COWASJP.COM – KETUA Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri bercerita kali pertama terjun ke dunia politik. Mega mengawali kariernya bergabung PDI tahun 1987 atas bujukan politisi senior PDI almarhum Sabam Sirait.
Mega dicalonkan jadi anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah yang kini jadi kandang banteng. Tapi, jangan bayangkan PDI dulu kuat seperti sekarang di Jateng.
Kala itu, tahun 1987, warga PDI menyapa Mega saja pun takut takut. Bahkan saat kampanye, PDI selalu mendapat tempat kecil. ‘’Ketika itu kan mau Pemilu 1987. Kita selalu diberi lapangan karena dianggap PDI itu kecil. Dibilang partai wong cilik lah, partai sandal jepit lah,” sebut Mega dalam peringatan HUT PDI Perjuangan yang dilaksanakan secara daring, (10/1/2022).
Mega mengungkapkan, itu lantaran PDI saat itu hanya memiliki 28 kursi di Senayan. Bahkan, saat kali pertama terjun kampanye di Jateng, banyak masyarakat yang notabene simpatisan, pendukung Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan bapaknya: Bung Karno, takut menyapa. “Tapi waktu itu saya merasakan dari kejauhan, mereka melihat saya dengan sorot mata bersinar,” tuturnya.
“Saya dekati mereka. Saya salami. Mau. Saya agak lega. Oh.. ternyata mereka tidak takut pada saya, tapi khawatir pada situasional (pemerintah orba) saat itu,” papar Megawati.
Mega ingat, para simpatisan PNI itu menitipkan pesan agar dirinya terus melanjutkan perjuangan bapaknya di dunia politik. “Mereka hanya mengatakan: lanjutkan Jeng, kami bantu’,” ungkap para pengangum Bung Karno yang bangga disebut kaum Marhaen itu.
Terbukti, setelah beberapa kali kampanye, Mega merasakan antusias masyarakat mulai tinggi. Mereka tidak lagi takut datang ke lokasi kampanye PDI yang dihadiri Mega seperti kali pertama.
Truk-truk berisi massa didominasi anak muda datang. “Tapi di belakang anak muda muda tadi saya lihat dua sampai tiga orang tua. Mereka ini pasti dari kalangan PNI,” kata Megawati.
Mega menuturkan, keberhasilan dirinya terpilih menjadi anggota DPR saat itu sebagai wujud bantuan simpatisan PNI, orang-orang para pengikut ayahnya, Bung Karno.
Para simpatisan itu memberi bantuan, mengorganisir masyarakat untuk mendukung dan memberikan suaranya ke PDI saat coblosan pemilu. Mega pun berpesan kepada para kadernya, kunci utama mengorganisir dan menciptakan hubungan atau bonding pada masyarakat.
“Bukan hal mudah (mengorganisir) itu. Kalau hanya dibujuk, dipegang, bisa lepas. Tapi kalau punya bonding tidak akan lepas,” pungkasnya.
Mega kemudian terpilih menjadi salah satu anggota DPR Fraksi PDI Periode 1987-1992.
Mega mengklaim masuknya dirinya ke PDI kala itu (1987) berdampak siqnifikan pada peningkatan perolehan kursi PDI di Senayan. Tak tanggung tanggung meningkat 100 persen. Dari 28 kursi menjadi 54 kursi.
MEGA, PDIP, DAN CAKRA MANGGILINGAN
Terpisah, di hadapan peserta International Congress Asia Political Parties (ICAPP) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta 2016 silam, Megawati Soekarnoputri mengisahkan perjalanan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P).
"Saya telah memimpin partai politik PDIP dari suatu masa sangat sulit tahun 1993. Kami telah menapaki jalan terjal dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Kami dibungkam, terpuruk, bangkit, terpuruk lagi," kata Megawati, (24/4/2016).
Butuh usaha besar menghadapi segenap romantika, dinamika dan dialektika di pemerintahan maupun luar pemerintahan. Sampai akhirnya PDIP kembali memperoleh kepercayaan rakyat menjadi partai pemenang Pemilu Legislatif 1999, 2014 dan 2019.
"Itu sebabnya kami mampu mengusung sekaligus memenangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu tahun yang sama (2014). Namun perjuangan kepartaian tidak selesai dengan memenangkan pemilu. Tanggung jawab besar justru ketika berada dalam pemerintahan," tambah Mega.
Lika liku dihadapinya saat memimpin PDI yang kini menjadi PDIP seperti Cakra Manggilingan. Cakra Manggilingan sendiri bermakna kehidupan ini dinamis seperti roda berputar.
‘’Suatu saat bisa berada di atas, tapi suatu ketika juga di bawah. Sehingga diperlukan mental kuat supaya tidak merasa tinggi ketika dipuji, dan tidak jatuh ketika dimaki,’’ ingat Mega saat melantik dan mengukuhkan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) periode 2021-2026, secara virtual Sabtu (26/3/2022).
Mega mengaku kaget ketika kali pertama diminta bergabung PDI. "Kok saya diminta jadi anggota PDI ya?," kata Megawati.
GUNTUR SETUJU MEGA GABUNG PDI
Megawati lalu berkonsultasi dengan kakaknya Guntur Soekarnoputra. Sang kakak setuju dan memintanya menerima tawaran tersebut. "Kakak saya bilang masuk, masuklah kamu, dan saya masuk (gabung)," tuturnya. Megawati menyebut karier politiknya tidak mulus begitu saja.
