COWASJP.COM – BiSA Jadi perbincangan tentang politik identitas tidak akan ada habisnya. Yang membuat mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan terus dihujat. Karena dianggap pelaku politik identitas. Sebab itu, dia bahkan dicap sebagai “bapak politik identitas”.
Aneh sekali memang. Seolah politik identitas itu adalah momok yang sangat menakutkan. Suatu kesalahan fatal dalam politik, sehingga bacapres yang paling ideal di mata sejumlah orang itu harus dijegal. Dihambat langkah dan peluangnya untuk maju sebagai calon pemimpin bangsa dalam Pilpres 2024 mendatang.
Karenanya, bisa jadi juga sebagian orang merasa kasihan kepada bacapres yang diusung Nasdem, PKS dan Demokrat itu. Seolah tak ada hari bagi para penentang atau lawan politiknya untuk menudingnya sebagai pelaku politik identitas. Seolah sudah kehabisan amunisi, sehingga tidak ada lagi isu lain yang layak dilemparkan untuk menggagalkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu maju sebagai salah satu bacapres selain menggunakan isu itu.
Pertanyaan kita: Apakah yang dimaksud politik identitas? Dan benarkah Anies adalah pelaku politik identitas? Padahal sudah begitu lama isu itu terus dihembuskan dan Anies sudah berulang kali pula menjawabnya. Dengan mengatakan bahwa politik identitas adalah suatu keniscayaan. Sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.
"Politik identitas itu adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Misalnya calon yang bersaing adalah laki-laki dan perempuan. Maka di situ ada identitas gender," ucap Anies di Hotel Shangri-La Surabaya, Jumat (17/3/2023) malam, ketika bicara dalam forum diskusi dengan pemimpin redaksi media massa yang diselenggarakan Partai NasDem.
Meski demikian, para penentang Anies tampaknya tidak peduli dengan alasan apa pun. Sepertinya dendam karena kekalahan jagoannya dalam Pilkada DKI 2017 itu tidak akan pernah hilang. Ketika Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno berhasil mengalahkan Cagub Petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat.
Kalau mau fair, semua pihak mestinya memahami situasi dan kondisi kala itu. Pertama, calon yang bersaing – yaitu Anies dan Ahok – adalah dua orang yang agamanya berbeda. Dus, dengan demikian keduanya memiliki identitas yang berbeda. Kedua, persoalannya bertambah pelik setelah Ahok melakukan kesalahan fatal, lantaran kecerobohannya mengutip ayat suci Alqur’an. Sehingga dituduh melakukan tindakan pelecehan agama.
Karena itu umat Islam yang digerakkan kelompok 212 melakukan aksi berulang kali di Jakarta. Dengan mengerahkan ribuan umat untuk turun ke jalan dan menuntut agar Ahok dipenjarakan. Terbukti Ahok tidak hanya kalah dalam mempertahankan jabatannya sebagai gubernur, tapi juga harus mendekam di hotel prodeo.
Pertanyaannya lagi: Apakah kekalahan Ahok itu karena Anies melakukan politik identitas? Mereka yang cerdas tentu akan menjelaskan bahwa kemenangan Anies kala itu tidak lain karena dia berada di waktu dan tempat yang tepat. Seandainya Ahok tidak ceroboh sehingga terlibat melakukan tindakan pelecehan agama, Anies belum tentu menang. Sebagai gubernur petahana yang sangat populer dan didukung pemerintah pusat rasanya Ahok tidak mungkin bisa dikalahkan.
Meski demikian, Anieslah yang distigma sebagai pelaku politik identitas. Padahal Anies adalah gubernur yang sama sekali tidak memihak. Selama lima tahun memimpin DKI Jakarta, Anies memperlakukan semua pihak sama dan sederajat. Anies tidak membedakan suku, etnis dan agama penduduk ibukota Jakarta dalam setiap kebijakan yang diterapkannya. Anies mengayomi setiap kelompok. Baik suku, etnis maupun agama.
Background Politik
Tidak bisa dipungkiri, Anies memang memiliki background sosial politik yang jelas. Pertama, bahwa dia beragama Islam. Tidak hanya sekadar beragama, melainkan taat beragama. Menjalankan seluruh ajaran Islam dengan konsekuen. Menuruti perintahnya dan meninggalkan larangannya.
Kedua, keterpilihannya sebagai Gubernur DKI Jakarta bertepatan dengan adanya tudingan Ahok melakukan pelecehan agama. Setelah dia terpleset lidah mengutip ayat Alqur’an surah Almaidah 51 dalam sebuah komentarnya. Yang membuat umat Islam dalam aksi bela Islam 212 bergerak melakukan demo berjilid-jilid, dengan tuntutan agar dia diadili. Yang berujung kemenangan Anies-Sandi dan kekalahan Ahok-Jarot.
