COWASJP.COM – DALAM sebuah kesempatan yang diinisiasi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta beberapa waktu lalu, Presiden Indonesia ke-5 yang juga Dewan Pengarah BRIN Megawati Soekarnoputri mengatakan perlunya Indonesia segera memiliki reaktor nuklir. Menurutnya Indonesia harus mengejar ketertinggalan pengembangan nuklir dari negara-negara lain. Karena tahun 1965 Presiden Soekarno telah meresmikan reaktor riset TRIGA Mark II di Bandung.
Reaktor riset TRIGA Mark II ini merupakan bagian dari politik luar negeri Amerika Serikat (AS) “Atoms for Peace” yang diluncurkan oleh presiden AS Dwight D Eisenhower pada tahun 1953. Melalui program “Atoms for Peace” ini AS memberikan bantuan dan asistensi guna memanfaatkan atom untuk kepentingan pendidikan, kesehatan dan lembaga-lembaga penelitian di seluruh dunia. Israel dan Pakistan merupakan negara awal yang menerima manfaat dari program tersebut.
Pemerintah AS memberikan persetujuan untuk membantu Indonesia dalam program “Atoms for Peace” tersebut pada tahun 1960, yang kemudian ditindaklanjuti dengan membangun tempat riset di Bandung tahun 1961.
Megawati bukanlah sosok yang asing dengan pembangkit nuklir, karena pada tahun 2.000 pernah meresmikan peningkatan kapasitas reaktor TRIGA Mark II dari 1.000 kW menjadi 2.000 kW dan sekaligus mengubah nama TRIGA Mark II Bandung menjadi Reaktor TRIGA 2000 Bandung. Reaktor TRIGA Mark II ini sebelumnya pernah dinaikkan kapasitasnya pada tahun 1971 oleh pemerintahan Soeharto menjadi 1.000 kW dari sebelumnya sebesar 250 kW.
TRIGA merupakan akronim dari Training, Research, Isotope-production. Dikembangkan oleh peneliti di Amerika Serikat seorang matematikawan yang juga ahli nuklir dari Universitas Stanford, Freeman Dyson. TRIGA dimiliki oleh perusahaan General Atomic.
Menurut Dyson, reaktor ini didesain sangat aman karena aspek keselamatan menjadi pertimbangan utamanya dan hal itu dibuktikan oleh Fisikawan terbesar saat itu Niels Bohr yang didatangkan dari Kopenhagen, Eropa untuk melakukan pengetesan keamanan reaktor tersebut.
Niels Bohr tinggal selama seminggu di General Atomic dan menjajal soal keamanan prototipe pembangkit TRIGA di AS. Dan dia sangat menikmati ujicoba tersebut. Dia berjalan-jalan mengelilingi kolam, menikmati pemandangan kolam reaktor dan cahaya biru di sekelilingnya, seperti seorang anak menikmati mainan barunya.
Sayangnya nuklir bukanlah mainan anak-anak, sehingga dia tidak bisa dijajakan di sembarang tempat. Tidak semua negara mampu mengoperasikan, mendesain atau membuat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Indonesia bercita-cita untuk membuat sendiri PLTN-nya namun hingga hari ini masih belum nampak tanda-tanda akan adanya PLTN baik yang didesain sendiri (indigenous power plant) atau yang merupakan desain dari negara lain.
Dalam hal pengembangan PLTN Indonesia yang sejatinya berada di start terdepan dari negara-negara yang baru merdeka namun kini jauh tertinggal. Korea melalui KEPCO sudah mengekspor PLTN-nya ke Uni Emirat Arab. Korea membangun 4 unit PLTN APR 1400 di Barakah. Tiga unit sudah beroperasi. Cina juga sudah mengekspor PLTN-nya ke Inggris dan lebih jauh lagi Cina juga sedang mengembangkan PLTN dari Thorium.
Salah satu sudut TRIGA Mark II. (FOTO: boombastis.com)
Pertengahan Juni ini otoritas keselamatan nuklir Cina telah memberikan izin operasional kepada Shanghai Institute of Applied Physics of the Chinese Academy of Sciences untuk mengembangkan TMSR-LF 1 thorium sebesar 2 MWt. Jika berhasil ini adalah jenis PLTN Molten Salt Reactor. Cina akan mengembangkannya hingga 373 MWt hingga tahun 2030. Negara Asia lainnya yang mengembangkan thorium adalah India.