Mega pernah dipanggil beberapa kali aparat penegak hukum. "Itu yang saya bilang tadi, hidup saya seperti Cakra Manggilingan. Pada waktu itu saya dipanggil ke polisi aja tiga kali. Juga ke Gedung Bundar (Kejaksaan Agung) dipanggil pagi sampai malam. Saya sampai tanya, sebenarnya kalian (aparat hukum) ini mau mencari dari saya apa toh?" ungkapnya.
"Jadi hidup saya ini seperti Cakra Manggilingan. Kenapa saya mampu mencapai kedudukan seperti ini (baca Ketua Umum PDIP). Seharusnya saya sudah pensiun, tetapi masih terus bekerja, karena apa? Orang melihat saya orang yang bisa bertanggung jawab dan tanggung jawab itu kelihatan. Sebagai pelaksanaan tanggung jawab, saya punya keyakinan menjalankannya. Itu karena saya punya niat," lanjut Megawati.
EROS-GUS IPUL TEMANI MEGA ZIARAH KE BLITAR
Bahkan saat awal awal masuk dunia politik tak banyak orang mau berkawan dengan Mega. Mereka takut karena Mega dan keluarganya termasuk diawasi oleh rezim Soeharto. Sedikit orang yang mau berkawan dengan Mega saat itu. Di antaranya yang mau berkawan adalah budayawan dan sutradara Eros Djarot.
Arif Afandi (mantan wartawan Jawa Pos) dalam bukunya ‘Jalan Melingkar Profesional Santri’ menceritakan, sebelum dan sesudah Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya 1993 yang menetapkan Megawati menjadi Ketua Umum PDI. Mega sering ziarah ke makam bapaknya Bung Karno di Bendogerit, Blitar.
Dulu yang sering menemani ziarah ke Blitar adalah Eros Djarot, Syaifulah Yusuf atau Gus Ipul (kini Walikota Pasuruan) dan wartawan lain yang dekat dengan Mega. Hari itu (21 Juni 1994) rombongan Mega dari Surabaya berangkat ke Blitar naik mobil yang disopiri Gus Ipul. Mega didampingi Eros Djarot.
Arif Afandi bersama M. Anis dan Budiono Darsono (keduanya wartawan tabloid DeTIK dengan mobil lainnya). Saat itu jalan tol hanya sampai di Gempol.
Di Blitar tidak banyak yang menyambut kecuali para Soekarnois yang sudah kenal dekat dengan Mega. Tak ada pejabat yang menyapa. Apalagi, perjalanan Mega ke Blitar tergolong setengah rahasia. Pengurus PDI Surabaya pun tidak tahu. Tidak seperti sekarang, setiap kali Mega ziarah ke Blitar pengurus PDI P sibuk semua. Begitu juga para pejabatnya. Sambutan terhadap Mega begitu luar biasa. Semua berebut menyambut dan menyapa. Juga menyiapkan jamuan di Pendapa Kabupaten atau Balai Kota.
TABLOID DETIK, MAJALAH TEMPO DAN EDITOR DIBREDEL
Setelah ziarah, rombongan Mega kembali ke Surabaya. Rencananya Mega akan meneruskan perjalanan politiknya ke Makassar. Saat itu jaringan HP belum sampai ke pelosok. Saat tiba sore hari Mega menginap di Hyatt Hotel di Surabaya. Waktu itulah tersiar kabar mengejutkan bahwa tabloid DeTIK, majalah Tempo dan majalah Editor dibredel.
Eros Djarot dan Budiono sebagai pendiri tabloid DeTIK kalang kabut. Mereka kontak dengan wartawan Jakarta.
Mega yang saat itu duduk di ujung tempat tidur hanya diam. Menunggu Eros dan kawan kawan pers yang lagi tegang.
‘Terus bagaimana mbak?’’ tanya Eros. Mega tak langsung menyahut. Diam.
‘’Saya nggak usah ke Makassar. Kita semua kembali ke Jakarta,’’ ujar Mega.
Hanya itu kata yang keluar dari mulut Mega.
Makanya, begitu Arif Afandi bakal calon wakil wali kota Surabaya mendampingi cawali Bambang DH dikenalkan Sekjen almarhum Sutjipto pada Megawati di ruang VVIP Bandara Juanda, Mega langsung ingat muka Arif. ‘
’Mbak, ini lho calon mantennya. Yang akan mendampingi Pak Bambang di Surabaya,’’ ujar pak Tjip.
Sejenak Mega menatap Arif. ‘’Lho, kalau ini ya sudah kenal lama,’’ ujar Mega tergelak.
Pada akhir 1993, sebagai Ketua PDI, Mega juga melakukan kunjungan ke Kabupaten Biak Numfor. Kebetulan saat itu penulis menjadi wartawan Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group) bertugas di Biak selama setahun.
Mega didampingi Sabam Sirait anggota DPR RI periode 1977-1982 dari daerah pemilihan Irian Jaya merangkap Sekjen PDI. Selama di Biak tak banyak aktivitas yang dilakukan Mega dan Sabam. Mereka hanya nyekar di taman makam Pahlawan di Biak. Bus tampak melompong karena hanya diisi Mega, Sabam, Sekretaris PDI Biak Numfor dan penulis. Hanya empat orang plus sopir. Tidak ada pejabat setempat yang menyambut apalagi menemani selama Mega di Biak.
Mega juga enggan diwawancarai. Setelah itu rombongan Mega mampir ke rumah Sekretaris PDI, seorang guru SD berasal dari NTT untuk makan siang. Lauknya sederhana ikan laut, ikan teri dengan sayur asem. Juga ada tahu, tempe, sambal.
Mega tampak lahap saat makan. ‘’Wah…. enak. Seger makan siang siang begini,’’ puji Mega. Isteri sekretaris PDI Biak yang orang Jawa hanya tersenyum. ‘’Matur nuwun Bu,’’ ujar sang istri sambil merendahkan badannya. Dia begitu takzim sama Mega.
