COWASJP.COM – JAKARTA – Selalu ada yang baru dan menarik dari setiap orasi yang disampaikan Prof (Ris) Hermawan “Kikiek” Sulistyo. Besok, Selasa (25/7/2023), Prof Kikiek dijadwalkan menyampaikan orasi kebudayaannya di Puskamnas UBJ (Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Jakarta Raya), Bekasi.
Topiknya mengundang tanya: The Death of the Intellectuals, Nation-state, Saintek dan Masa Depan Peradaban. Ia menyoal matinya kaum intelektual.
Sama menariknya dengan orasi kebudayaan di tempat yang sama, tahun lalu (4 Juli 2022). Ketika itu ia menyampaikan orasi kebudayaan berjudul “Pluto Telah Wafat” Collective Violence dalam Trajektori Peradaban.
Berikut kutipan sebagian materi orasi kebudayaan yang besok akan disampaikan Prof Kikiek:
Perkembangan dan pertumbuhan saintek dalam 40 tahun terakhir ini bersifat eksponensial. Lebih jauh melampaui Deret Ukur ketimbang sekadar Deret Hitung. Waktu sebagai dimensi keempat tak lagi mampu eksplanatif bagi tambahan ruang dan waktu. Spekulan bahkan mempercayai extrapolasi hingga sepuluh dimensi. Atau lebih. Lebih tiga dekade yang lalu Toffler melontarkan proyeksi mimpi anak-anak. Buku-buku futuristik sampah, namun menjadi best-seller dan memukau kalangan awam dunia. Kini, dalam satu dekade terakhir, Michio Kaku memetakan jalan fiksi—menurutnya, yang bagi saya lebih merupakan eskapisme dari tanggung jawab moral sebagai saintis—saintek kontemporer dan masa depan. Namun, siapa sekarang orang Indonesia yang mau membaca Kaku? Yang mengikuti kontestasi teoretik tentang Pluto? Apalagi tentang ribuan bintang lama yang baru ditemukan.
Pada masa depan yang dekat, kita masih berkutat dengan masalah-masalah klasik perebutan dan distribusi kekuasaan. Baik pada tataran lokal, nasional maupun internasional. Trajektori politik Indonesia harus dibaca pada penggal waktu hingga 2045; Tahun Emas yang telah kita kenali. Namun, missing point pada kerangka PwC (2050) adalah aspek saintek tersebut. Itupun masih belum termasuk perhitungan berbagai aspek di luar ekonomi. Ceteris paribus. Padahal, problem pembelahan sosial telah membunuh bibit-bibit saintek sejak awal. Preferensi japres pelajar pada kemampuan mengaji ketimbang logika matematika dan sains anak-anak telah mengubah keseimbangan antara kemampuan logika saintifik-empirik dengan keyakinan ilahiyah. Catatan Mahathir Muhammad tentang isu ini kebanyakan direspon negatif.
Dalam hitungan jarum jam peradaban, sisa waktu 25-30 tahun itu tidak lama. Sangat singkat malah. Padahal seluruh aspek dan faktor yang dikesampingkan, ceteris paribus, justru semakin berperan. Jarak peradaban akan semakin menjauh. Apakah ini mengulangi sejarah tergusuaarnya sains-logika empirik di kawasan Andalusia sekian ratus tahun yang lalu; bergesernya Al Jabar ke Math dan kini ke cabang-cabangnya; Astronomi, dan lain-lain. Kontestasi kekuasaan menambah seluruh kerumitan peradaban itu. Jejak-jejak sejarahnya masih sangat jelas di Alhambra, Cordova hingga Opporto; kathedral-masjid yang masih terawat dengan baik. Etika kekuasaan menghilang. Predator kekuasaan tidak bisa dibasmi, karena sebagai sel hidup predator membelah diri dan menciptakan predator-predator kekuasaan yang baru.
Salah satu predator kekuasaan itu adalah police force. Istilah pejoratif NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia sesungguhnya early warning memasuki pembatas zona peradaban kecil ini. Polisi berada di ruang Democratic Policing. Ini berarti di wilayah Civil-Civilian-Civility-Civic. Namun manakala pembatas itu ditegakkan dan polisi didorong ke dalamnya, kejumu dan resistensi, terjadi. Terbukti tidak mudah mengubah polisi sebagai salah satu predator kekuasaan—barangkali sekarang justru yang terkuat—untuk berperan beyond the call of duties, dalam pengertian seburuh-buruknya. Titik balik pertama dalam trajektori peradaban civil-civilian police ini terjadi pada peristiwa Bom Bali I 1992. Tetapi bangunan otot kawat balung wesi sebagai predator kekuasaan itu hampi melampaui kekuatannya sendiri, hingga terjadi kasus Sambo. Suatu kasus yang harus dipahami dalam konteks pergeseran kebudayaan-peradaban ini. Bukan sekadar—meskipun benar—dalam makna kekuasaan. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (thanks to Lord Acton).
Prof (Ris) Hermawan Sulistyo
Topik dan persoalan aktual dikemukakan oleh Prof Hermawan “Kikiek” Sulistyo. Yang ia narasikan adalah persoalan serius yang tengah dihadapi bangsa Indonesia. Sebuah persoalan yang jika tidak ditangani secara baik, bisa berakibat buruk pada kelangsungan hidup kita sebagai sebuah bangsa besar.
Ketika sendi-sendi pendidikan dasar dan menengah semakin jauh dari logika empirik. Ketika jenjang pendidikan tinggi terjadi “pembunuhan” yang lebih kejam. Itu artinya, bangsa ini sedang terjerumus pada degradasi pembodohan.
Di ending materi orasi kebudayaannya, Prof Kikiek menutupnya dengan narasi yang sangat menggelitik, sebagai berikut:
Tugas sejarah kaum intelektual sudah memasuki critical phase, injury time. Dimatikan oleh lingkungan strategis sejak awal. Pendidikan dasar dan menengah sudah menjauhkan logika empirik dari persiapan psikologi-kematian. Pada jenjang pendidikan tinggi, terjadi pembunuhan yang lebih kejam. Atas nama efisiensi dan perhitungan ekonomis, fakultas-fakultas MIPA dan Saintek dimatikan jika tidak memenuhi kuota jumlah minimum mahasiswa. Yang tertinggal adalah degradasi pembodohan setiap cohort generasi. Akibatnya terjadi penurunan kualitas (fisik) kehidupan. Jika bangsa-bangsa lain menikmati leisure time sebagai salah satu indikator kesejahteraan karena mereka bisa menikmati produk saintek-peradaban, kita terseok-seok kebingungan menatap arah surga-neraka. Le carefour sans soleil.
Yang tersisa kemudian adalah desain pendidikan dan karir Doktor Scopus. Ahli Peneliti-Absensi-Sangat-Utama. Dan Profesor-Selebgram-Rajin-Webinar. Intelektualisme telah kehilangan rohnya.
Karena alasan-alasan itulah saya merasa tidak ada lagi pilihan-pilihan dilematis DAN/ATAU. The Intellectuals are dead!!
Menyusuli wafatnya Pluto, kaum intelektual kini telah Wafat. Mati. Modar kon !! (*)