COWASJP.COM – Pasca Kesepakatan Paris (Paris Agreement) negara-negara di dunia kemudian mencari alternatif selain energi yang berasal dari fosil (fossil fuels). Banyak alternatif yang diajukan. Khususnya untuk mengganti listrik yang bersumber dari batubara yang dianggap sangat berpengaruh terhadap meningkatnya karbondioksida (CO2) di dunia.
***
JIKA Kesepakatan Paris untuk mencegah pemanasan global ini gagal maka dunia akan mengalami gelombang panas yang akan mengakitakan banjir, kekeringan dan kelaparan juga kepunahan massal. Kegagalan Kesepakatan Paris bagi banyak orang khususnya di negara-negara maju akan mengakibatkan kiamat bagi umat manusia dan karenanya semua negara diharuskan untuk mengurangi emisi yang dihasilkan dari negaranya masing-masing.
Salah satu sektor yang dianggap sebagai penghasil emisi CO2 adalah sektor transportasi. Keberadaan mobil dari pembakaran internal (internal combustion engine) karenanya perlu diganti dengan mobil yang dianggap tidak menghasilkan emisi yakni mobil listrik (electric vehicle). Transformasi teknologi telah membawa mobil listrik ke arah yang lebih tangguh dengan memiliki kepadatan energi (power density) yang lebih besar. Sehingga bisa berjalan lebih jauh dan dan dengan teknologi yang ada mudah untuk dilakukan pengisian ulang dengan baterai isi ulang (rechargeable batteries).
Sekarang, baterai isi ulang yang berbasis lithium-ion ini menjadi primadona. Dia ada dimana-mana, di laptop, di telepon genggam dan yang paling banyak mememerlukannya adalah mobil listrik. Elemen penting dalam baterai lithium ini adalah kobalt (cobalt). Kongo (Democratic Republic of Congo) –sebuah negara di Afrika Tengah- adalah negara yang memiliki cadangan kobalt terbesar di dunia. Dari Kongo-lah pasokan 70 persen pasokan kobalt pada baterai litium di dunia saat ini berasal.
Siddarth Kara seorang pengajar, peneliti cum aktivis dari Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Amerika Serikat memberikan perspekti lain mengenai keberadaan industri pertambangan kobalt di Kongo. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya mengenai tambang kobalt di Kongo sejak tahun 2018 dan beberapa kali ke lapangan untuk melihat tambang tradisional (artisanal mining/ASM) di beberapa lokasi di Kongo, Afrika, Siddarth Kara menjelaskan bahwa ada kenyataan tersembunyi dari rantai pasok perusahaan multinasional dalam industri baterai yang merusak akuntabilitasnya. Pasokan yang belapis (multi layered) membuat orang melihat seolah pasokan kobalt dunia baik-baik saja.
Dalam buku yang berjudul “Cobalt Red: How the Blood of Congo Power Our Lives”, Siddarth Kara menjelaskan realitas yang sesungguhnya terjadi di tambang kobalt tradisional (ASM) yang ada di Kongo. Para baron teknologi biasanya menceritakan bahwa mereka menjunjung norma hak asasi manusia (HAM) dan bahwa rantai pasok mereka, kobalt yang terdapat dalam baterai yang beredar di pasaran bersih dari beragam pelanggaran.
Kenyataan yang ditemukan di lapangan sangat jauh panggang dari api. Apa yang terjadi di Kongo adalah proses “metabolic rift”, meminjam ungkapan dari Marx.
Kobalt di Kongo didapatkan dari Sabuk Tembaga Afrika Tengah (Central African Copper Belt) sepanjang 400 kilometer dan memiliki cadangan tembaga 10 persen cadangan dunia. Dan untuk kobalt, Kongo memiliki setengah cadangan dunia (reserves). Pada tahun 2021 Kongo menyumbang 117.500 ton kobalt atau 70 persen pasokan dunia, dan jumlah ini akan terus meningkat seiring meningkatnya kebutuhan kobalt dunia.
Rantai pasok (supply chain) kobalt dunia berasal dari sebuah ekosistem informal dimana penambang tradisional (ASM) menjual kobalt mereka kepada negociants (pedagang) dan dari pedagang ke komptoir (depot) atau maison d’achat.
Menurut Kara, pola hubungan ini adalah hubungan yang kabur, dalam konteks rantai pasok formal dikarenakan negociants adalah operator independen yang bekerja di dalam dan sekitar lokasi tambang (ASM) untuk membeli kobalt dari penambang tradisional. Mereka hampir semuanya laki-laki muda Kongo, dan mereka dibayar harga tetap per-karung atau menawarkannya ke depot dan mengangkutnya dengan sepeda motor atau truk pickup.
Rantai suplai dari penambang hingga akhirnya menjadi baterai memiliki rantai pasok yang panjang dan melingkupi beberapa negara, dan ini membuat pengguna akhir menampik bahwa kobalt yang didapat adalah dari proses yang tidak bertanggung jawab. Meski pengguna akhir melihat betapa kacaunya penambangan mereka dengan teguh memegang prinsip “See No Evil, Speak No Evil”.