Pengalaman tak enak juga dialami Mega saat awal menerjuni dunia politik. Pernah melakukan kunjungan ke kantor redaksi Jawa Pos (waktu itu masih di Jalan Karah Agung Surabaya).
Kata Didiek Pudji Yuwono, senior Jawa Pos, seperti dikutip dalam buku Konflik Jawa Pos karya Bahari: "Saat itu Megawati Soekarnoputri belum ‘’menjadi’’ orang, sempat bertandang ke kantor JP. Saatbmasih berkantor di Karah Agung. Megawati saat itu belum bersinar, meski anak sang proklamator Soekarno. Itu karena Mega baru menggeluti dunia politik. Dia yang belum populer sowan ke kantor Jawa Pos di jalan Karah Agung."
SARAN DAHLAN ISKAN KEPADA MEGA SALAH TOTAL!
Saat berdiskusi dengan redaksi, Dahlan Iskan saat itu Pimred yang kemudian menjadi salah satu pemilik JP menyarankan Megawati sebaiknya tidak terjun ke dunia politik. Cukup menjadi ibu rumah tangga saja.
Entah, apa pertimbangan yang mendasari Dis menyarankan Mega seperti itu?
Apa yang terjadi kemudian? Kita semua tahu: saran Dahlan Iskan salah total!
Benar, Soeharto saat itu sangat kuat. Benar juga, Soeharto saat itu sangat membatasi, membonsai bahkan menutup peluang anak anak Bung Karno terjun ke dunia politik praktis. Soeharto tidak mau pengaruh bapaknya (Bung Karno) yang begitu besar akan menitis ke putra putrinya.
Apalagi, masyarakat Indonesia begitu mengidolakan proklamator Bung Karno.
Tak hanya generasi tua, mereka para generasi baru yang tidak pernah melihat kiprah langsung BK, tidak pernah mengenal apalagi berjumpa Bung Karno, malah ikut meng-idolakan dan menggandrunginya.
Itu yang hendak dicegah mati matian oleh rezim Soeharto. Karena bisa merepotkan orde baru. Apalagi, saat itu Soeharto sudah mengkader putri sulungnya Mbak Tutut untuk meneruskan klan kekuasaan Cendana.
Apakah Dis tidak tega melihat Megawati nantinya ‘’dikuyo kuyo’’ oleh rezim orde baru begitu masuk politik praktis. Atau, ada pertimbangan lain? Kata Didiek, apa pun alasannya saran itu seyogyanya tidak perlu disampaikan secara vulgar, karena bisa menyinggung perasaan Megawati.
Seperti sempat dikeluhkan seorang yang menyertai Mega. ‘’Mosok (masak) bosmu (Dis) menyarankan begitu (agar Mega jadi ibu rumah tangga saja),’’ keluh Heri Akhmadi yang kini dipercaya menjadi Dubes RI untuk negara Jepang ke Didiek Pudji Yuwono.
Tapi, Megawati bergeming. Saat Kongres PDI di Medan, nama Megawati mulai muncul. Setelah Kongres PDI ricuh dan dialihkan ke Surabaya. Dalam Kongres PDI Luar Biasa di Surabaya, kader PDI yang emoh didikte Soeharto sekaligus sebagai simbol perlawanan terhadap penguasa orde baru, lantas memunculkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon Ketua Umum PDI.
MEGA MULAI MONCER
Ternyata sambutan masa banteng luar biasa. Akhirnya, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Sedangkan rezim Soeharto lebih mengakui Soerjadi sebagai Ketua PDI versi lain.
Kembali ke soal perjalanan memimpin PDIP, Mega menjelaskan bahwa tujuan mendirikan dan membangun partai politik, bukan sekadar mengejar kekuasaan. Meski dia mengakui kekuasaan sangat penting sebagai alat melapangkan perjuangan menyejahterakan rakyat.
Setelah melalui perjuangan keras, jalan mendaki penuh onak dan duri serta melewati masa masa sulit, lanjut Mega, kini partainya tinggal memetik hasil perjuangan panjang.
Ironisnya, Mega juga melihat banyak orang masuk ke PDI P, namun tak paham sejarah dan perjuangan partainya yang kini mencapai kesuksesan.
"Mereka yang masuk (PDI) banyak yang tidak tahu dan mengerti sejarah PDI. Tapi, kan selalu saya ritualkan, saya bacakan, saya omongkan terus, bahwa tanpa semangat berjuang, semangat mandiri dan lainnya tak akan mungkin (PDI) jadi seperti sekarang," ujar Megawati dalam sambutannya di peringatan HUT Kemerdekaan ke-76 RI yang digelar DPP PDIP.
Mega mengingatkan, dulu PDIP sempat diremehkan sebagai partai kecil, disebut partai gurem. Bahkan disebut partai sendal jepit. "Alhamdulillah kita bisa dua kali menjadi pemenang pemilu. Ditambah pemilu 2019. Total tiga kali PDIP menang pemilu legistatif dari partai yang dulu selalu disebut partai rakyatlah, partai sendal jepitlah, partai gurem," kenang Megawati.
Kini, PDIP mencapai masa kejayaannya. Selain memenangi tiga pemilu legistatif tahun 1999, 2014, 2019, kader PDIP juga menduduki jabatan top eksekutif alias presiden.
Mega menjadi presiden 2001-2004, disusul Joko Widodo kader PDIP yang juga petugas partai menjabat presiden dua periode 2014-2019 dan periode kedua 2019-2024.
