COWASJP.COM – SEMUA sudah pada tahu. Bahwa Prof. Dr. Mahfud MD (MMD) telah ditetapkan Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai Cawapres mendampingi Capres Ganjar Pranowo. Pertanyaannya, mengapa Megawati memilihnya, menyongsong Pilpres 2024 mendatang?
Tak bisa disangkal bahwa publik menilai keterpilihannya terkesan sarat dengan politik identitas. Di antaranya, karena MMD berasal dari kalangan Nahdhiyin. Atau kelompok masyarakat muslim di bawah naungan ormas Nahdhatul Ulama (NU), yang merupakan ormas Islam terbesar di negeri ini. Yaitu kelompok masyarakat muslim yang di tataran grassroot memiliki sumber daya pemilih yang sangat besar. Terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Tentu saja hal ini cukup unik dan lucu. Karena selama ini politik identitas itu seolah dijadikan momok yang sangat menakutkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dan tudingan sebagai pelaku politik identitas selama ini selalu diarahkan pada umat Islam. Yang antara lain sering dilontarkan oleh para tokoh yang berasal dari kandang PDIP dan sejumlah kalangan yang tidak suka dengan Islam politik.
Padahal dalam masyarakat beragama – apa pun agama dan kepercayaan yang dianut – faktor agama sebagai identitas politik tak dapat dihindari. Ini merupakan sebuah keniscayaan. Kalau mau lebih fair, sebenarnya dapat ditanyakan kepada mereka yang non-muslim: Bagaimana mereka menentukan pilihan dalam pemilu sejauh ini. Apakah penganut Kristen/Katholik, misalnya, tidak akan menentukan pilihan mereka berdasarkan agama yang mereka anut? Begitu juga penganut Hindu, Budha atau jenis kepercayaan lainnya.
Sebagai contoh, mungkinkah penganut Kristen/Katholik akan memilih calon anggota DPR/MPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang begitu kental keislamannya? Walaupun belum ada survey khusus soal ini, namun dari banyak fakta di lapangan, para pemilih dari kalangan non-muslim tidak akan memilih partai Islam. Tapi akan menjatuhkan pilihan mereka pada PDI Perjuangan atau partai lain yang tidak menonjolkan sisi keislamannya.
Persoalannya, negeri ini dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar beragama Islam. Tidak peduli seberapa baik kualitas keberagamaannya. Yang menyebabkan para elit politik tidak bisa menutup mata terhadap besarnya suara pemilih dari kalangan muslim.
Karenanya tidak bisa ditolak kenyataan bahwa ketua umum partai seperti Megawati pun terjebak dalam politik identitas ini. Bertolak belakang dengan kesan yang dia perlihatkan selama ini.
Bukankah begitu banyak jejak digitalnya tentang pernyataan Megawati bahwa PDIP tidak butuh suara umat Islam? Bukankah begitu banyak pemberitaan tentang Megawati yang menyinyiri keyakinan beragama umat Islam, yang dia sebut sebagai masyarakat peramal masa depan? Utamanya terkait keyakinan umat Islam soal akhirat, surga dan neraka. Termasuk ucapan usilnya terhadap kaum wanita muslimah yang rajin ikut pengajian.
Lucunya, mereka yang selama ini menolak politik identitas justru terperangkap sebagai pelaku politik identitas. Itulah yang terjadi pada Megawati saat memilih MMD. Dengan pertimbangan bahwa MMD adalah orang NU alias bagian dari kaum Nahdhiyin. Sebagai dampak dari kepanikan putri Bung Karno itu, setelah mengetahui Capres Anies Rasyid Baswedan menjadikan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Cawapresnya.
Tidak dapat dibantah, Megawati punya kekuasaan terlalu besar untuk menentukan capres/cawapres yang akan dipilih. Tidak seorang pun di jajaran petinggi dan pengurus partai yang berani membantah. ABS, asal bapak (ibu) senang. Padahal bagaimanapun Mega sudah tua. Bagi orang yang sudah lanjut usia, apalagi kaum perempuan, pertimbangan emosional kadang lebih dominan ketimbang rasional.
Pertanyaannya, setelah Megawati menetapkan MMD sebagai Cawapres Ganjar: Apakah MMD dapat menambah dulangan pundi suara bagi Ganjar? Selanjutnya, apakah dengan nama besarnya sebagai mantan Ketua MK dan Menkopolhukam MMD bisa memberikan “coat tail effect” yang positif bagi perolehan suara PDIP di parlemen nanti?
Tentu saja, dalam beberapa hal MMD memiliki nilai positif. Tapi di samping sisi positifnya MMD memiliki sisi negatif yang tak bisa ditutupi. Bandingkan saja antara sikap dan pernyataannya sewaktu masih murni sebagai akademisi dan setelah menjadi pejabat pemerintah. Terutama di masa empat tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
JEJAK DIGITAL MMD
Sebagai salah seorang tokoh penting di negeri ini, MMD memiliki jejak digital yang tak mungkin ditutupi. Pertama, sulit bisa dilupakan publik pernyataan MMD bahwa “Malaikat pun jika masuk dalam sistem saat ini akan menjadi Iblis”. Sehingga layak dipertanyakan: Apakah MMD yang sudah terjerembab dan terperangkap dalam sistem ini masih dapat dikatakan malaikat atau sudah jadi iblis?
Memegang jabatan sebagai Menkopolhukam ternyata tak banyak bisa dia perbuat untuk mengubah sistem yang buruk ini menjadi lebih baik. Yang ada justru kredibelitasnya sebagai ahli hukum dan komitmennya untuk menegakkan hukumlah yang justru berubah.
