COWASJP.COM – PEOPLE POWER. Begitu teriakan sejumlah orang di Gedung Umat Islam Surakarta hari Minggu (11/06) lalu. Meriah. Penuh semangat. Semua pembicara dengan tegas menyuarakan tuntutan mereka. Agar rejim Jokowi yang mereka anggap zalim segera diturunkan dari tampuk kekuasaan.
Di antara para tokoh yang hadir dan menyuarakan aspirasinya di forum itu adalah para tokoh pergerakan yang kritis terhadap penguasa. Yaitu Prof. Dr. Amien Rais MA, Dr. Muhammad Taufik, SH MH, Prof. Dr. Eggi Sudjana, SH, HM Syukri Fadholi, SH MKn, Dr. Syahganda Nainggolan, M Rizal Fadillah, SH, Ahmad Khozinudin, SH dan Mayjen TNI Purn Deddy S Budiman.
Para tokoh di atas tampil sebagai pembicara. Yang mempertegas sikap dan pandangan mereka yang sudah muak ? keadaan. Bahwa pemerintahan Jokowi mesti segera dimakzulkan. Karena sudah menyimpang terlalu jauh dari rel penyelenggaraan pemerintahan yang lurus, sesuai undang-undang. Dan di antara para pembicara itu, hadir pula para penanggap yang tidak kurang kritis. Seperti Muslim Arbi, Eddy Mulyadi, KH Ir. Andri Kurniawan, Sutoyo Abadi, Ir. Syafril Sjofyan dan lain-lain.
Dalam rangka HUT Mega Bintang ke-26, para peserta berdatangan dari berbagai penjuru tanah air. Atas prakarsa dan undangan Mudrick M. Sangidu. Tokoh pendiri organisasi itu yang tidak lain adalah juga politisi kawakan asal Solo yang terkenal dengan ketegasan sikap dan integritasnya. Yang tidak hanya menggagas dan memprakarsai acara itu, tapi sekaligus tampil memukau, memompa keberanian semua pihak. Dalam sambutan yang berapi-api, pemilik nama lengkap Mudrick Setiawan Malkan Sangidu itu mendesak semua pihak. Agar jangan takut menyongsong gerakan “people power”, demi memperjuangkan kepentingan seluruh anak bangsa.
Pertanyaannya sekarang: Mengapa mesti people power?
Bagi sebagian orang, gerakan people power ini menakutkan. Banyak orang yang membayangkan bahwa krisis multi dimensi 1998 bisa terulang. Ketika gerakan massa rakyat yang beringas berhasil menumbangkan kekuasaan diktator Orde Baru Soeharto. Yang meluluhlantakkan perekonomian bangsa, mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit. Jatuhnya ratusan korban jiwa. Bahkan meluasnya isu soal kebiadaban perkosaan massal terhadap kaum perempuan dari etnis tertentu. Isu yang terus berkembang, meskipun tidak dapat dibuktikan secara kongkrit sampai sekarang.
Dalam hal ini, sebagian orang mungkin lupa. Bahwa “people power” bisa berlangsung damai. Dengan memuncaknya tekanan massa rakyat terhadap rejim penguasa. Sebagaimana terjadi di Filipina, ketika people power di bawah pimpinan Corazon Aquino berhasil mendongkel kekuasaan Diktator Ferdinand Marcos. Yang melarikan diri ke tempat pengasingan, menyusul aksi massa para pendukung janda mantan politisi Benigno Aquino yang dibunuh rejim Marcos.
Begitu juga people power yang tak terbendung di Srilanka pertengahan 2022 silam. Ketika rakyatnya marah, setelah Presiden Gotabaya Rajapaksa dinilai tak becus mengurus rakyat. Saat krisis ekonomi dan politik meruyak melanda negeri itu. Ketika hutang negara yang menggunung kepada Cina tak mampu dibayar. Sebagian besar rakyat kian sengsara disebabkan harga berbagai barang kebutuhan pokoh melambung tinggi. Sementara mereka tahu keluarga Presiden hidup kaya raya dan berfoya-foya.
Ujung-ujungnya presiden bersama antek-antek pendukungnya kabur ke luar negeri.
Bagi kita bangsa Indonesia, people power tampaknya sudah layak berlaku di negeri ini. Sebagaimana dilontarkan para pembicara dalam dialog nasional di Solo itu. Yang terselenggara meriah dengan tema: “Rakyat Bertanya Kapan People Power” .
Sarana Konstitusional
Bagaimanapun, people power adalah sarana konstitusional untuk mengingatkan penguasa bahwa kebijakannya sudah melenceng dari rel yang semestinya. Dan bila penguasa tidak mau diingatkan, rakyat bisa bertindak. Menggulingkan kekuasaan pemerintah dengan cara mereka.