PARA JENDERAL RELA ANTRE JADI CALEG
Dulu orang takut menyapa dan berkawan dengan Mega karena posisinya diperlemah juga dimusuhi rezim Soeharto. Kini, setelah PDIP berjaya banyak kalangan ingin berkawan dengan Mega dan bergabung PDIP. Tak terkecuali para purnawirwan jenderal baik Polri maupun TNI.
Mega sendiri kini mengklaim banyak jenderal ingin bergabung ke partai yang dipimpinnya.
Mulanya Mega mengenal Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Andi Widjajanto yang dikenal Mega sejak kecil. Itu karena Mega kenal Mayor Jenderal TNI Purn Theo Syafei yang sudah bergabung saat PDIP berdiri. Menurut Mega, saat itu masih sedikit jenderal bergabung di PDIP.
"Saya kenal beliau (Andi Wijayanto) dari kecil, karena bapak beliau Mayor Jenderal TNI Purn Theo Syafei, salah satu jenderal, yang waktu itu bergabung ke partai saya," kata Megawati dalam sambutannya di Gedung Lemhanas, Jakarta, Sabtu (20/5/2023).
Kini, lanjut Mega, keadaan telah berubah. Kini, banyak jenderal mau bergabung ke PDIP. Salah satunya menjadi caleg. "Sekarang banyak banget loh, jenderal yang mau masuk ke PDIP," ujarnya.
Seperti diketahui, sejumlah purnawirawan jenderal TNI dan Polri didaftarkan sebagai bakal calon legislatif PDIP di Pemilu 2024. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sempat mengungkapkan ada 17 bakal caleg berasal dari kalangan purnawirawan jenderal TNI-Polri.
Mereka diantaranya Mayjen Purnawirawan TB Hasanuddin dan Mayjen Purnawirawan TNI Mar. Sturman Panjaitan SH, mantan Kepala BNPB Letjen TNI Purnawirawan Ganip Warsito, Laksamana Muda TNI Purnawirawan Yuhastihar, mantan Sekjen Kemhan Laksamana Madya Purnawirawan Agus Setiadji.
Lalu, ada nama Mayjen TNI Marinir Purnawirawan Frederikus Saud Tambatua, Mayjen TNI Purnawirawan Andi Gunawan Pakki, dan Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Joppye Onesimus Wayangkau.
Sementara dari unsur jenderal Polri ada Irjen Pol Purnawirawan Maruli Wagner Damanik, dan Brigjen Pol Purnawirawan Wagiman. Selain itu ada dua nama petahana, yakni Irjen Pol Purnawirawan Safaruddin dan Komjen Pol Purnawirawan Muhamad Nurdin yang akan kembali maju.
MEGAWATI PEREMPUAN PALING KUAT INDONESIA
PRESIDEN kelima Republik Indonesia (2001-2004) Megawati Soekarnoputri disebut sebut sebagai wanita paling kuat di Indonesia saat ini. Itu tidak mengada-ada. Sejak terjun ke politik 1987 atas bujukan politisi kawakan almarhum Sabam Sirait, bintang Adis sapaan akrab Mega terus bersinar.
Mega pun menjelma menjadi bintang baru Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Massa Soekarnois, pengagum dan pendukung Bung Karno pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) seakan bernostalgia atas kehadiran Mega di kancah politik Indonesia.
Selain Mega, Guruh Soekarnoputra anak ragil Bung Karno dari istri Fatmawati juga masuk daftar caleg PDI saat itu.
Meski di Pemilu 1987 perolehan PDI di urutan nomor buncit di bawah Partai Golkar dan PPP, tapi Mega berhasil menembus Senayan. Dia menjadi wakil rakyat DPR RI sekaligus merangkap anggota MPR periode (1987-1992).
Di Pemilu 1987 Mega tak lolos ke Senayan, tapi tetap menjadi anggota PDI. Pada bulan Desember 1993, PDI mengadakan kongres nasional di Medan. Rezim orba selalu cawe cawe. Tiga kandidat bersaing.
Petahana Soerjadi menjadi kritis terhadap pemerintah. Kedua, Budi Harjono sosok yang ramah pada pemerintah didukung rezim orba. Ketiga, Megawati yang pencalonannya dapat dukungan luar biasa dari peserta kongres.
Namun kongres ditutup tanpa terpilihnya ketua umum. Akhirnya, digelar kongres luar biasa (KLB) di Surabaya. Mega secara de fakto mendapat dukungan peserta kongres. Kongres hanya menanti formalitas pengesahan Mega.
Rezim orba yang tidak menghendaki Mega terpilih menunda upaya mengadakan pemilihan. Kongres menghadapi tenggat waktu ketika izin mereka berkumpul akan habis.
Saat jam-jam berlalu hingga akhir kongres, pasukan mulai berkumpul. Saat tenggat waktu tinggal dua jam, Mega menggelar jumpa pers dan menyatakan sebagai Ketua PDI (1993-1998) karena secara de facto mendapat dukungan mayoritas peserta kongres PDI.
Pemerintah marah karena gagal mencegah kebangkitan Megawati. Rezim Soeharto tak pernah mengakui Megawati sebagai ketua umum PDI. Meski pengangkatannya disahkan tahun 1994 dalam musyawarah PDI.
Tahun 1996 pemerintah mengadakan kongres nasional khusus di Medan yang memilih kembali Soerjadi sebagai ketua PDI. Megawati dan kubunya menolak mengakui hasil Kongres Medan dan PDI Soerjadi. PDI terbelah: kubu pro-Megawati dan kubu pro Soerjadi.
