COWASJP.COM – Para mantan wartawan senior Jawa Pos (JP) dan pensiunan karyawan koran terbesar yang masih satu grup dengan Tempo, kini semakin geregetan menghadapi sikap “cuek” pendiri Tempo dan Koran Jawa Pos, Goenawan Mohamad (GM) dkk.
Para mantan wartawan dan pensiunan karyawan itu merasa nasib hari tuanya diabaikan para pemilik saham holding Koran Jawa Pos, GM dkk.
Pasalnya, GM dkk sampai saat ini dianggap tetap saja bergeming menyikapi tuntutan para mantan tenaga kerja koran Jawa Pos, terkait kepemilikan saham karyawan 20 persen yang mereka kuasai.
Padahal, upaya jalur berdamai lewat Pengadilan Negeri Surabaya sudah ditempuh para mantan wartawan dan pensiunan karyawan itu.
Malahan, mantan wartawan JP di wilayah kota Malang, Jawa Timur juga sempat menginisiasi ikhtiar mantan wartawan dan karyawan JP di Jawa Timur dengan menggelar istighosah akbar. Tujuannya, mengetuk hati GM dkk.
“Karena belum ada tanggapan dan perkembangan, sehingga diputuskan (perwakilan mantan wartawan JP dan pensiunan karyawan) akan mengirimkan surat tagihan terkait pengembalian hak saham 20 persen maupun devidennya itu,” kata pengacara Dr Sudiman Sidabukke, SH, MHum, kuasa hukum Yayasan Pena Jepe Sejahtera, Selasa (23/05/2023).
“Surat ini merupakan surat ketiga. Dua surat sebelumnya juga tidak pernah ditanggapi,” tambah Sidabukke, mengaku belum pernah bertemu langsung dengan pihak holding Jawa Pos atau GM dkk.
Para pemegang saham Jawa Pos Holding, yakni Grafiti Pers (terbesar 49 persen). Sisanya dimiliki, Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, Dorothea Samola (isteri Almarhum Erick Samola), Haryoko Trisnadi, Dahlan Iskan, dan Ratna Dewi (Wenny).
Suasana geregetan, kesal campur kecewa para mantan wartawan dan pensiunan karyawan JP ini terasa saat para pengurus Yayasan Pena Jepe Sejahtera wadah pada pensiun itu mengadakan pertemuan khusus di Surabaya, pada Minggu (22/05/2023).
Mereka sengaja menggelar pertemuan khusus, lantaran sudah berbulan-bulan menunggu respon itikad kemanusiaan terkait dua surat tagihan hak saham karyawan dan deviden yang dikuasai para bigboss holding Jawa Pos, ternyata tidak ada jawaban.
Kesepakatan melayangkan surat somasi itu, dimaksudkan ikhtiar pasca menggelar istighosah di Malang. Surat ketiga ini praktis yang terakhir. Apabila para pemilik saham holding Jawa Pos masih tetap bergeming tidak menanggapi, akan ditempuh langkah-langkah strategis selanjutnya.
Halal bi halal CoWas JP di Sodus, Surabaya, 6 Mei 2023. (FOTO: CoWas JP)
Mantan wartawan JP untuk wilayah Jakarta dikabarkan berniat mengangkat fenomena pers nasional ini dengan mengadu ke Komisi I DPR RI.
“Sudah siap mengadukan ke Komisi I DPR RI, tapi masih dicegah dulu,” kata eks wartawan senior JP, enggan disebut namanya.
Ada pula yang mengusulkan jika holding Jawa Pos tetap tidak punya itikad baik, akan melaporkan pidana ke Bareskrim Mabes Polri.
“Kita belum berpikir jauh melangkah ke arah sana dulu. Siapa tahu surat ketiga ada tanggapan positip,” kata Sidabukke menanggapi munculnya keinginan tersebut.
Walau demikian, Sidabukke tidak menampik langkah jalur hukum bisa dilakukan baik perdata maupun pidana jika upaya penyelesaian kekeluargaan mengalami jalan buntu.
“Tentu, harus dipersiapkan semua bukti-bukti terkait kepemilikan saham 20 persen itu,” kata Sidabukke.
Hasil rapat pengurus yayasan pada Minggu itu, juga memutuskan bahwa pengurus yayasan akan menyusun nama-nama saksi kunci bila kelak akan dibawa ke ranah pengadilan atau rapat-rapat penagih dan tertagih bersama direksi Jawa Pos.
HARI TUA WARTAWAN JP MEMPRIHATINKAN
Para mantan wartawan JP dan pensiunan karyawan ini berharap segera ada itikad kemanusiaan terkait hak saham karyawan JP 20 persen, termasuk devidennya ini. Karena tidak sedikit di antara mantan tenaga kerja koran terbesar di Indonesia setelah “Harian Kompas” ini, kini menjalani hidup masa tua yang memprihatinkan.
Dicontohkan, salah satunya mantan wartawan senior JP yang pernah mengasuh rubrik sangat populer akhir 80-an hingga awal 90-an, yakni “Bondet”. Saat ini, dia menderita sakit tanpa punya biaya pengobatan.
Tidak cuma itu, Santoso “Bondet” yang pernah menjadi redaktur halaman daerah ini juga tidak mampu memperpanjang sewa rumah kontrakan yang tinggal sebulan. Rumah sangat sederhana tipe 27 di Madiun.