Dengan bantuan teknologi dari Perancis India mulai mengembangkan thorium sejak tahun 1985 pada Indira Gandhi Centre for Atomic Research. Diawali dengan pembangkit jenis sodium-cooled sebesar 10,5 MWt, India telah berhasil mengembangkan PLTN thorium sebesar 32 MWt pada tahun 2018. Selain itu India melalui Kakrapar Atomic Power Project berhasil membangun PLTN dengan desain sendiri di Gujarat , KAPP 3 sebesar 700 MWe.
Riset tenaga nuklir Indonesia mengalami masa turun naik. Selain di Bandung Indonesia juga memiliki tempat riset nuklir di Yogyakarta (Reaktor Kartini) dengan kapasitas 250 kW yang dioperasikan tahun 1979 dan di Serpong (GA Siwabessy) yang diresmikan tahun 1987 dengan kapasitas 30 MW. Riset nuklir di Indonesia lebih banyak dikembangkan untuk dunia kesehatan dan pertanian.
Saat ini pengembangan nuklir untuk PLTN bisa dikatakan tidak mengalami kemajuan. Hal ini dikarenakan dari political will pemerintah sendiri. Meski memiliki sumber daya manusia yang mumpuni, dalam hal pengembangan dan pengoperasian PLTN, para pengambil kebijakan mempunyai hampir selama 35 tahun memiliki jawaban seperti paduan suara “nuklir adalah opsi terakhir”. Karenanya pengembangan nuklir untuk PLTN menjadi “maju tidak mundur juga tidak” dan ini menjadi tragis karena para pengambil kebijakan juga tidak tahu sebenarnya yang dimaksud dengan apa itu “opsi terakhir”.
Ada beberapa hal yang perlu diilhat mengenai mandeknya pengembangan PLTN di Indonesia. Pertama, adalah pengembangan Iptek yang Habibie sentris. Pada zaman Orde Baru peran Habibie sangat hegemonik dalam menentukan pendanaan dan arah pengembangan Iptek. Sayangnya pengembangan nuklir bukanlah pada jalur utama saat itu.
Kedua, hampir seluruh pengembangan Iptek sangat bergantung pada state funding, sehingga peran swasta menjadi terpinggirkan dan tidak ada dialog kreatif antara pemerintah dan swasta dalam hal pengembangan teknologi. Ketiga, pasca reformasi, batubara tampil sebagai “pahlawan energi”. Batubara dapat menyediakan listrik yang handal dan murah.
Saat ini batubara memasok pembangkit listrik di Indonesia sebesar 67 persen. Karena karakteristik yang PLTU batubara dan PLTN sebagai pemikul beban (baseload) adalah sama, pemerintah ternyata lebih menyukai pengembangan PLTU Batubara ketimbang PLTN. Jika pemerintah menginginkan pengganti batubara sebagai baseload maka pilihannya adalah PLTN.
Apabila keinginan Presiden Indonesia kelima dalam acara BRIN tersebut agar riset PLTN disemai kembali maka ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, BRIN harus fokus terhadap riset PLTN kekinian. Yakni trend yang ada adalah pengembangan PLTN berbasis Generasi ke III+ atau generasi ke IV yang tingkat keamanannya (safety) sangat tinggi.
Kedua, karakteristik Indonesia yang tingkat kepadatan penduduknya berbeda-beda menjadikan Small Modular Reactor (SMR) menjadi pilihan yang realistis untuk dikembangkan. IAEA mendefinisikan SMR adalah reaktor yang dirancang untuk menghasilkan listrik di bawah 300 MW, yang komponen-komponennya difabrikasi secara modular untuk dibawa dan diinstal ke lokasi pembangunan.
Ketiga, pengembangan pembangkit Thorium Molten Salt Reactor (MSR) cukup berkembang, namun BRIN harus hati-hati dalam pengembangannya. Mengingat dana riset yang terbatas.
Keempat, pemerintah perlu untuk menggandeng swasta dalam pengembangan PLTN. Skema Triple Helix perlu dilembagakan jika memang Indonesia ingin memiliki PLTN-nya sendiri.
Jika ingin menyemai kembali pengembangan pembangkit nukir (PLTN), pemerintah perlu tegas untuk menentukan political will arah pengembangan PLTN Indonesia. Mater artium necessitas.(*)