COWASJP.COM – ANIES itu memang unik. Ketika begitu banyak lembaga survey menempatkannya pada peringkat terendah, namanya justru semakin moncer. Di mata publik, dia adalah calon pemimpin yang ditunggu-tunggu. Sehingga selalu disambut meriah massa pendukungnya dalam banyak kesempatan. Tapi di saat yang sama, sepertinya begitu ditakuti penguasa kalau nanti dia sempat jadi presiden.
Karena itu wajar, jika banyak pihak menilai: Dia perlu dijegal. Pihak istana ditengarai kuatir, dengan slogan “perubahan”, dirinya tidak akan melanjutkan sejumlah program besar yang sekarang sedang dijalankan. Di samping sejumlah kekuatiran yang lain, tentu saja. Karenanya dia tidak diperkenankan maju sebagai Bakal Calon Presiden (Bacapres). Demikianlah kecurigaan publik, meskipun kecurigaan itu terus dibantah.
Di antara bantahan itu datang dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. Misalnya, seusai memimpin upacara di Lapangan Pancasila, Ende, NTT pada Kamis (1/6/2023), mantan Ketua MK itu menegaskan tidak ada penjegalan terhadap Anies.
"Ndak ada. Itu isu politik. Itu bagian dari perlombaan kontestasi politik yang mengatakan ini dijegal. Mungkin biar pendukungnya muncul. Atau mungkin biar yang milih sedikit,” ujarnya.
Mahfud MD bahkan menduga, penjegalan itu justru sangat mungkin dilakukan oleh internal koalisi. Namun, kata dia, pihak yang merasa dijegal malu untuk mengumumkan bahwa kegagalan untuk menjadi capres justru dari internal.
"Kalau pemerintah tidak menjegal. Mungkin saudara sih, cuma ndak enak mau bilang terus terang. Mungkin dari tulisan-tulisan dan pernyataan Denny Indrayana," katanya, sembari mengingatkan bahwa dirinya justru terus mendorong agar koalisi pendukung Anies tetap kompak. Sehingga mantan Gubernur DKI itu mendapat tiket capres.
Persoalannya, apakah rakyat lantas percaya apa yang disampaikan Mahfud? Sudah begitu terang benderang dan jadi berita santapan publik sehari-hari, kecurigaan Anies dijegal itu kian membesar. Mulai dari kegaduhan di KPK, ketika Ketua KPK Firli Bahuri begitu “ngotot” agar Anies ditetapkan sebagai tersangka korupsi Formula E. Dengan ketiadaan bukti yang kuat.
Mantan sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mengungkapkan bukti-bukti yang lain. "Sulit dibantah bhw pak @aniesbaswedan mmg selalu dijegal. Penjegalan terbuka saja dilakukan spt 1) saat dilarang turun lapangan merayakan kemenangan Persija mendampingi Bpk Presiden 2) tidak diundang menonton formula E oleh Pemda DKI shg beliau menonton bersama rakyat," kata Said Didu. Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari akun Twitter miliknya.
DIJEGAL SECARA INTERNAL
Ungkapan Mahfud MD bahwa kemungkinan Anies dijegal dari internal koalisi sendiri justru dibantah beberapa fakta di lapangan. Soal ini mungkin orang akan bertanya: Apakah yang dimaksudkannya adalah bahwa Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang mengusung Anies itu akan segera bubar?
Berita ini sering disebarkan para buzzerRp melalui beberapa media tertentu. Isunya, ada partai peserta koalisi yang akan membatalkan dukungan. Karena tidak tercapainya kesepakatan soal sosok cawapres yang akan mendampingi mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu. Atau, karena partai dimaksud tidak mendapatkan tiket cawapres di dalam koalisi.