“Masa kontrak rumah Mas Santoso Bondet di Madiun habis pada Juli 2023 nanti. Sementara kondisi ekonomi beliau memperihatinkan. Mas Santoso dalam kondisi sakit. Mohon Sederek2 Cowasers yang ada rezeki berkenan menyumbang seikhlasnya,” demikian infoormasi berantai di WA Group CowasJP (Konco Lawas/ teman lama JP).
Dr Mundzar Fahman, mantan wartawan JP ketika akan memimpin doa bersama demi kesuksesan perjuangan Tim Pejuang Gak Karyawan Jawa Pos (TPHK JP). (FOTO: CoWas JP)
Sumbangan sesama mantan wartawan gayung bersambut, meski relatif tidak besar. Ada Slamet OP menyumbang Rp200 ribu, Tubagus Adi Rp200 ribu, Imron Mawardi Rp200 ribu, Iwan Sams Rp200 ribu, Ali Murtadlo Rp200 ribu, dll.
Walau begitu, mereka rupanya saling chating berandai-andai. “Kalau saja GM dkk mau membagikan hak deviden dari saham karyawan, tentu tidak akan terjadi nasib seperti Bondet dan masih banyak lagi,” demikian cuitannya.
Diketahui sebelumnya, para eks wartawan senior JP dan pensiunan karyawan JP ramai-ramai menuntut hak saham karyawan 20 persen yang dikuasai para pemilik saham JP holding, merupakan buntut pecah kongsi bisnis media Dahlan Iskan dan Goenawan Mohamad (GM) dkk.
Para pensiunan JP ini mengawali perjuangannya dengan mendirikan lembaga pendobrak hak saham karyawan yang puluhan tahun dikaburkan manajemen. Nilai saham karyawan yang menggurita diperkirakan mencapai Rp 2 Triliun.
Lembaga pendobrak itu dinamakan Tim Pejuang Hak Karyawan (TPHK) Jawa Pos. Beranggotakan sembilan orang. Ketua tim, Ali Murtadlo (mantan Redpel JP, eks Dirut JTV).
Anggota TPHK terdiri Dhimam Abror (mantan Pempred JP, mantan Direktur Eksekutif Radar Timur), Surya Aka (mantan Redaktur JP, Pimpinan Perusahaan Karya Dharma), Slamet Oerip (mantan Redaktur JP), Imam Syafi’i (mantan redaktur JP, Pemred JTV), Eka Dinarwanto (mantan pemasaran JP), Dr Imron Mawardi, kini pejabat teras Fakultas Ekonomi Unair, Slamet Eko Budiono (mantan karyawan pracetak JP).
TPHK JP mendaftarkan ke notaris hingga disahkan Kemenkumham. Lembaga yang yang berbadan hukum dibentuk berupa yayasan dengan nama Yayasan Pena Jepe Sejahtera.
“Berjuang dengan mengedepankan spirit perseduluran (persaudaraan) untuk meminta kembali hak saham karyawan tersebut,” kata Abror, mantan Pemred JP ke 4 pasca Dahlan Iskan, Margiono (Alm.), Sholihin Hidayat (Alm.), saat CoWasJP menggelar reuni akbar ke XI, di Hotel Ciptaningati Batu, Minggu (21/08/2022).
Ihwal pembentukan lembaga yayasan itu merujuk keputusan RUPS Jawa Pos 2001. Pasalnya, perintah RUPS ini hingga terjadi pecah kongsi Dahlan dan GM dkk pada 2018, tidak pernah diwujudkan manajemen. Isi keputusan RUPS 2001 itu, sebagai berikut;
1. Saham karyawan 20 persen diberikan kepada Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Holding) untuk dikelola dengan baik.
2. Dahlan Iskan ditugasi untuk segera membentuk Yayasan Karyawan Jawa Pos.
Faktanya, Dahlan sebagai pengelola Jawa Pos sejak 1982 tidak merealisasikan keputusan RUPS itu dengan dalih kesibukan jadi Dirut PLN, yang kemudian Menteri BUMN.
Semua sepertinya bergeming dan ‘tutup mata’. Mafhum. Dahlan pionir JP, mengembangkan dari koran oplah satu becak hingga berkembang jadi Jawa Pos holding dengan ratusan media dan puluhan TV serta bisnis-bisnis di luar media.
Ketika RUPS Jawa Pos Holding tahun 2018 memutuskan memangkirkan Dahlan Iskan, yayasan karyawan tetap belum dibentuk. Praktis, hak-hak saham karyawan seperti pembagian deviden, misalnya, tidak pernah dinikmati karyawan. Apalagi, di era awak Jawa Pos beralih ke generasi usia anak para pensunan JP.
Ali Murtadlo mengaku, kalau para pensiunan yang paham sejarah Jawa Pos tidak memperjuangkannya sekarang, maka saham senilai sekitar Rp 2 triliun itu akan lenyap ditelan bumi.
Sampai semua karyawan Jawa Pos (termasuk yang sekarang masih aktif) meninggal dunia pun, hak saham dan deviden para karyawan akan lenyap. Sebab, para karyawan JP masa kini tidak tahu di mana pintu masuknya?”, kata Ali Murtadlo saat reuni CowasJP di Batu, Jawa Timur itu.
“Mumpung angkatan kantor (JP) Kembang Jepun dan Karah Agung masih ada yang masih hidup, perjuangan meminta kembali hak karyawan harus dilaksanakan sekarang. Nilai deviden yang ditahan puluhan tahun mencapai ratusan miliar rupiah,” ungkap Ali Murtadlo.
Sementara ini, belum diperoleh konfirmasi dari pihak holding Jawa Pos.(*)