COWASJP.COM – “Tuan Presiden, kalau orang sedang telanjang, maka yang harus didahulukan adalah beli celana. Jangan sedang telanjang yang didahulukan beli dasi.”
Perdana Menteri Rusia Nikita Khruschev mengejek Bung Karno. Saat presiden pertama Republik Indonesia itu mengajukan proposal utang untuk membangun stadion megah dan monumen nasional.
Tak kalah mental, Bung Karno membalas sindiran bernada sarkasme itu dengan percaya diri.
“Lho, saat rakyat Uni Soviet sedang telanjang, sedang menderita, rakyat di Samar dekat Leningrad kelaparan. Mengapa Uni Soviet mendirikan monumen-monumen? Mendirikan lambang-lambang?”
Jawaban telak sang Pemimpin Besar Revolusi itu tampaknya membuat PM Nikita terkesan. Bantuan Uni Soviet pun mengalir.
Saat itu Indonesia adalah republik yang baru lahir. Masih miskin. Tapi Bung Karno ngotot ingin membangun sebuah stadion sepakbola spektakuler.
Demi stadion itu, Bung Karno sampai rela berdamai dengan prinsipnya sendiri yang anti negara imperialis. Berdamai dengan cita-cita besarnya yang ingin republik ini mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa tergantung bantuan asing.
Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Senayan dibangun dengan kebaikan hati Nikita Khrushchev, PM Uni Soviet yang memberikan utang lunak sekitar USD 12,5 juta atau setara Rp 15,6 milyar (kurs tahun 1960 Rp1.205 per USD).
Nikita juga mengirimkan arsitek-arsiteknya, berikut berbagai macam alat berat untuk membantu Indonesia membangun stadion megah. Utang itu kemudian dibayar dengan karet alam Indonesia.
Sudah sejak dulu sepakbola selalu berkelindan dengan politik. Bung Karno sendiri adalah pecinta sepakbola. Para tokoh perjuangan bangsa hampir semuanya juga penggila sepakbola.
Bung Hatta bahkan bukan cuma pecinta, namun juga pemain sepakbola. Tan Malaka, dr Sutomo, Sutan Syahrir, Muhammad Yamin dan Muhammad Husni Thamrin juga penggemar sepakbola.
Mereka sering berdebat hebat terkait politik. Namun di depan ajang sebuah pertandingan bola, perdebatan itu hilang musnah.
Itulah mengapa, bagi seorang Bung Karno, sepakbola bukan hanya sekadar olahraga. Namun, sepakbola adalah alat perjuangan, pemersatu, yang kemudian dijadikannya momentum untuk mengangkat harga diri bangsa.
Gelora Bung Karno (depan) dan JIS. (FOTO: istimewa)
Menanggung pedihnya menjadi bangsa terjajah selama ratusan tahun, Bung Karno sadar benar jika mental rakyat sudah babak belur. Kemiskinan dan kebodohan merajalela. Kepercayaan diri bangsa berada di titik terendah.
Membangun Stadion GBK adalah salah satu upaya Bung Karno untuk mengangkat kepercayaan diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa lain.
Bung Karno berkeyakinan, sulit bagi sebuah bangsa untuk menjadi bangsa besar dan bermartabat, jika mental rakyatnya sendiri kerdil.
Jika rakyatnya masih merasa rendah diri saat berhadapan dengan bangsa lain yang berambut blonde, atau bermata biru. Atau sebaliknya, bangsa bermata biru itu menganggap remeh dan memandang rendah rakyat hanya karena dulu pernah menjajah Indonesia.
Karena itulah Bung Karno ingin membangun sebuah stadion sepakbola megah. Seperti yang dimiliki negara-negara maju itu.
Dan bagi seorang Soekarno, bangsa yang besar tidak bermain di angka kecil. Stadion ini haruslah spektakuler. Harus mengejutkan dunia.
Stadion Gelora Bung Karno pun terwujud pada 1962. Berkapasitas 110 ribu penonton. Salah satu stadion terbesar dunia saat itu. Dan satu dari lima stadion di dunia yang atapnya menggunakan konstruksi temu gelang, selain Rusia dan Brazil.
Dunia terkejut. Gara-gara stadion itu, Indonesia dan Bung Karno jadi perbincangan internasional.
Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang baru lahir, rakyatnya saja masih banyak yang susah untuk makan, bisa membangun sebuah stadion terbesar di dunia?