Minimal, MMD tak akan mampu bersikap adil terhadap para pelaku kejahatan. Terutama terhadap para elit partai dan pemerintahan yang terlibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Kedua, pernyataan MMD yang seolah mau membongkar korupsi senilai Rp 349 triliun di kementerian keuangan tempo hari ternyata hanya jadi bahan pencitraan semata. Artinya, dia dianggap vokal dan berani. Sehingga tokoh selevel Megawati saja kepincut. Bisa jadi ini merupakan satu hal yang mendorong Megawati menganggapnya sebagai tokoh yang layak diberi jabatan yang lebih tepat dan lebih tinggi. Padahal sejatinya Megawati tidak cermat. Tidak memahami sosok MMD secara lebih dalam, secara lebih konprehensif.
Mengapa bisa begitu?
Bagaimanapun, kalau untuk merebut suara nahdhiyin, MMD bukan pilihan yang tepat. Dia dianggap kurang Nahdhiyinnya. Masih banyak tokoh NU yang lebih pekat kenahdhiyinannya. Apalagi jika dibandingkan dengan Cak Imin. Yang ke mana pun dia berkunjung bersama Anies hari-hari ini selalu disambut lautan manusia, yang sebagian besarnya dapat disebut orang Nahdhiyin. Di Surabaya, Malang, Sidoarjo, Bandung, Bogor, Makassar dan lainnya. Sebuah prestasi besar untuk bisa menghadirkan massa ribuan bahkan jutaan orang di satu tempat. Dengan sukarela, tanpa dibayar atau diberi hadiah.
Rasanya semua itu tak mungkin bisa disaingi MMD bersama Ganjar.
Cak Imin khususnya tentu memiliki darah kenahdhiyinan yang lebih pekat ketimbang MMD. Dia adalah cicit pendiri NU, KH. Bisri Syamsuri. Sementara MMD hanyalah seorang birokrat kelahiran Madura yang memang merupakan salah satu basis NU. Tapi dibanding Cak Imin dia dianggap kurang ke-UN-annya. Dia lebih terkesan elitis, akademisi kota, kadang suka muncul angkuhnya, tidak terlalu mengakar di tataran grass root atau akar rumput masyarakat Nahdhiyin.
Ketiga, sebagai Menkopolhukam dalam pemerintahan terakhir Jokowi, tak mungkin dia tidak tahu atau tidak terlibat dalam sejumlah permasalahan yang dihadapi umat Islam paling tidak empat tahun terakhir. Misalnya, soal keputusan pemerintah membubarkan Hizbuttahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017 dan Front Pembela Islam (FPI) tanggal 30 Desember 2020. MMD barangkali tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak tahu menahu persoalan itu.
Keempat, terkait masalah dijebloskannya tokoh sentral FPI Habib Rizieq Syihab (HRS) ke dalam penjara yang penuh rekayasa. Hanya karena dia menyatakan dirinya sehat, lalu dijadikan tersangka penyebaran berita bohong. Ini terjadi menyusul kepulangan Imam Besar FPI itu ke tanah air setelah cukup lama mengungsi ke Arab Saudi. Sebelumnya, MMD sempat mengeluarkan pernyataan bahwa HRS itu bukan siapa-siapa. Seolah memancing reaksi para pendukung HRS, sehingga ribuan orang menyambutnya di Bandara Soekarno Hatta.
Dan barisan penyambut itu mengular sangat panjang sampai ke markas besar FPI di Petamburan.
Kelima, berkenaan dengan kasus terbunuhnya 6 pengawal HRS di tangan personel polisi, di KM 50 Jakarta-Cikampek, pada Senin dini hari, 7 Desember 2020. Kasus ini sudah disidangkan dan menarik perhatian publik. Tapi sejauh ini masih banyak orang yang menganggap persidangan itu dagelan. Karenanya dianggap belum tuntas.
Keenam, yang paling anyar dan sangat menarik perhatian publik. Yaitu yang menyangkut kisruh penggusuran masyarakat pribumi dan penduduk asli di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pernyataan MMD bahwa persoalan di Rempang bukanlah menggusur tapi mengosongkan. Kata-kata “mengosongkan” dan itu beda dengan menggusur yang disampaikan Menko Polhukam itu sangat menyakiti perasaan masyarakat Rempang dan rumpun etnis Melayu pada umumnya. Begitu juga bahkan masyarakat lainnya di Nusantara yang ikut merasa tersakiti melihat apa yang terjadi di Rempang.
Persoalannya, dari beberapa hal di atas MMD tak berbuat apa-apa. Sebagai pejabat pemerintah, tentu saja dia lebih memihak kepada kebijakan yang dijalankan penguasa. Tapi dia lupa bahwa semua itu sangat melukai hati dan perasaan publik. Kasus Rempang bagaimanapun telah melahirkan semangat solidaritas rumpun melayu senusantara.
Sedangkan persoalan HTI, FPI, HRS dan kasus KM 50 tidak bisa dihindari sangat melukai perasaan umat Islam. Yang akan membalaskan dendam mereka, dengan cara tidak akan memilih Ganjar-Mahfud.
Dalam hal ini, jangan dianggap HTI, FPI dan HRS itu tidak ada massa pendukungnya. Karena dalam penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 terbukti massa Islam pendukungnya sangat besar. Terutama dalam Aksi 212 yang menggelora sejak 2016. Harusnya diingat bahwa seorang tokoh bisa saja dikerangkeng dalam penjara, tapi buah pikirannya di benak para pengikutnya tidak akan pernah tenggelam. Dan organisasi bisa saja dibubarkan, tapi ideologi yang diusungnya tidak akan pernah mati. (*)