COWASJP.COM – PINTU sudah dibukakan pamannya sendiri, Ketua MK Anwar Usman. Agar Gibran Rakabuming Raka bisa masuk sebagai salah satu Bacawapres untuk Bacapres Prabowo Subianto, dalam pesta demokrasi Pilpres 2024 mendatang.
Persoalannya, betulkah Prabowo akan memilih Gibran? Bukankah mantan Danjen Kopassus itu masih terkesan galau untuk menentukan pilihan di saat waktu untuk pendaftaran Capres dan Cawapres semakin sempit?
Bagaimanapun, putusan MK itu oleh banyak kalangan malah dianggap blunder. Membukakan mata publik, bahwa ini merupakan sebuah kesalahan fatal yang mestinya tidak dilakukan. Karena publik tahu bahwa keputusan yang kontroversial ini sengaja dibuat semata-mata untuk kepentingan Gibran. Tepatnya untuk kepentingan Jokowi dan keluarga.
Sesuai Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Gibran tidak bisa lolos. Karena belum cukup umur. Sebab salah satu persyaratan untuk menjadi Capres dan Cawapres harus berusia minimum 40 tahun. Sementara Gibran belum berusia 40 tahun.
Sudah banyak yang mengingatkan sebelumnya bahwa ketentuan itu jangan sampai dilanggar. Dalam beberapa kesempatan bahkan Anwar Usman sendiri sudah merespon kecurigaan publik itu, dengan mengatakan bahwa dia akan netral. Akan menjaga marwah MK, sebab dia hanya takut pada Allah. Dengan begitu, tidak akan menjadikan MK membuat keputusan yang salah, demi melindungi kepentingan keponakannya.
Tapi pada detik-detik terakhir Ketua MK itu malah mengumumkan keputusan yang mengejutkan. Bertolak belakang antara ucapan dan tindakan. Yaitu menerima gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang pemilu itu. Sehingga putusan itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran serius. Yang mencederai rasa keadilan publik.
Karenanya putusan itu direspon sangat negatif oleh banyak orang. Selanjutnya bahkan disambut dengan demonstrasi besar-besaran oleh kalangan mahasiswa. MK yang dianggap sebagai tempat rujukan terakhir untuk mendapatkan keadilan malah berubah makna. Sehingga sebagian orang memplesetkan MK sebagai Mahkamah Keluarga.
Presiden Joko Widodo alias Jokowi memang sudah lama mengakui bahwa dia akan cawe-cawe. Dengan begitu dia dianggap tidak akan netral. Tepatnya dia akan berusaha mendukung, kalau perlu sampai memenangkan orang-orang yang dianggap “all the president men”. Dengan segala cara.
Tujuannya, tentu saja, sudah jelas.
Pertama, agar pemerintahan Presiden RI ke-8 nanti dapat melanjutkan segala program pemerintahan yang sedang dia jalankan.
Kedua, agar dapat mengamankan diri dan keluarganya dari segala macam tuntutan hukum bila kelak tidak berkuasa lagi.
Inilah puncak kekisruhan akibat cawe-cawe Jokowi. Karena presiden semakin panik. Mimpi buruk yang dia bayangkan dalam benaknya semakin nyata membebani pikirannya. Sehingga banyak yang menilai Jokowi semakin ngawur. Tidak peduli dengan peringatan banyak pihak agar tidak melanggar rambu-rambu demokrasi yang sudah ditetapkan melalui undang-undang.
Meski demikian, dengan kekuasaan yang ada di tangannya, Jokowi ingin memanfaatkan waktu yang tinggal hanya 1 tahun lagi. Dengan berbagai macam data yang dia miliki, yang menurut dia berasal dari data intelijen, dia berusaha mengendalikan sejumlah ketum partai. Bahkan termasuk Megawati sebagai “induk semangnya” sendiri. Dengan menerabas segala ketentuan yang mestinya tidak dilanggar. Setelah berbagai langkah yang dia jalankan selama ini mengalami kegagalan.
Misalnya, mendorong sejumlah menteri untuk menyuarakan wacana presiden tiga periode, yang terbukti mentok. Begitu juga wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang juga mentok. Menggunakan KSP Moeldoko untuk membegal Partai Demokrat yang dulu ikut dalam koalisi perubahan bersama Anies Rasyid Baswedan. Yang terbukti juga mentok.
Terakhir, mengupayakan agar putera mahkota Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai Bacawapres Prabowo. Sebagai senjata pamungkas untuk menghapus segala mimpi buruknya. Yang ternyata malah dianggap blunder. Setelah adik iparnya sendiri, Ketua MK Anwar Usman, berhasil mengutak-atik ketentuan Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang pemilu, menyangkut batas usia minimum Capres dan Cawapres. Untuk meloloskan Gibran.
SEMAKIN PANIK
Kepanikan Jokowi tidak bisa dipungkiri. Karena segala cara yang dia tempuh untuk menjegal Anies terbukti semuanya gagal total. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Jokowi tidak ingin Anies maju sebagai capres. Lebih tepatnya dia ketakutan Anies jadi presiden. Yang dia bayangkan bahwa mimpi buruknya bisa jadi kenyataan bila Anies presiden. Yang semakin moncer dengan jargon “perubahan”. Sehingga legacynya akan dianggap sebagai kesalahan. Dan berbagai kesalahan yang dia lakukan selama memimpin bangsa ini akan berbuntut persoalan hukum.
Kini, Anies sudah menjadikan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai pasangannya. Begitu juga Ganjar yang oleh Ketum PDI Perjuangan Megawati telah diputuskan untuk berpasangan dengan Prof. Dr. Mahfud MD. Dan keduanya sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara Prabowo terkesan masih gamang menentukan Bacawapres yang akan mendampinginya.
Menurut informasi dari beberapa elit Partai Gerindra, Prabowo akan menentukan pilihan yang tepat walaupun “in the last minutes” alias pada detik-detik terakhir. .
Selain Gibran, dia masih memiliki beberapa pilihan. Karena masih ada Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang juga Menkomarves ad interim Erick Thohir.
Batas waktu pendaftaran terakhir untuk Capres dan Cawapres semakin pendek. Karena hanya sampai tanggal 25 Oktober 2023.
Pertanyaannya, apakah dia akan memilih salah satu dari para tokoh yang disebutkan di atas atau tetap meminang Gibran sebagai Bacawapresnya?
Tentu saja banyak pihak menilai Prabowo masih galau. Bila memilih Airlangga, Yusril atau Erick, apakah dia tidak kuatir akan “dijewer” Jokowi? Kan selama ini dia selalu sesumbar “tegak lurus” bersama Jokowi. Tapi bila memilih Gibran, apakah yakin bisa menang?
Bagaimanapun, dulu, sebagai putera mahkota presiden, Gibran diprediksi bisa menambah pundi-pundi suara untuk Prabowo. Karena suara para pendukung dan pemuja Jokowi akan berlabuh pada putera sulungnya itu. Tapi belakangan, dukungan itu dianggap kian meredup. Setelah sejumlah tokoh pendukungnya mulai sadar diri dan menyatakan kecewa atas sikap dan sejumlah keputusan presiden.
Apalagi setelah MK mengeluarkan putusan yang dianggap blunder itu. Yang oleh banyak kalangan dianggap semata-mata ditujukan untuk kepentingan pencawapresan Gibran.
Gibran sudah menjadi liability. Bagi Prabowo bukannya akan jadi senjata pamungkas untuk memenangkan kontestasi. Tapi sebaliknya justru akan jadi beban yang sangat berat. Bila dipaksakan akan sulit menang, kecuali dengan merajut kecurangan. (*)