COWASJP.COM – BARU-BARU ini beredar pernyataan keras dan menohok Ustad Abdul Somad (UAS), yang menyentil para ustad dan ulama yang diam saja melihat kisruh di Rempang. Menyusul aksi penggusuran paksa oleh aparat terhadap penduduk asli di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Yakni, ketika penduduk asli dari suku Melayu yang mengaku telah hidup turun temurun di pulau itu selama hampir 300 tahun, menolak direlokasi ke tempat lain. Menyusul kebijakan pemerintah menjadikan Pulau Rempang sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.
“Nanti, ustad-ustad yang diam, yang tak mau bicara, yang hanya ngajak orang sholawat, ngajak orang tahajud, ngajak orang sholat sunnah, supaya orang tak sakit hati. Judul ceramahnya ‘sabar’, supaya diundang terus. Silahkan engkau bercakap! Nanti kau juga akan dihisab, dituntut di hadapan Allah Subhanahu wata’ala,” ungkapnya dalam sebuah pidato yang berapi-api dengan wajah masam.
Bentrok antara pihak keamanan gabungan dan para pendemo yang menolak penggusuran pecah di pulau itu, Kamis (07/09/2023) lalu, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban luka-luka dan sedikitnya 43 orang ditangkap pihak kepolisian. Di antara korban termasuk masyarakat sipil, bahkan guru-guru dan anak sekolah, yang tidak tahu apa-apa tapi jadi korban tembakan gas airmata.
Wajar saja kisruh itu melahirkan reaksi solidaritas dari seantero negeri, terutama dari kalangan puak Melayu. Yang menganggap pihak penguasa telah melakukan tindakan represif yang berlebihan.
Meski demikian, banyak juga yang menyesalkan bahwa aksi solidaritas untuk masyarakat Rempang sangat tidak maksimal. Bahkan dari mereka yang mengaku ustad dan para ulama, yang mestinya kukuh menegakkan ajaran “amal ma’ruf nahiy mungkar”. Hanya untuk sekadar bicara.
Menyadarkan masyarakat betapa pentingnya solidaritas untuk warga muslim di Rempang yang menghadapi situasi yang sangat sulit saat ini.
Mereka bisa jadi telah sering memberikan ceramah tentang satunya kata dan perbuatan. Tapi dalam kasus Rempang, apakah mereka telah berbuat sebagaimana mestinya? Apakah mereka telah menyatukan kata dan perbuatan? Padahal dalam Surah Ash-Shaf ayat 2, Allah berfirman: “Ya ayyuhal laziena amanu, lima taquluna maa laa taf’alun”. (Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?)
Ibnu Abbas dalam sebuah keterangannya mengatakan, dahulu sebelum diwajibkan jihad, sebagian orang-orang beriman berkata: “Kami berharap Allah memberitahu kami amal yang paling Allah cintai. Agar kami dapat menjalankannya.” Tapi setelah Allah memberitahu mereka bahwa amal yang paling Allah cintai adalah jihad, ternyata mereka enggan melakukannya. Mereka merasa berat untuk menjalankan perintah Allah itu. Dan menurut Ibnu Abbas, kejadian inilah yang menyebabkan turunnya ayat ini.
Tentu saja jihad di zaman Rasulullah itu adalah berperang melawan orang-orang kafir yang ingin memerangi umat Islam. Suatu perbuatan dengan resiko yang sangat besar. Termasuk resiko mati di medan jihad.
Sementara menyangkut kasus Rempang apakah akan beresiko seperti itu? Apakah para ustad sebagaimana disebutkan UAS itu begitu takutnya hanya untuk sekadar bicara, membangkitkan solidaritas terhadap umat Islam yang sedang mengalami penderitaan pelik di Pulau Rempang? Apakah mereka tidak sudi untuk sekadar mengingatkan agar penguasa tidak melakukan tindakan represif berlebihan?
KEWAJIBAN DI BALIK KETAKUTAN
Tindakan tegas pihak keamanan, sebagai bukti kepatuhan dalam pelaksanaan tugas yang telah dibebankan kepada mereka sesuai keputusan pemerintah pusat, tentu saja bagi sebagian orang menakutkan. Termasuk bagi para ustad, yang sementara ini masih enggan bicara. Masih tidak sudi untuk mengatakan “yang benar itu benar, yang salah itu salah”.