Citra Indonesia pun meroket. Baik di pentas olahraga, maupun di panggung politik internasional. Bung Karno dinilai telah melakukan lobi politik internasional yang luar biasa. Dan puluhan tahun Stadion GBK menjadi kulminasi perjuangan Bung Karno menaikkan harga diri bangsa.
Cawe-Cawe Politik JIS
Lima puluh sembilan tahun kemudian, mimpi besar Bung Karno baru terwujud. Sebuah stadion megah dan spektakuler berhasil dibangun di Jakarta. Mendampingi Stadion GBK yang historis itu. Stadion itu dinamakan Jakarta International Stadium (JIS).
Bukan saja spektakuler. JIS dibangun dengan biaya mencapai Rp 5 triliun dengan nol persen utang luar negeri.
Tiga ribu pekerja yang membangun stadion berteknologi tinggi itu seratus persen adalah anak bangsa. Meski begitu, JIS didesain sesuai standar FIFA, federasi sepakbola tertinggi dunia.
Indonesia kembali jadi perbincangan internasional gara-gara berhasil membangun stadion canggih dan megah. Yang bertengger di jajaran 10 stadion termegah dunia oleh media Inggris Daily Mail.
Media top asal Italia, Sky Sports menyebut JIS memiliki atap yang dapat dibuka terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia setelah AT&T di Arlington, Texas.
JIS disebut sejajar dengan stadion Santiago Bernabeu milik klub raksasa Spanyol, Real Madrid. Dan stadion Old Trafford, Manchester United, Inggris.
Sebuah gawe besar anak bangsa yang membanggakan!
Namun sejak awal dibangun, sampai sekarang, kehadiran JIS selalu riuh dengan cawe-cawe politik. Dua fraksi di DPRD DKI Jakarta, Fraksi PSI dan PDI Perjuangan, giat sekali melakukan festivalisasi kelemahan JIS.
Hingga baru-baru ini, di jagad maya, netizen riuh saat Presiden Jokowi dan Ketua PSSI Erick Tohir menyatakan jika JIS akan dievaluasi lagi terkait standar FIFA. Soal parkirnya, soal transportasi publiknya, termasuk soal rumputnya.
Netizen menuding, cuitan nyinyir soal JIS itu hanya karena JIS dibangun oleh seorang Anies Baswedan.
Anies lah memang yang membangun JIS saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Stadion itu dibangun selama 2,5 tahun.
Anies membangun JIS, setelah lima gubernur sebelumnya belum mampu mewujudkannya. Digagas sejak 2008, pembangunan stadion yang akan menjadi markas Persija ini tertunda-tunda akibat kendala dana yang besar dan juga konflik lahan yang njelimet.
Masalahnya, Anies adalah satu kandidat kuat dalam kontestasi Pilpres 2024. Dan, saat istana dinilai ikut terlibat dalam cawe-cawe politik, maka JIS dan ajang sepakbola pun ikut terseret.
Sepakbola bukan cuma lomba memasukkan gol ke gawang lawan. Namun juga jadi ajang memuluskan banyak goal politik
Sepakbola juga menjadi lomba panjat sosial politik, panggung empuk untuk ajang narsis para tokoh yang ingin terlibat kontestasi.
Terlepas dari cawe-cawe para tokoh, toh rakyat sudah duluan berpesta pora di JIS. Tak kurang dari 70 ribu baladewa, sebutan untuk fans grup band DEWA 19, sudah menjajal JIS dalam sebuah konser akbar “Pesta Rakyat 30 Tahun Dewa 19”, Februari 2023 lalu.
Konser itu sukses besar. Para baladewa menikmati sebuah konser kualitas dunia. Sound system dan pencahayaan stadion JIS menakjubkan. Meski dengan catatan sulitnya akses transportasi kawasan Tanjung Priok yang padat, puluhan ribu baladewa itu tampak antusias dan bersemangat menyanyi bersama musisi idolanya.
Lagu yang sama dinyanyikan oleh para militan pendukung Anies Baswedan. JIS adalah Anies. JIS adalah karya anak bangsa. JIS membuat rakyat Jakarta, rakyat Indonesia punya harga diri di mata dunia.
Apapun yang dikatakan lawan politik Anies untuk menjatuhkannya, menjatuhkan JIS, tidak akan cukup untuk membuat mereka berpaling.
“Aku tak bisa pindah….pindah ke lain hati...!”(*)