Soerjadi mengancam merebut kembali Markas Besar PDI di Jakarta yang dikuasai massa Mega. Sabtu pagi 27 Juli 1996 masa pendukung Soerjadi didukung Pemerintah mengambil paksa kantor PDI. Massa pro Mega yang bertahan mencoba melawan. Terjadi bentrok yang memicu kerusuhan di Jakarta.
Catatan Komnas Ham sedikitnya lima korban tewas. Peristiwa itu dikenal sebagai Kudatuli.
LAWAN SOEHARTO, MEGA DUKUNG PPP
PDI Mega tidak bisa ikut pemilu 1997. Sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa, Megawati dan pendukungnya memberikan dukungan mereka di belakang Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Suara PPP naik drastis, meski tetap kalah dari Partai Golkar. Lalu muncul jargon Mega Bintang.
Tahun 1998 rezim Soeharto tumbang. Tahun 1999 Megawati meneruskan perjuangan politiknya dengan mengubah PDI menjadi PDI Perjuangan.
Dalam pemilu 1999 PDI P menjadi pemenang pemilu. Sejak itu perlahan Mega menjadi salah satu politikus paling berpengaruh di tanah air. Mega dalam kongres PDIP yang digelar setiap lima tahunan selalu ditetapkan menjadi ketua umum PDI P secara aklamasi. Mulai 2000-2005, 2005-2010, 2010-2015, 2015-2020, 2020-2025.
Hebatnya Mega juga diberi hak prerogatif menentukan capres dan cawapres PDIP di setiap pilpres. Itu yang tidak dimiliki ketua umum parpol lainnya. Hak prerogatif yang diberikan pengurus PDIP membuat Mega begitu powerfull di partai yang dipimpinnya.
Kalau dihitung sejak 1993 saat masih PDI, berarti Mega sudah menjadi ketua umum 30 tahun. Mega menjadi penguasa partai terlama di Indonesia.
Megawati sendiri mengaku heran kenapa kader partai Banteng selalu memilihnya sebagai ketua umum. "Tak bosan-bosan orang milih saya," ujar Megawati dalam pidato wawasan kebangsaan di acara Purna Paskibraka Indonesia, Balai Sarbini, Jakarta, 10 November 2018.
Mega bercerita, sempat ada orang bertanya bagaimana bisa menjadi ketua umum partai selama ini. Dia mengatakan, orang itu bertanya apakah menjadi ketua umum harus menggunakan uang agar para kader mau memilih kembali. "Ya enggak! Saya tak punya uang. Ya.. mau jadikan saya syukur, enggak ya sudah. Kok susah amat," katanya.
Mega menuturkan pengalamannya, menjadi ketua umum partai hingga umurnya kini berusia 71 tahun (pada 2018) sempat membuatnya malu. Hal ini, kata dia, terjadi ketika berkumpul bersama ketua umum partai-partai lain yang usianya berjarak cukup jauh. "Saya malu sendiri, karena umur saya plus 17 (baca dibalik 71)," ucap Mega disambut gelak tawa.
JAGO MENARI SAMPAI MAIN BOLA
SIAPA sosok Megawati sebenarnya? Megawati Soekarnoputri dikenal sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia. Dialah sosok presiden perempuan pertama RI, dan masih menjadi satu-satunya presiden perempuan sejak Indonesia merdeka hingga saat ini.
Sebelumnya, Megawati merupakan Wakil Presiden ke-8 RI di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Megawati berhasil mengikuti jejak sang ayah, Soekarno, duduk di kursi pemerintahan tertinggi.
Mega lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Ia merupakan putri sulung pasangan Soekarno dan Fatmawati. Adik Guntur Soekarnoputra. Sebagai putri presiden, kehidupan masa kecil Mega banyak dilewatkan di Istana Negara.
Dikutip dari laman Perpustakaan Nasional RI, Megawati begitu lincah dan suka main bola bersama saudaranya, Guntur Soekarnoputra, sejak masa kanak-kanak. Sebagai anak gadis, dia gemar sekali menari. Kesenangan Mega ini sering ia tampilkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Ia juga pernah belajar di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967), dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Namun sayang mrotholi. Putus di tengah jalan. Tidak sampai lulus seiring lengsernya Ayahandanya Presiden Soekarno sekitar 1967.
Kehidupan pribadi Megawati pada awalnya menikah dengan pilot berpangkat Letnan Satu Penerbang TNI AU bernama Surindro Supjarso.
Dari pernikahan itu, ia dikaruniai dua putra bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama. Dalam suatu tugas militer di tahun 1970, Surindro bersama pesawat militernya hilang di kawasan Indonesia Timur. Peristiwa itu tentu menjadi derita bagi Megawati. Apalagi, kedua buah hatinya masih kecil.
Mega lalu menikah dengan Hassan Gamal Ahmad Hassan, seorang diplomat asal Mesir. Namun umur pernikahan berjalan cukup singkat. Mereka tidak dikaruniai anak.
Tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria asal Ogan Komiring Ulu, Palembang, bernama Taufik Kiemas, yang lantas menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2009-2013.
Kehidupan Mega dan Taufiq bertambah bahagia dengan lahirnya buah hati mereka, Puan Maharani, yang kemudian menjabat sebagai Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) periode 2014-2019 dan Ketua DPR RI sejak 2019.
Masuknya Mega ke kancah politik telah mengabaikan kesepakatan keluarganya. Karena trauma politik di masa sebelumnya, putra-putri Soekarno pernah bersepakat tidak lagi terjun ke dunia politik.
Sebelum bergabung ke partai, Megawati beserta suaminya Taufiq Kiemas adalah seorang pengusaha pengelola SPBU di Jakarta.
