat pemandangan laut yang indah. Laut yang jernih. Yang dihiasi sejumlah pulau-pulau kecil yang gersang.
Sekarang Labuan Bajo yang lazim disebut Manggarai Barat, sudah dipercantik. Bagaikan gadis belasan tahun.
Gedungnya yang indah. Dengan latar belakang laut. Bahkan di situlah dijadikan tempat berlangsungnya KTT.
Sebuah kemajuan yang tak pernah terpikir dalam benak masyarakat di sana sebelumnya.
Tiga tank milik TNI AD nampak disiagakan di MTsN 2 Manggarai Barata. Yang tak begitu jauh dengan lokasi KTT. Labuan Bajo sebenarnya punya banyak kisah. Sebagai orang Bima, yang tak jauh dengan Labuan Bajo, saya juga punya cerita tentang daerah yang terkenal dengan Komodonya tersebut.
Ada nama lain Labuan Bajo. Yaitu Manggarai.
Manggarai Barat, ibukotanya Labuan Bajo.
Dulu di zaman penĵajahan Belanda, Manggarai ini tempat pembuangan penjahat.
Pencuri kelas kakap dari Bima tidak dimasukkan penjara, tapi dibuang di sana.
Bahkan kata Manggarai itu dalam bahasa Bima dimaknai sebagai cemoohan. Misalnya saya nakal, maka orang Bima menyebut. Manggarai kamu.
Kalau di Surabaya, mirip sebutan jancukan.
Kata-kata itu masih terasa seperti itu sampai sekarang.
Sekarang, hampir separoh penduduk Laboan Bajo berasal dari Bima. Sehingga bahasa sehari-harinya pun bahasa Bima. "Nggahi Mbojo."
Kalau saya datang ke sana tidak canggung dengan bahasa lokal. Karena mereka menggunakan bahasa tanah kelahiran saya (Bima). Sedikit warga yang bicara bahasa Manggarai.
Dulu, ketika saya dengan Yos, wartawan Surya ke sana, justeru dia yang asal daerah sana sulit berkomunikasi dengan warga kepulauan. Karena umumnya warga sana menggunakan bahasa Bima sebagai bahasa pengantar.(*)