COWASJP.COM – KPK terus diserang. Petugas Rutan KPK pemeras isteri tahanan, dengan video call seks, disanksi. Dipindah jaga gedung, gajinya dipotong 10 sampai 20 persen selama enam bulan. Diprotes banyak pihak, karena tak dipecat.
***
PEMROTESNYA mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, kepada wartawan, Minggu (25/06) mengatakan:
"KPK sebagai lembaga yang menjunjung tinggi integritas seharusnya tidak mentoleransi pelecehan seksual, termasuk dalam hal ini terhadap istri tahanan. Dengan masih bekerjanya yang bersangkutan di KPK, maka bisa jadi akan menimbulkan kerawanan bagi pegawai KPK terutama yang wanita dan tidak ada jaminan tidak akan mengulangi perbuatannya.”
Pemrotes lain, mantan Kasatgas Penyidikan KPK, Novel Baswedan melalui Twitternya, Senin (26/6) menyatakan:
"Ada yang mau tahu apa sanksi bagi pegawai KPK yang terima uang dari para tahanan dan berbuat asusila terhadap istri Tahanan KPK Dihukum oleh Dewas KPK dengan sanksi pelanggaran etik sedang dan diminta untuk minta maaf secara terbuka dan tidak langsung.”
Pemrotes paling berat, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi kepada wartawan, Senin (27/6) mengatakan:
"Jika kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual ini juga dilakukan agar istri tahanan-tahanan KPK mendapatkan akses atau hal lainnya terkait suaminya, maka petugas rutan menggunakan relasi kuasanya.”
Dilanjut: “Karena penyalahgunaan relasi kuasa, maka hal itu bisa terjadi pada istri tahanan KPK lainnya.”
Para pemrotes intinya menuntut agar pelaku dihukum tegas: Dipecat. Sama seperti pelanggaran hukum pidana, harus menimbulkan efek jera. Agar perilaku itu tidak ditiru oleh petugas lain dengan modus yang sama.
Sebaliknya, Ketua Dewan Pengawas KPK, Tumpak H Panggabean kepada wartawan, Senin (26/6) mengatakan, petugas Rutan KPK inisial M, 35, memang terbukti melanggar etik. Berdasar peraturan KPK, sanksi pelanggaran etik, ya cuma seperti tiu.
Sanksi etik bagi pegawai KPK diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Di situ, pelanggaran pegawai KPK terbagi tiga, yakni pelanggaran ringan, sedang dan berat.
Pelanggaran etik sedang tertera dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020. Berikut detail sanksi sedang bagi pegawai KPK: Pemotongan gaji pokok 10 persen selama enam bulan. Pemotongan gaji pokok 15 persen selama enam bulan. Pemotongan gaji pokok 20 persen selama enam bulan.
Pelaku M, belum disebutkan, dipotong gaji berapa persen. Tapi sudah dipindah tugas dari Bagian Registrasi Rutan KPK ke penjaga Gedung KPK.
Tumpak Panggabean: “Dewas KPK tidak punya wewenang memecat orang atau pegawai. Tidak ada wewenang itu.”
Kewenangan memecat, ada di Inspektorat KPK. Berdasar peraturan, Dewas menangani etik pelanggaran moral. Inspektorat menangani pelanggaran disiplin. Pemecat pegawai KPK adalah Inspektorat KPK.
Tumpak sudah mendorong dugaan pelecehan seksual M ke proses penegakan disiplin di Inspektorat KPK. “Kini masih diproses. Apakah M akan diberhentikan atau dipecat, saya enggak tahu,” ujar Tumpak.
Seperti diberitakan, M diduga memeras isteri tahanan KPK, sebut saja Bunga. Suami Bunga adalah salah satu dari delapan tersangka korupsi jual-beli jabatan di Kabupaten Pemalang. Perkara korupsi itu disidik KPK Agustus 2022. Para tersangka ditahan. Sejak itulah Bunga membesuk suami, ketemu petugas M.
Dari pertemuan itu, M dan Bunga sering telepon. M di Jakarta, Bunga di Pemalang. Sampai belasan kali. Salah satunya video call seks. Bunga menunjukkan kelamin via video call.
Setelah diperiksa Dewas KPK, M berkilah, karena ia dengan isteri sedang bermasalah. Maka, ia begitu. Sebaliknya, Bunga mau begitu, beralasan khawatir suami yang ditahan bakal dipersulit.
Perkara itu bisa disebut pemerasan seksual. Tapi bisa juga disebut perselingkuhan, karena Bunga mau. Mana yang benar? Cuma Dewas KPK yang tahu. Sebab, Dewas sudah menyidik kasus ini sejak akhir Januari 2023. Kemudian memutuskan sanksi etik terhadap M, seperti tersebut di atas, pada 23 April 2023.
M tidak dipecat. Dikhawatirkan bisa jadi preseden buruk di masa mendatang. Petugas registrasi Rutan KPK lainnya bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih, di masa mendatang, mengingat sanksi ringan.
Kriminolog Italia, Cesare Beccaria (15 Maret 1738 - 28 November 1794) mencetuskan Rational Choice Theory (RCT). Teori ini jadi rujukan kriminolog hingga sekarang. Memang, muncul kritik di sana-sini pada teori tersebut. Tapi belum ada anti-tesa.
Rational Choice Theory menyebutkan, individu memilih untuk melakukan kejahatan berdasarkan pemikiran dan perhitungan rasional, atau logis. Yakni keuntungan maksimal, kerugian minimal.
Jelasnya, penjahat sebelum bertindak, memperkirakan atau mengkalkulasi hasil dibandingkan hukuman. Jika hasil besar, hukuman ringan, maka kejahatan akan dilakukan. Jika sebaliknya, maka dibatalkan.
Itu sudah otomatis ada di otak setiap penjahat, menurut RCT. Kian berpengalaman, penjahat kian cepat mengkalkulasi untung-rugi. Dalam hitungan detik. Sebelum ia mengambil keputusan, melakukan kejahatan.
Itu sebab, muncul istilah deterrent effect dalam ilmu hukum pidana. Efek jera. Hukuman yang sebanding dengan tingkat pelanggaran hukum, bakal menimbulkan efek jera, bagi penjahat itu sendiri dan penjahat lain.
Sanksi buat M di atas, bisa berbahaya buat KPK. Lembaga hukum terhormat, yang selama ini sangat ditakuti para pejabat publik. Ibaratnya, KPK adalah macan. Tapi di dalam tubuh macan itu ada macan lagi. (*)