Tetapi sebagai ustad atau ulama yang dicap sebagai pewaris para nabi, mereka memiliki kewajiban yang mesti mereka jalankan. Dalam kaitannya dengan kisruh Rempang, mereka mestinya ingat akan hadist Rasul: “Man roa minkum mungkaran falyughaiyyir biyadihi, wain lam yastathi’ fabilisanihi, wain lam yastathi’ fa biqolbihi. Fadzalika min adh’afil iman”. Artinya: Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Bila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Bila tidak mampu juga maka dengan qalbu (doa). Maka itu adalah selemah-lemahnya iman. HR. Muslim.
Bagaimanapun, hadist di atas sejatinya ditujukan kepada umat Islam secara umum. Jadi mafhumul mukhalafahnya, kepada masyarakat awam saja hal itu diwajibkan. Apatah lagi kepada para ustad dan ulama yang mestinya memikul tanggung jawab untuk membina masyarakat.
Apakah mereka tidak ingat bahwa Allah Ta’ala ketika menyebutkan dan menggambarkan umat Islam adalah umat terbaik? Apakah mereka rela membiarkan UAS berjuang sendiri untuk memberikan pembelaan terhadap masyarakat Rempang?
Tapi melalui firman-Nya dalam Surah Alim Imran 110, selain menyebut umat Islam sebagai umat terbaik, Allah Ta’ala juga memberikan tanggung jawab untuk menjalankan perintah “amar ma’ruf nahiy mungkar”. Sebagaimana firman-Nya: “Kuntum khaira ummatin ukhrijat li-nnaasi ta’muruuna bil ma’ruufi watanhauna ‘anil munkari watu’minuuna billahi.” Kamu sekalian adalah umat terbaik yang diciptakan di antara umat manusia. Yang menyeru manusia untuk melakukan perbuatan baik dan melarang mereka dari melakukan perbuatan jahat. (Surah Ali-Imran 110).
Kita semua tentu tahu, kisruh Rempang yang berujung anarkhis tidak hanya menakutkan bagi kalangan masyarakat dari kelompok tertentu, seperti para ustad dan ulama, sebagaimana disentil UAS. Tapi tak dapat dipungkiri hal itu menakutkan juga bagi hampir semua orang.
Karenanya bahkan di media sosial saja kita menyaksikan sementara kalangan yang bukan saja tidak mau bicara, tapi bahkan menghindar untuk bicara.
Lebih parahnya lagi, mereka ini tidak hanya sekadar menghindar untuk bicara. Tapi lebih dari itu mereka justru menakut-nakuti orang-orang yang mau bicara. Untuk sekadar berjihad dengan cara yang paling lemah. Untuk mengingatkan penguasa agar menghindari tindakan represif terhadap rakyat sendiri yang menuntut keadilan.
Agar penguasa mencarikan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan ini. Dengan cara yang bijak. Layaknya mencabut sehelai rambut dari timbunan tepung. Supaya rambut tidak putus dan tepungnya tidak terserak.
Dalam sebuah grup WA, seorang sahabat memberikan komentar menohok: “Yang enggak peduli Rempang ya enggak usah komen. Kalau gak mau ada yang peduli pada upaya meningkatkan solidaritas untuk masyarakat Rempang, ya lebih baik mingkem. Alias diam saja. Enggak usah menakut-nakuti orang lain yang mau bicara!”
Sebagai umat yang meyakini adanya hari akhir dan hari perhitungan kelak (yaumul hisab), tentu kita juga meyakini bahwa perbuatan, ucapan bahkan apa yang terbetik di dalam hati kita itu ada hisabnya. “Man ya’mal mistqala zarratin khoiran yaroh, waman ya’mal mistqala zarratin syarran yaroh”. Walaupun sebesar zarah (atom), setiap perbuatan baik ada pahalanya. Dan setiap perbuatan jahat atau dosa akan ada balasannya.
Ketidakpedulian kita pada kemungkaran terkait konflik agraria di Rempang dan banyak tempat lainnya di tanah air kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Azza Wa Jalla. (*)