Masuknya Megawati ke partai politik bermula dari pertemuannya dengan Sabam Sirait sekitar tahun 1980, saat itu tak satu pun keluarga Soekarno tampil di dunia politik.
Awalnya Mega menolak masuk dunia politik, bergabung ke partai, namun Sabam membujuk Megawati melalui suaminya Taufik Kiemas. Akhirnya Megawati memutuskan melanggar kesepakatan keluarga dan terhitung pada 1987, Megawati dan adiknya Guruh Soekarnoputra, masuk dalam daftar calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kala itu, Mega dianggap sebagai pendatang baru di kancah politik. Namun, dia kemudian menjadi primadona dalam kampanye PDI. Upaya Mega saat itu berhasil. Suara PDI naik, Megawati pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR.
Pada 1993, Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI melalui Kongres di Surabaya.
Namun, terjadi konflik internal. Soerjadi yang sebelumnya menjabat Ketua Umum PDI tidak mau kalah. Soerjadi dan kelompoknya disokong rezim Soeharto lantas membuat kongres tandingan PDI di Medan. Dari situ disepakati bahwa Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI terhitung sejak 22 Juni 1996.
Di sisi lain, Megawati tak mau kalah. Ia menyatakan tidak mengakui Kongres Medan dan menegaskan bahwa dirinya Ketua Umum PDI yang sah.
Dualisme kepemimpinan pun tak terhindarkan. Konflik ini berujung bentrok antara masing-masing pendukung di Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1966, yang lantas disebut sebagai peristiwa Kudatuli.
Namun demikian, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997.
Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI pimpinan Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan.
PEMENANG PEMILU LEGISLATIF 1999
Pembatasan politik terhadap Megawati terhapus dengan sendirinya setelah rezim Soeharto tumbang. Pada Oktober 1998, para pendukung Mega mengadakan Kongres Nasional di mana faksi PDI Megawati sekarang dikenal sebagai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Megawati terpilih sebagai Ketua Umum dan dicalonkan sebagai calon presiden PDI-P.
Pada November 1998, Megawati bersama Gus Dur, Amien Rais dan Sultan Hamengkubuwono X menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan reformasi melalui Pernyataan Ciganjur.
Pada bulan Juni 1999, digelar pemilihan legistatif. Hasilnya: PDI-P menjadi pemenang dengan perolehan 33% suara.
Dengan kemenangan pileg tersebut, prospek Megawati terpilih menjadi presiden sangat terbuka. Meski itu ditentang PPP yang tidak menginginkan presiden perempuan.
Untuk persiapan Sidang Umum MPR 1999, PDI-P membentuk koalisi longgar dengan PKB. Menjelang Sidang Umum MPR, sepertinya pemilihan presiden akan diperebutkan Megawati dan Habibie, tetapi pada akhir Juni, Amien Rais berhasil mengkonsolidasikan partai-partai Islam ke dalam koalisi yang disebut Poros Tengah.
Pemilihan presiden menjadi perlombaan tiga arah ketika Amien melontarkan gagasan mencalonkan Gus Dur sebagai presiden.
Pemilihan Presiden oleh MPR. PDI-P koalisi dengan PKB. Megawati menghadapi ujian pertamanya ketika MPR berkumpul memilih Ketuanya. Megawati memberikan dukungannya di belakang Matori Abdul Djalil, Ketua PKB. Tapi, Matori dikalahkan habis-habisan oleh Amien Rais, yang mendapat dukungan Poros Tengah juga didukung Golkar.
Koalisi Golkar dan Poros Tengah kembali menggebrak saat mengamankan pemilihan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR.
Pada tahap ini, masyarakat menjadi khawatir Megawati yang diklaim paling mewakili kelompok reformasi akan dihalangi proses politik dan status quo akan dipertahankan.
Pendukung PDI-P mulai berkumpul di Jakarta.
Karena pidato pertanggungjawaban Habibie tidak diterima yang membuatnya mundur sebagai calon presiden.
Pemilihan presiden dilaksanakan 20 Oktober 1999 oleh MPR hanya mengajukan dua calon Megawati dan Wahid atau Gus Dur. Saat penghitungan suara, Megawati memimpin lebih dulu, tetapi disusul dan kalah dengan 313 suara dibandingkan dengan 373 suara Wahid.
Kekalahan Megawati memicu amarah para pendukungnya. Tak ayal kerusuhan pecah di berbagai kota pendukung Megawati di Jawa dan Bali.
Keesokan harinya, MPR berkumpul kembali untuk memilih wakil presiden. PDI-P sempat mempertimbangkan untuk mencalonkan Megawati, tetapi khawatir koalisi Poros Tengah dan Golkar akan kembali menggagalkannya. Sebaliknya, PKB
mencalonkan Megawati. Dia menghadapi persaingan ketat dari Hamzah Haz, Akbar Tanjung dan Jenderal Wiranto.
Sadar akan kerusuhan berulang jika Mega gagal jadi wapres, maka Akbar dan Wiranto memilih mundur. Hanya Hamzah Haz tetap bertahan. Akhirnya, Megawati mengalahkannya dengan suara 396 berbanding 284.
Dalam pidato pelantikannya, Mega menyerukan ketenangan.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Presiden Gus Dur dan Megawati sebagai Wakil Presiden Capres memiliki hubungan ambivalen. Misalnya, pada reshuffle Kabinet Agustus 2000, Megawati tidak hadir untuk mengumumkan susunan kabinet baru. Pada kesempatan lain, ketika gelombang politik mulai berbalik melawan Gus Dur, Megawati membelanya dan mengecam para kritikus.