Tapi fakta yang paling lucu dan menggelikan adalah manuver Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru-baru ini. Ketika partai dengan lambang banteng moncong putih itu diberitakan tengah berusaha merangkul Partai Demokrat (PD). Katanya, agar dapat bekerja sama dalam pemilu 2024.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengakui memang berusaha merangkul PD. Bahkan dalam waktu dekat, katanya, Ketua PDIP Puan Maharani akan menemui Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Isunya, AHY akan dimasukkan sebagai salah satu Cawapres Ganjar Pranowo yang diusung PDIP. Di antara sejumlah nama yang sudah dicanangkan.
Bagaimanapun, tentu tidak dapat dibantah bahwa publik makin curiga. Jika AHY dapat dirangkul, tentu KPP yang mengusung Anies akan bubar dengan sendirinya. Dengan tidak terpenuhinya syarat Presidential Threshold 20% oleh Partai Nasdem dan PKS.
Dus, dengan demikian pencapresan Anies otomatis gagal pula. Nah, bukankah dengan demikian, faktanya Anies dijegal? Dengan tujuan apa? Apakah PDIP sebagai partai penguasa juga kuatir, jika Anies tetap maju sebagai capres, Ganjar Pranowo sebagai capresnya sendiri akan “keok”?
Tapi sebagian orang mungkin lupa bahwa ini fakta yang paling lucu dan menggelikan. Bagaimana mungkin PDIP dan PD itu bisa bergabung? Toh sudah menjadi rahasia umum bahwa PDIP dan PD itu sudah berseberangan begitu jauh dan begitu lama.
Bukankah kebencian Megawati kepada Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalahkannya dalam Pilpres 2004 sudah sampai ke ubun-ubun? Bukan rahasia lagi, begitu besarnya kekecewaan puteri Bung Karno itu ketika SBY maju sebagai capres dan mengalahkannya pada 2004. Sehingga sejak saat itu dia bahkan terkesan tidak sudi berhadapan muka dengannya. Untuk berjabat tangan saja dia tak sudi, apalagi untuk berbincang bersama. Para awak media sudah faham betul soal itu.
Meski demikian PDIP bisa saja berdalih seperti ungkapan Lord Palmerston: “We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual.” Artinya, tak ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingan.
Pertanyaannya: Dalam konteks relationship antara PDIP dan PD ini, apakah bisa begitu? Apakah benar kepentingan politik PDIP bisa menghapuskan kemarahan dan dendam personal Megawati kepada SBY?
Dengan semakin panasnya suhu politik di tanah air, menyongsong penyelenggaraan pesta demokrasi yang kian dekat, segala manuver para pimpinan dan tokoh politik tentu menjadi sorotan publik.
Mereka yang cerdas melihat keadaan tentu ingin terjadinya perubahan yang mendasar dalam kehidupan. Apa saja? Mulai dari perbaikan di sektor ekonomi. Misalnya perubahan dari pengendalian harga barang kebutuhan pokok yang tinggi menjadi rendah dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menyusul terjadinya berulang kali kenaikan harga BBM. Terciptanya jaminan sosial kesehatan yang tidak membebani, tetapi melayani.
Lalu, perubahan sistem politik yang “merangkul kawan tapi memukul lawan” ke arah perpolitikan yang berkeadilan. Ditinggalkannya kebijakan penggunaan para buzzer pemerintah yang dibayar mahal, sehingga pembelahan masyarakat dalam konteks “cebong dan kampret” yang meresahkan dapat ditiadakan.
Begitu juga penegakan hukum yang tebang pilih, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Dibenahinya fungsi dan peran sejumlah lembaga tinggi negara, seperti DPR, MPR, KPK, MK, Kejaksaan dan Kepolisian yang banyak disorot publik. Yang semuanya diharapkan berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga tujuan bernegara tercapainya kehidupan rakyat yang tenteram, aman sejahtera dapat dicapai.
Bila penguasa justru berbuat sebaliknya, tentu akan menimbulkan kekacauan. Bila capres pilihan rakyat dijegal karena penguasa ingin mempertahankan kekuasaan dan melanggengkan sistem politik tidak sehat yang tidak diinginkan rakyat. Bila hanya membela kepentingan oligarki, dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Maka jangan lupa, rakyat bisa marah. (*)