Pasalnya, Jokowi sudah dianggap melenceng terlalu jauh. Membahayakan masa depan bangsa dengan hutang yang menggunung dan dikuatirkan pada waktunya tidak mampu dibayar. Menjalankan sejumlah proyek mercusuar yang rentan mangkrak. Terjadinya upaya pelemahan KPK.
Semakin kencangnya aroma penggunaan hukum dan kekuasaan untuk menundukkan lawan politik. Termasuk mereka yang kritis terhadap kebijakan penguasa.
Di samping itu, pemerintah juga dianggap membiarkan pembelahan di masyarakat terus berlangsung. Karena pemerintah menjalankan politik belah bambu. Mengangkat satu sisi masyarakat dan menginjak satu sisi lainnya. Merangkul kawan, memukul lawan. Membiarkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan sistem politik dinasti tumbuh subur.
Sudah bukan rahasia lagi, di bawah rejim ini, ada kelompok masyarakat yang dengan mudah ditangkap pihak berwajib. Dengan kesalahan yang terkesan dicari-cari. Sementara itu, ada kelompok masyarakat yang walau berulang kali dilaporkan ke pihak berwajib, namun mereka seperti kebal hukum.
Semua yang disebutkan itu hanyalah sebagian saja. Karena masih begitu banyak penyimpangan lainnya, yang membuat sejumlah pihak kehilangan kesabaran.
Meski demikian, bukankah Jokowi justru menunjukkan sikap kepala batu dan tidak mau diingatkan? Berbagai upaya dilakukan tapi selalu mentok. Seperti upaya memperpanjang masa jabatan presiden, penundaan pemilu, pengubahan undang-undang agar presiden bisa berkuasa tiga periode dan pembiaran terhadap KSP Moeldoko mencaplok Partai Demokrat. Agar pencapresan Anies Baswedan dapat digagalkan. Terakhir, upaya presiden yang tidak malu-malu untuk cawe-cawe menghadapi Pilpres 2024. Sehingga presiden dianggap akan menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan yang tidak netral.
Sementara itu, pemakzulan sesuai ketentuan impeachment melalui MPR/DPR tidak mungkin terjadi. Pertama, karena kekuasaan MPR yang dulu merupakan lembaga tertinggi negara sekarang sudah diamputasi. Kedua, karena sebagian besar kekuatan di parlemen di bawah kendali para ketua umum partai adalah para pendukung pemerintah. Baik yang mendukung pemerintah karena memang ingin merapat ke penguasa, maupun yang takut dikasuskan secara hukum. Karenanya, para anggota DPR tidak dapat lagi dianggap sebagai wakil rakyat yang mestinya mampu mengontrol jalannya pemerintahan.
Sebaliknya mereka hanyalah para petugas partai. Yang, menurut politisi PDIP Bambang Pacul, hanya patuh kepada ketua umum partai.
Di samping itu, kini semakin banyak orang kecewa. Karena rejim ini dianggap tidak mampu lagi menjalankan roda pemerintahan, sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Karena yang berkuasa bukan lagi rakyat. Tapi oligarki. Rejim tidak peduli dengan ketimpangan jurang kaya miskin yang kian melebar. Laporan “Credit Suisse” yang bertajuk “Global Wealth Report 2018” menunjukkan bahwa 10 orang paling tajir di Indonesia kini menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 1% orang terkaya Indonesia mendominasi 46% total kekayaan penduduk dewasa. Ini menggambarkan lebarnya ketimpangan jurang kaya miskin di masyarakat.
Puncak Kemarahan Rakyat
Bila people power itu terwujud dalam kenyataan, maka tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah puncak kekecewaan dan kemarahan rakyat. Bagaimanapun upaya mendesak agar Jokowi mundur melalui mekanisme “people power” dianggap legitimate. Artinya dianggap memiliki dasar hukum yang kuat, sesuai Ketetapan MPR No VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sedangkan pemakzulan melalui DPR dan MPR sebagaimana diatur oleh UUD 1945 khususnya Pasal 7A, sebenarnya dipandang juga sudah memenuhi syarat. Meskipun kesannya masih begitu sulit terlaksana. Mengingat sudah bertekuk lututnya hampir seluruh kekuatan partai politik di bawah ketiak rejim.
Tentu saja, apa yang berlangsung di Solo hari Minggu (11/06) lalu dapat dipandang sebagai riak-riak kecil dari mulai menumpuknya kekecewaan rakyat. Tapi bukan berarti bahwa hal itu tidak akan bisa berubah menjadi gelombang “air bah” yang maha dahsyat dari kemarahan rakyat. (*)