Pada tahun 2001, Megawati mulai menjauhkan diri dari Gus Dur ketika Sidang Istimewa MPR mendekat dan prospeknya menjadi presiden meningkat. Meski menolak berkomentar secara spesifik, Mega menunjukkan tanda-tanda mempersiapkan diri, mengadakan pertemuan dengan para pemimpin partai sehari sebelum Sidang Istimewa dimulai.
Pada tanggal 23 Juli 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencopot Gus Dur dari jabatan presiden lalu mengangkat Megawati sebagai presiden baru. Dengan demikian, Mega menjadi wanita keenam yang memimpin negara berpenduduk mayoritas Muslim
. Kala itu, presiden belum menggunakan sistem pemilihan langsung, melainkan dipilih MPR.
Setelah menuntaskan masa tugasnya sebagai orang nomor satu di Indonesia pada 20 Oktober 2003, Megawati menjajal peruntungannya di Pilpres 2004 berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Namun, dia dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla yang tak lain adalah dua menteri Mega di Kabinet Gotong Royong.
Mega kembali mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto di Pilpres 2009. Namun, lagi-lagi dia dikalahkan SBY yang menggandeng Boediono. Kini, Megawati masih duduk di tahta tertinggi PDI-P sebagai ketua umum. Sejumlah jabatan lain juga diemban Mega seperti Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), hingga Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
PERISTIWA KUDATULI JADI BERKAH BAGI MEGA
Pada 23 Juli 1996, Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidatonya sebagai Ketua Umum PDI setelah terjadinya Kongres PDI tandingan yang menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Momen ini menandai perjalanan penting Megawati dalam politik Indonesia karena empat hari kemudian terjadi peristiwa yang dikenal sebagai Kerusuhan 27 Juli alias Kudatuli.
Peristiwa itu menjadi berkah bagi Mega dengan makin banyaknya orang bersimpati pada perjuangan putri Bung Karno tersebut.
Mengapa Megawati bisa menjadi sangat kuat dan faktor apa yang membedakannya dibanding para ketua umum parpol lain?
SELAIN nama besar Soekarno melekat pada Megawati, nyatanya, secara personal Mega memiliki karakter kepemimpinan cukup unik. Ia mengetahui dirinya mempunyai keterbatasan, kelemahan sehingga menggunakan kelebihannya dalam menghubungkan satu pihak dengan pihak lain, serta menarik sosok-sosok hebat untuk membantunya.
Shahla Haeri dari Boston University dalam bukunya The Unforgettable Queens of Islam membahas Megawati dengan menyebutnya sebagai “Limbuk yang menjadi Ratu”. Bagi yang belum tahu, Limbuk adalah salah satu karakter di dunia pewayangan.
Salah satu ciri utama Limbuk karena statusnya sebagai perempuan di lingkungan kekuasaan. Ia tak banyak bicara dan cenderung tidak dianggap. Mungkin ini mirip dengan status Megawati awalnya tak dianggap sebagai sosok pemalu dan tak pandai berbicara di hadapan publik.
Namun, sosok Limbuk ini berubah menjadi ratu – demikian kata Shahla Haeri. Itulah Megawati. Dan dalam konteks melihat kelemahan-kelemahan dirinya, Megawati nyatanya mampu membangun lingkaran pendukung di sekitarnya yang berisi orang-orang yang loyal dan punya kemampuan mendukung kekuasaannya.
David Jelinek dalam tulisannya Why Smart People Surround Themselves with Smarter People, menyebut terdapat pola mendasar dari kesuksesan, yakni menempatkan orang-orang pintar di sekeliling kita. Tulis Jelinek, mungkin hampir tidak ada orang menjadi sukses tanpa bantuan.
DIDESAIN INTELIJEN JADI KUAT
Ada tiga alasan lagi yang membuat Megawati begitu kuat.
Pertama, Megawati tampaknya merupakan politikus yang memang didesain menjadi kuat.
Dalam artikel berjudul Operasi Intelejen di Balik Lahirnya PDIP, telah dijabarkan terdapat operasi intelijen menempatkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI.
As’ad Said Ali dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri, mengemukakan, terdapat manuver intelijen militer di balik pencalonan Megawati sebagai Ketua Umum PDI di era akhir Orde Baru. Upaya manuver ini, menurut As’ad, adalah upaya otokritik yang muncul di tubuh militer terhadap Soeharto.
As’ad menyebut beberapa tokoh militer melakukan manuver, baik langsung maupun tidak langsung pada pencalonan Megawati. Mereka adalah Jenderal LB Moerdani, Mayjen Syamsir Siregar, dan Pangdam V Jaya saat itu Jenderal A.M. Hendropriyono.
Kedua, Megawati berhasil mengkapitalisasi modal politiknya dengan menempatkan sosok-sosok loyal di pos-pos penting sejak dirinya menjadi Wakil Presiden, kemudian Presiden, termasuk hingga saat ini. Ini mencakup jabatan di pemerintahan, kepolisian, militer, DPR, bahkan termasuk juga di lingkungan para pengusaha.
Poin ini juga disebutkan oleh Kikue Hamayotsu dan Ronnie Nataatmadja dalam tulisan yang berjudul Indonesia in 2015: The People’s President’s Rocky Road and Hazy Outlooks in Democratic Consolidation. Menurut mereka, Megawati menempatkan orang-orang favoritnya di jabatan-jabatan strategis untuk memengaruhi kebijakan.
Selain itu, Megawati juga dikenal setia dengan orang-orangnya, sekalipun mereka tertimpa kasus hukum atau sejenisnya. Kiranya ini yang membedakan Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketika kasus korupsi menimpa Partai Demokrat, pamor SBY dan partai mercy langsung berantakan. Tapi tidak dengan PDIP, dihantam kasus korupsi macam kasus bansos pun, nyatanya partai banteng tetap saja kuat.
