COWASJP.COM – JAUH panggang dari api. Hasilnya: Makanan tak kunjung jadi. Seperti itulah mozaik wakaf hari ini. Faktanya banyak aset wakaf berupa lahan yang terlantar. Bahkan ada yang sampai 500 tahun!
Memang ada beragam penyebab. Tetapi kalau dirunut, hulunya adalah mindset, atau cara pandang seseorang terhadap suatu permasalahan. Demikian pula halnya dalam praktik wakaf.
Dari mindset wakaf yang dipahami nazir dan masyarakat, terbentuklah semacam pola dalam praktik wakaf. Saya coba sederhanakan pola itu dalam ilustrasi.
Dengan membaca berbagai informasi di berbagai media, saya memperoleh pengetahuan baru tentang pola wakaf produktif, yakni:
PASRAH BONGKOKAN
Dalam pola ini, pemilik aset produktif menyerahkan begitu saja kepada nazir. Mau diapakan selanjutnya dan bagaimana caranya, terserah nazir. Dalam bahasa Jawa, model ini bisa disebut model pasrah bongkokan (pasrah total apa maunya nazir).
PASRAH BABON SAK ENDOGE
Dalam pola ini, pemilik mengusahakan lebih dulu asetnya agar menjadi usaha produktif yang menghasilkan manfaat, kemudian usaha produktif berikut manfaatnya diwakafkan. Model ini bisa disebut model pasrah babon sak endoge (pasrah ayam betina berikut telurnya).
PASRAH ENDOG
Dalam pola ini, pemilik mengusahakan lebih dulu asetnya agar menjadi usaha produktif yang menghasilkan manfaat, kemudian manfaatnya yang diwakafkan. Model ini bisa disebut model pasrah endog (telur).
TOMPO RESIK
Dalam pola ini, pemilik menunjuk pihak lain yang dipandang kompeten dan profesional untuk mengusahakan asetnya agar menjadi usaha produktif yang menghasilkan manfaat, kemudian manfaatnya yang diwakafkan. Model ini bisa disebut model tompo resik (terima bersih).
Dari empat pola tersebut di atas, pola pertama (pasrah bongkokan) yang paling berisiko mangkrak. Sebab, wakif saat mewakafkan aset tidak mempertimbangkan kemampuan nazir. Sebaliknya nazir main terima saja tanpa memikirkan konsekuensi selanjutnya.
Belajar dari pola/model praktik wakaf tersebut, masyarakat dan nazir perlu mengubah mindset. Berwakaf belum sempurna hanya dengan menyerahkan aset. Berwakaf harus disempurnakan dengan menghasilkan manfaat dan berkelanjutan.
Ada contoh menarik. Sekitar 500 tahun yang lalu, seorang pejabat kerajaan mewakafkan lahan yang sangat-sangat luas. Tetapi, nazir baru bisa membangun sebuah masjid yang megah pada 2010. Betapa lamanya aset wakaf itu tertidur.
Seandainya 500 tahun lalu sudah dibangun menjadi super block, betapa besar hasilnya saat ini.
Kisah masjid di atas lahan yang tidur 500 tahun akan melengkapi bab ''Jejak Wakaf Nusantara'' dalam buku ''Best Practice Wakaf Kontemporer'' yang dijadwalkan terbit Maret/April mendatang. (*)