COWASJP.COM – Usianya 19, Gischa Debora Aritonang menipu modus jual tiket konser Coldplay di Jakarta. Dia beli 39 tiket, lalu dijual ke reseller dengan mengaku punya 8.000 tiket. Laku 2.268 tiket, total Rp 5,1 miliar. Dia ‘dihabisi’ di medsos. Akhirnya jadi tersangka, ditahan di Polres Jakarta Pusat.
***
UANG hasil tipu, menurut pengakuan Gischa ke polisi, dihabiskan Rp 2 miliar jalan-jalan ke Belanda kurun Mei-November 2023. Juga beli aneka barang branded yang disita polisi.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro dalam konferensi pers di Mapolres Jakarta Pusat, Senin (20/11) menjelaskan modus penipuan Gischa.
Awalnya Gischa beli tiket konser Coldplay pada Mei 2023 melalui war tiket (berebut beli tiket via online). Dapat 39 tiket. Sudah dia bayar lunas. Lalu dia melalui medsos mengumumkan, mencari reseller.
Jadi, Gischa makelar, mencari makelar. Semua tiket yang dia beli, langsung laku.
Semua tiket sudah diserahkan ke pembeli. Per tiket Gicha untung Rp 250 ribu.
Kombes Susatyo: "Kemudian GDA menawarkan kepada publik sebagai reseller dengan dalih bahwa tiket tersebut adalah tiket compliment, yang dijanjikan akan diserahkan menjelang pelaksanaan konser.”
Di sini Gischa mulai bohong. Dia mengaku punya 8.000 tiket, karena kenal ‘orang dalam’ (panitia pertunjukan). Dia sebutkan nama panitia itu (kemudian diketahui, itu nama fiktif).
Reseller Coldplay ternyata banyak dan berani modal. Mereka pesan tiket ke Gischa. Bayar langsung, sedangkan tiket dijanjikan Gischa akan diserahkan ke pembeli, sehari menjelang konser yang digelar di Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu, 15 November 2023.
Ada makelar beli mulai Rp 73 juta. Terbanyak Rp 1,35 miliar. Para makelar ini sangat berani beli tiket, bayar duluan, tiket akan diserahkan kemudian. Mungkin, karena Gischa kelihatan jujur (menyerahkan 39 tiket) pada tahap awal.
Setelah uang para reseller terkumpul, Gischa langsung jalan-jalan ke Belanda, berangkat Mei 2023. Itu diketahui penyidik dari penyitaan paspor tersangka.
Setelah itu Gischa tidak bisa dihubungi lagi, oleh para reseller yang sudah bayar. Sementara, reseller menjual tiket ke end user. Mayoritas end user juga bayar di depan, tiket dijanjikan, seperti janji Gischa ke reseller.
Ketika reseller tidak bisa menghubungi HP Gischa, mereka panik. Sementara, order dari end user terus berdatangan. Dan dilayani. Pembayaran diterima. Tiket Coldplay sangat laku.
Kian dekat hari konser, makelar pembeli tiket dari Gischa panik. Karena Gischa tidak bisa dihubungi. Teleponnya mati. Maka, beberapa hari menjelang konser, ada makelar mengumumkan ke medsos X (dulu Twitter) begini:
"Dear All costumer, dan customer saya pribadi, mohon maaf sebesar-besarnya atas kejadian yang menimpa kita semua hari ini. Saya menginfokan teman-teman semua bahwa supplier kami Ghisca Debora Aritonang telah melakukan scam/ penipuan terhadap kita semua dengan modus penjualan tiket konser compliment.”
Sejak itu heboh. Ketika konser Coldplay, memang Gischa terbukti menipu. Para pembeli tiket yang sudah bayar dan tidak bisa masuk GBK, marah. Sebagian lapor polisi sebagian tidak. Para makelar juga melaporkan Gischa ke polisi.
Ternyata, pada Senin, 13 November 2023, atau dua hari menjelang konser Coldplay, Gischa ditangkap oleh salah satu makelar yang sudah beli tiket. Gischa dibawa ke Polres Jakarta Pusat. Itu dibenarkan Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Susatyo, begini
“Pada 13 November 2023 Gischa dibawa oleh seorang makelar diserahkan ke Polres Jakarta Pusat. Lalu, kami mediasi. Tapi mereka tidak bisa berdamai. Karena Gischa tidak bisa mengembalikan uangnya.”
Waktu itu polisi mengira, cuma satu orang itu korban penipuan Gischa. Juga belum terbukti menipu, karena konser Coldplay belum digelar.
Konser Coldplay, Rabu, 15 November 2023 Gischa memang tidak bisa menyerahkan tiket. Dia memang menipu. Lalu pada 17 November 2023 pelapor membuat LP (Laporan Polisi) di Polres Jakarta Pusat.
Sejak itu Gischa ditetapkan tersangka dan ditahan. Gelar perkara dilakukan Senin (20/11) menghadirkan Gischa berpakaian tahanan Polres Jakarta Pusat. Kedua tangan diborgol. Awalnya dia mengenakan sebo (penutup kepala). Tapi kemudian dibuka. Dia terus menunduk selama gelar perkara.
Dia dijerat Pasal 378 Tentang Penipuan jo 372 Tentang penggelapan. Ancaman hukuman empat tahun penjara.