Di beberapa area ASM yang lebih besar, terdapat depot yang terletak di lokasi, dalam hal ini penambang tradisonal dapat menjual langsung kepada mereka. Undang-undang Kongo menetapkan bahwa depot mineral harus didaftarkan dan dioperasikan hanya oleh warga negara Kongo, namun hampir semua depot di Provinsi Haut-Katanga dan Lualaba dioperasikan oleh pembeli yang berasal dari Cina. Ratusan pedagang dari Cina dan juga perusahaan-perusahaan tambang dari Cina menguasai peta perdagangan kobalt di Congo.
Perusahaan Cina masuk ketika Joseph Kabila menjabat presiden Kongo dan dia membuat perusahaan untuk menampung keuntungan pribadi dari kerjasamanya dengan Cina. Investigasi dari Bloomberg dari rentang waktu 2010 hingga 2020, Joseph Kabila berhasil mengumpulkan keuntungan pribadi untuk satu jenis kesepakatan sebesar US$ 302 juta.
Di pertambangan tradisional ini semua konstruksi mengenai penambangan yang baik (good mining practices) tidak berlaku. Konsep-konsep seperti keberlanjutan (sustainability), social license to operate (ijin sosial untuk beroperasi), environmental social and governance (ESG) atau juga tanggung jawab perusahaan (corporate responsibility) juga tidak berlaku.
Ribuan penambang tradisional termasuk pekerja anak itu hanya menggunakan alat sederhana dan bekerja dalam kondisi berbahaya untuk mengekstraksi kobalt. Karena penambangan hampir seluruhnya bersifat informal, para penambang jarang memiliki perjanjian formal untuk upah dan kondisi kerja.
Penambang hampir selalu dibayar dengan upah kecil berdasarkan upah borongan dan harus menanggung semua risiko cedera, sakit, atau kematian. Upah yang didapat rata-rata adalah US$ 1,05 dollar per-hari, sedangkan upah terbesar dari penelitian ini sebesar US$ 5 dollar, dan itu hanya ada di satu dua lokasi karena prosentase kobalt yang tinggi.
Para penambang harus menggali tanah dan membuat terowongan untuk mendapatkan kobalt dengan hasil yang baik, dan itu panjangnya dari puluhan meter hingga berkilo-kilometer dengan risiko ditanggung sendiri oleh penambang. Penambangan akan berhenti mendadak ketika terdengat teriakan “Eboulement! Eboulement!” dari para penambang. Itu artinya ada wilayah tambang yang rubuh, dan kemudian para penambang saling menggali semampu mereka mencari penambang yang terkubur.
Menurut Kara, para penambang mengeluh batuk terus-menerus dan juga sakit kepala. Mereka juga menderita luka ringan seperti luka dan keseleo, serta sakit punggung dan leher. Pada dasarnya tak satu pun dari mereka ingin datang ke area penambangan tradisional itu untuk menggali setiap hari, tetapi mereka merasa tidak punya pilihan. Adapun kekerasan seksual pada wanita acap terjadi yang dilakukan oleh pedagang dan juga oleh tentara penjaga tambang.
Lingkungan sekitar penambangan seperti tanah, udara, dan air situasainya benar benar buruk karena kontaminasi di mana-mana. Penambang maupun mereka yang tinggal di sekitar lokasi terpapar zat berbahaya yang dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi kesehatan mereka.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Lubumbashi, para penambang memiliki lebih dari empat puluh kali jumlah kobalt dalam urin mereka dibandingkan kelompok kontrol. Mereka juga memiliki kadar timbal lima kali lipat dan kadar uranium empat kali lipat.
Bahkan penduduk yang tinggal di dekat area pertambangan yang tidak bekerja sebagai penambang memiliki konsentrasi logam jejak yang sangat tinggi dalam tubuh mereka. Termasuk kobalt, tembaga, zinc, timbal, kadmium, germanium, nikel, vanadium, kromium, dan juga uranium. Karena paparan nikel dan uranium yang tinggi, penyakit seperti kanker dan paru-paru menjadi hal yang lazim didapati di sekitar lokasi penambangan.
Kondisi lingkungan yang buruk mengakibatkan tingkat kecacatan kelahiran sangat tinggi. Bayi-bayi yang lahir dengan kondisi cacat pada otak (holoprosencephaly), agnathia otocephaly, lahir mati, keguguran, dan berat badan lahir rendah adalah hal umum di lokasi sekitar pertambangan kobalt.
Seorang nenek memperlihatkan cucunya yang cacat kepada Kara, ia mengatakan “lihatlah yang dilakukan kobalt kepada cucuku, dia tidak lagi mempunyai masa depan”.
Ambisi global untuk beralih ke kendaraan listrik guna mencegah kiamat tiba (doomsday) dengan mengektraksi tambang kobalt menjadi tragedi tak bertepi. Di Kongo, negara yang pernah sangat menderita dijajah Belgia, negara yang ketika merdeka kemudian dipimpin oleh rezim kleptokrasi, negara yang hanya memiliki akses elektrifikasi kurang dari sepuluh persen, kiamat datang lebih awal dan setiap hari. (Resensi buku : “Cobalt Red: How the Blood of Congo Power Our Lives”oleh Siddarth Kara). (*)