Bahkan gubernur petahana yang bulat-bulat didukung Presiden Jokowi itu tidak hanya kalah dalam pilkada, tapi juga diadili. Lalu dipenjarakan karena kasus pelecehan agama.
Ketiga, walaupun sempat terpilih sebagai juru bicara kampanye Jokowi-Jusuf Kala (JK) menyongsong Pilpres 2014 dan diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, namun faktanya Anies di-reshuffle Jokowi. Alasannya, karena Jokowi ingin memenuhi tuntutan Muhammadiyah. Ketika NU sudah dapat jatah menteri, sedangkan Muhammadiyah belum. Dan organisasi massa Islam yang memiliki banyak sekolah itu menginginkan posisi kemendikbud yang sudah diduduki Anies.
Jadi pencopotan dirinya bukan karena kinerjanya buruk. Tapi karena situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Sebagai Mendikbud bahkan Anies disebut-sebut merupakan salah satu menteri dengan kinerja terbaik.
Dengan background sosial politik di atas, dapat ditebak, kelompok mana sajakah yang tidak suka Anies. Di tengah berkembangnya pandangan dan sikap Islamofobie di era Jokowi, jelas orang yang memiliki background seperti Anies tidak dikehendaki. Bahkan harus dilawan. Apalagi dia dianggap sebagai anti-tesa Jokowi. Harus dicap radikal. Dituding didukung oleh para anggota HTI dan FPI yang sudah dibubarkan pemerintah. Apalagi sebagai pemilik darah keturunan Arab, ia dianggap pantas disebut kadrun, Arab Yaman dan sebagainya.
Lalu bagaimana bila disebutkan pula bahwa sekarang cucu Pahlawan Nasional AR Baswedan itu sedang menunaikan ibadah haji? Dan keberangkatannya ke tanah suci adalah atas undangan Kerajaan Arab Saudi. Pertanyaannya lagi: Kenapa Anies? Kenapa Bacapres lain seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tidak mendapatkan undangan yang sama?
Umat Islam sebagai bagian terbesar pemilih dalam pilpres 2024 mendatang mestinya cerdas melihat kenyataan ini.
Tudingan yang Keliru
Kembali kepada isu politik identitas, benarkah Anies menjalankan politik identitas seperti yang dituduhkan itu? Bukankah hanya karena memiliki background sosial politik seperti di atas, lantas dia dituding melakukan politik identitas? Bukankah karena didukung oleh umat Islam yang marah akibat ulah Ahok dia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta?
Dalam banyak kesempatan, Anies menjawab tudingan itu dengan tenang dan elegan. Dia menyatakan, “Coba tunjukkan satu saja kebijakan saya yang diskriminatif!” Pertanyaan yang tampaknya begitu sulit dijawab oleh para penentangnya.
Politisi Partai Nasdem Efendi Choiri justru menjawab tudingan itu dengan data. Menurut Gus Choi, begitu dia akrab disapa, selama lima tahun memimpin Jakarta Anies justru jelas sekali sangat fair dan tidak partisan. Tidak mengistimewakan mereka yang disebut pendukungnya. Istilah Gus Choi: “Lima tahun kepemimpinannya damai, tidak ada hiruk pikuk seperti zaman Ahok dan tidak ada kontroversi.”
Kalau dia hanya peduli kepentingan umat Islam di Jakarta, apakah dia mendiskriminasi pemeluk agama lain? Justru dialah gubernur yang paling banyak memberikan izin pendirian gereja yang sebelumnya sulit diberikan. Karena selama lima tahun memimpin Jakarta, Anies memberikan izin sekitar 31 pendirian gereja. Sementara izin pendirian masjid hanya 19. Bandingkan saja! Begitu juga izin pendirian tempat ibadah pemeluk agama yang lain.
Yang tak kalah menarik dalam kaitan ini adalah soal Ade Armando yang sempat trending di platform Twitter Kamis (3/11)2022) silam. Setelah videonya yang mengajak umat Kristen bersatu untuk tidak memilih Anies Baswedan dalam Pilpres 2024.
Lho..., sebagian orang tentu tercengang menanggapi ajakan itu. Betulkah kalau umat Kristen tidak memilih Anies maka Anies akan kalah, seperti teori Ade Armando? Kalau begitu, apakah Ade Armando tidak melakukan politik identitas? Tudingan yang selalu dilontarkannya untuk Anies. Siapakah sesungguhnya pelaku politik identitas, yang terus digembargemborkan seperti hantu yang menakutkan?
Saatnya para pemilih cerdas menentukan pilihan!(*)
Bandung, 25 Juni 2023.-