Ternyata Gischa mahasiswi Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Jakarta.
Kepala Humas Universitas Trisakti, Dewi Priandini, kepada wartawan membenarkan bahwa Gischa tercatat sebagai mahasiswi Universitas Trisakti. Bahkan di kelas internasional. Tahun masuk 2022.
Dewi: “Jadi, mahasiswa mahasiswi di kelas internasional, tiap tahun ada gathering, orang tua diundang. Orang tua diberi tahu, bahwa ini lho… anaknya sudah sampai di mana, segala macam.”
Dewi juga sudah mencari tahu, siapa Gischa. Diketahui, Gischa pernah berbohong. Itu diketahui Dewi dari para dosen yang mengikuti gathering.
Dewi: “Pada saat gathering, kata dosen, orang tua Gischa marah-marah ke dosen. Karena, kata orang tua Gischa, anaknya sudah kuliah bayar mahal, tapi pihak kampus tidak mengurusi perkuliahan Gischa. Para dosen bingung.”
Kemudian dosen memeriksa file. Akhirnya diketahui, bahwa Gischa sering tidak masuk kuliah. Sehingga orang tua Gischa merasa, tidak ada progres di perkuliahan Gischa.
Dewi: “Kesimpulan dosen, Gischa bohong ke orang tua. Melaporkan hal-hal yang tidak benar, sehingga orang tua menduga pihak kampus tidak memberikan perkuliahan. Itu juga diungkapkan dosen kepada pihak orang tua.”
“Jadi, Ghisca itu cantik. Tapi suka bohong sama males, gitu kata dosen. Para dosen tahu Gischa.”
Kini, Gischa masih terdaftar sebagai mahasiswi di sana. Tapi sudah tidak pernah kuliah. Pihak kampus sudah menghubungi telepon Gischa, dan telepon Gischa tidak aktif juga.
Dari kondisi itu, kelihatan bahwa Gischa bukan anak orang sembarangan. Setidaknya, ortu Gischa sangat cinta dan mengurus Gischa dengan baik. Mahasiswi kelas internasional di Trisakti uang kuliahnya sekitar Rp 60 juta per semester. Atau Rp 10 juta per bulan. Cuma untuk SPP.
Mengapa anak yang terurus ortu dengan baik bisa begitu? Dari segi usia, dia masih remaja. Batasan usia remaja versi World Health Organization (WHO) adalah 12 sampai 24 tahun. Gischa masih di pertengahan masa remaja.
Dikutip dari The Washington Post, 24 februari 2015, berjudul: What I’ve learned: When teens lie, dipaparkan penyebab remaja berbohong, menipu dan berbuat kejahatan. Naskah ditulis Lisa Heffernan.
Hefferman kelahiran Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS), 11 Agustus 1959. Dia peraih gelar MBA dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan School of Management di Cambridge, Massachusetts, AS. Dia melakukan riset remaja berbohong dan menipu.
Dia punya pengalaman pribadi, begini: Dulu, ketika anak laki-laki dia masih usia lima tahun, terjadi peristiwa ini. Anak itu mencoret-coret sikat gigi adiknya dengan spidol. Setelah adiknya tahu, lantas marah kepada si kayak. Tapi si kakak mengatakan, ia tidak pernah mencoret sikat gigi itu.
Hedderman: “Padahal, di tangan anak laki saya, masih ada bekas tinta spidol. Lalu saya tunjukkan bekas itu kepadanya, bahwa itu bukti ia sudah memainkan spidol. Kemudian ia berpaling muka.”
Kejadian itu masih diingat Hefferman, karena pada waktu itu dia sangat terpukul. Dia sudah mengajari anak-anaknya jujur. Terbukti, ajaran kejujuran gagal pada anak di usia balita. Hefferman gelisah, bagaimana kelak anak itu dewasa?
Ternyata, kebohongan pada anak dan remaja, biasa terjadi. Seperti halnya mayoritas anak pernah bohong kepada ortu, setidaknya sekali. Hampir tidak ada anak dan remaja yang tidak pernah bohong kepada ortu. Karena, buat anak dan remaja, kebohongan itu seru.
Hefferman mengutip Prof Nancy Darling, Guru Besar Pendidikan Anak dan remaja di Oberlin College, AS, yang menurut Hefferman sangat menarik. Dan, dia jadikan pedoman dalam mendidik anak.
Menurut Prof Darling yang dikutip Hefferman, salah satu cara membesarkan anak-anak yang dapat dipercaya adalah dengan mempercayai mereka.
Prof Darling: “Itu menimbulkan anak merasa dipercaya orang tua. Itu menginspirasi anak-anak untuk berperilaku dengan cara yang dapat menjaga kepercayaan orang tua.”
Dipertegas: “Anak-anak yang baik, dipercaya. Semakin mereka dipercaya, semakin mereka berusaha memenuhi kepercayaan tersebut, dan mereka menjadi semakin dapat dipercaya.”
Tapi itu untuk anak. Bukan remaja. Mendidik remaja tentunya lebih sulit dibandingkan terhadap anak. Tapi kalau sudah dididik sejak dini, maka tidak sulit mengajarkan kejujuran dalam keluarga. (*)