COWASJP.COM – KETIKA Anies Rasyid Baswedan mengumumkan Koalisi Perubahan dan Persatuan sebagai nama koalisi yang akan mengusungnya, Jumat (24/3/2023), banyak yang tersentak.
Pasalnya, banyak yang baru menyadari, kondisi bangsa dan negara tidak baik-baik saja. Kita butuh perubahan, agar tidak terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam.
Di tengah kehidupan bangsa yang carut-marut sekarang ini, salah satu persoalan terbesar anak bangsa adalah kesenjangan sosial ekonomi yang sudah begitu parah. Tidak hanya kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat yang kaya dan miskin, tapi juga antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dalam hal ini dapat dilihat dari ketimpangan pembangunan yang begitu lebar antara Jawa-Sumatera dan beberapa daerah lain di Indonesia bagian Timur.
Bahkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) baru-baru ini kembali menyorot masalah klasik tapi tak pernah ditangani ini. Menurut Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto, bukan rahasia lagi bahwa 1 persen warga Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.
Kita nomor 4 setelah Rusia, India dan Thailand. Lebih miris lagi, jika dilakukan hitungan kasar, 90 persen warga Indonesia hanya memperebutkan 30 persen aset nasional.
Kalau ada yang membandingkan dengan kondisi di Amerika, di mana kesenjangan ekonomi juga tinggi. Tapi harus diingat, orang yang paling miskin di sana masih bisa beli mobil dan sewa rumah. Jadi ini tidak bisa dibandingkan.
Ini perbandingan yang tidak “apple to apple”.
Kondisi sosial ekonomi yang begitu timpang, mengakibatkan tidak adanya keadilan. Dan ketiadaan keadilan memustahilkan terciptanya kemakmuran. Padahal salah satu cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana diinginkan para bapak pendiri bangsa, ialah pencapaian masyarakat adil dan makmur.
Sila kelima dalam Pancasila berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan. Termasuk juga keadilan dalam politik, hukum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial–budaya. Dan semua itu tampak sangat jauh dari kehidupan masyarakat kita sekarang.
IDE YANG MENARIK
Karenanya, tentu menarik apa yang dipaparkan Anies dalam pidatonya pada acara Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional Tahun 2023 di Komplek Majelis Az-Zikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/11/2023). Di mana dia mencanangkan program Satu Kemakmuran. Artinya satu kemakmuran untuk semua. Kemakmuran yang merata bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Tidak seperti sekarang. Ketika kemakmuran hanya dirasakan sebagian kecil orang.
Sementara sebagian besarnya hidup dalam kondisi ekonomi yang morat-marit.
Bagi masyarakat kelas menengah atas, ketimpangan itu tidak begitu dirasakan. Bahkan cenderung tidak difahami. Dan mereka juga tidak menyadari, ada kecemburuan sosial terhadap mereka dari kelompok masyarakat kelas bawah dan kaum marginal. Yang kembang kempis kehidupannya menghadapi sulitnya menjalani kehidupan. Di tengah melambungnya harga berbagai barang kebutuhan pokok. Setelah pemerintah berkali-kali menaikkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
Bagaimanapun masyarakat kelas bawah itu merupakan kelompok mayoritas. Dari waktu ke waktu jumlahnya terus bertambah. Kalaupun sempat disebutkan berkurang, tapi berkurangnya tidak signifikan. Sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka. Dan ini pada saatnya bisa menjadi bom waktu. Yang mampu melahirkan konflik sosial yang parah.
Persoalan pelik yang dihadapi anak bangsa sekarang ini dikupas secara gamblang oleh Anies. Dan hal itu tidak hanya dia kemukakan pada acara Ijtima’ Ulama dan Tokoh Nasional di Majelis Az Zikra di Sentul, Sabtu (18/11/2023), tapi juga pada beberapa kesempatan lain. Di antaranya ketika jadi pembicara pada kegiatan INDEF, Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (8/11/2023).
Harus diakui bahwa pemerintahan Presiden Jokowi terlalu fokus dalam pembangunan fisik infrastruktur. Tak bisa ditolak pula bahwa hal itu ada baiknya. Tapi bila dilihat dari kondisi masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, tentu perlu dipikirkan langkah-langkah yang lebih terarah. Untuk mengurai benang kusut masalah berbangsa yang ada sekarang.
Sebagaimana telah disinggung di muka, persoalan pelik dalam kehidupan anak bangsa sekarang bukan hanya berkenaan dengan kesenjangan kehidupan ekonomi di antara warga masyarakat. Tapi juga kesenjangan pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Belum lagi masalah penegakan hukum yang tebang pilih. Prilaku politik yang tidak mengindahkan kesantunan dan keadaban. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang tumbuh subur di kalangan elit. Dan berbagai persoalan lain, yang menyebabkan bangsa lain menganggap remeh dan menyepelekan kita.
JANGAN DIANGGAP SEPELE
Jangan dianggap beberapa hal di atas itu sepele. Bagaimana pun, seperti dituturkan Anies, balkanisasi di Yugoslavia menyebabkan negara itu terpecah jadi delapan negara. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya ketimpangan dan kesenjangan sosial antar masyarakat di masing-masing daerah. Di samping juga kesenjangan dalam hal pemerataan pembangunan. Yang menimbulkan kecemburuan sosial dan mengakibatkan terjadinya perpecahan bangsa. Yang melahirkan benturan antara satu kelompok dan kelompok lainnya.
Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi pada bangsa ini. Sejauh ini, kita masih punya perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu semboyan nasional Indonesia, “Bhineka Tunggal Ika”. Artinya, berbeda-beda tapi tetap satu.
Meski demikian, semboyan persatuan itu bisa saja dirobek-robek oleh ketiadaan keadilan dan tidak meratanya kemakmuran. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau. Dan negeri ini dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Untuk sementara waktu, persatuan dan kesatuan bangsa itu masih tetap terjaga.
Tapi bila kesenjangan ekonomi antar anak bangsa dan kesenjangan pembangunan antar daerah tidak tertangani, maka hal itu bisa jadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak.
Karena itu, kita perlu memiliki road map yang jelas dalam program pembangunan yang hendak dijalankan.
Jangan lagi terlena oleh pembangunan berpatokan angka-angka secara fisik. Terlalu sibuk dengan pembangunan infrastruktur yang hanya dapat dinikmati sebagian kelompok anak bangsa. Sementara sebagian anak bangsa lainnya yang termarjinalkan oleh keadaan hanya mampu melongo sebagai penonton. Dan penguasa terkesan acuh bahkan abai terhadap upaya human development atau pembangunan manusia seutuhnya.
Karenanya, di situlah mestinya dilakukan perubahan. Sebagaimana dikemukakan Anies Baswedan. Sehingga tercipta pemerataan dalam bidang ekonomi untuk semua anak bangsa. Dan tercipta pula pemerataan dalam pembangunan untuk setiap daerah. Sehingga satu kemakmuran bersama bisa diharapkan menjadi tujuan utama dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bila semua itu mampu dijalankan, maka pengamalan seluruh sila dari lima sila dalam Pancasila akan terjadi sebagaimana mestinya. Sehingga cita-cita bangsa untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh tumpah darah bangsa akan mampu dicapai. Insya Allah. (*)