Dan faktor ketiga, keberhasilan marketing
politik, baik secara personal maupun dalam konteks PDIP sebagai partai politik. Setidaknya sejak 2014, PDIP banyak bekerja sama dengan para pakar marketing. Salah satunya Hermawan Kartajaya kerap memberikan kelas di sekolah partai PDIP.
Bagi yang belum tahu, Hermawan Kartajaya adalah begawan marketing yang mempunyai nama besar hingga di level internasional. Penulis buku Trilogy Marketing X. Beliau adalah pendiri dan Executive Chairman dari MarkPlus, Inc. perusahaan konsultan manajemen berdiri sejak 1990.
Well, secara garis besar faktor-faktor itulah yang membuat Megawati dan PDIP menjadi sangat kuat. Konsolidasi internal yang mumpuni, juga karena faktor almarhum sang suami Taufiq Kiemas yang bisa menjadi penghubung Megawati ke banyak pihak menjadi faktor tambahan lainnya.
Yang jelas, Megawati masih akan menjadi sosok elite politik terkuat di Indonesia di waktu-waktu mendatang.
Kalau berhasil kembali mendorong sosok yang terpilih menjadi Presiden di 2024 dan membawa PDIP kembali menguasai Senayan, maka mungkin layak menyebut Megawati sebagai sosok tak terkalahkan.
KONSISTENSI DAN MISTERI KEPEMIMPINAN MEGAWATI
MEGAWATI kini menjelma menjadi sosok orang kuat Indonesia. Putri Bung Karno itu berhasil mengendalikan, memimpin PDI Perjuangan selama kurang lebih 40 tahun. Terhitung sejak 1983 Mega lewat Kongres Luar Biasa (KLB) PDI pada 2-6 Desember 1993 di Surabaya didapuk secara de facto oleh kader partai menjadi Ketua Umum PDI. Lalu lewat Munas PDI Jakarta 1994, Mega dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI 1983-1998.
Setelah Soeharto tumbang, Mega mengubah PDI menjadi PDI Perjuangan pada 1999. Mega kembali dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan 2000-2005 saat Kongres PDI P di Semarang.
Selanjutnya dalam siklus lima tahunan Kongres PDI P, Mega selalu ditetapkan Ketua Umum PDI P secara aklamasi. Mega juga diberi hak veto menetapkan nama capres-cawapres PDI P setiap ada pergelaran pemilu. Hak veto itu yang tidak dimiliki ketua umum parpol lainnya.
Mega menjadi orang kuat. Tak hanya di PDIP tapi juga dalam perpolitikan Indonesia. Selain mengantar PDIP memenangi pemilu legislatif 1999, 2014 dan 2019, Mega juga terpilih menjadi presiden 2001-2004 menggantikan Gus Dur.
Mega juga mengantarkan kader PDI P Joko Widodo menjadi presiden dua periode (2014-2019 dan 2019-2024). Juga tak terhitung mengantar ratusan kader PDIP menjadi bupati, walikota, gubernur dan pejabat publik lainnya di pelosok Nusantara. Sampai kini Mega masih ‘’berkuasa’’ atas PDIP.
Bagaimana pandangan, komentar para tokoh terhadap sosok Megawati selama berkiprah dalam jagat perpolitikan Indonesia?
Chairman sekaligus Founder CT Corp Chairul Tanjung biasa disapa CT menilai Megawati merupakan perempuan luar biasa yang sangat konsisten.
Itu disampaikan CT dalam acara 'Ngobrol untuk Indonesia Maju' bersama Total Politik di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, (27/8/2023).
CT menyebut Megawati merupakan perempuan luar biasa dan sangat konsisten.
Megawati Soekarnoputri pada HUT PDI Perjuangan ke-26 di Surabaya, Minggu (7/3/1999). Hari itu praktis Surabaya menjadi “milik” Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. (FOTO: KOMPAS/ JOHNNY TG)
"Jadi yang pasti, satu dari Bu Mega itu perempuan sangat luar biasa. Kenapa? Konsisten prinsipnya, beliau ini konsisten," kata CT.
CT menganggap Megawati selalu teguh pada pendiriannya. Menurutnya, itu yang menjadi faktor keberhasilan Megawati saat ini.
"Saya selalu bilang kepada teman jurnalis, Bu Mega ini salah satu tokoh yang istiqomah. Artinya konsisten terhadap pendiriannya, tidak akan toleh kiri, kanan. Kalau sudah A ya A, B ya B. Itu adalah Bu Mega sehingga keberhasilan beliau itu karena sifat beliau yang sangat konsisten," ucapnya.
Josef Osdar eks wartawan Kompas dalam tulisannya di Kompas.com berjudul Megawati Soekarnoputri: Sebuah Keajaiban Politik Kontemporer mengutip penilaian para tokoh dalam buku Megawati Anak Putra Sang Fajar terbitan 2012. Buku ini memuat 50 orang penulis berisi pandangan, penilaian mereka terhadap sosok Megawati.
Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5, 2001-2004) adalah sebuah “keajaiban” politik kontemporer Indonesia. Tapi, “keajaiban” itu sulit sekali menular ke orang lain yang kelak jadi penerusnya. Ini sebuah misteri alam semesta yang metafisis.
Pada 1999 Hamzah Haz (Wakil Presiden RI 2001-2004) mengatakan, haram hukumnya seorang perempuan jadi presiden di sebuah negara seperti di Indonesia.
Tapi ternyata, dua tahun kemudian Hamzah Haz sendiri mau menjadi wakil presidennya Megawati. Apa yang dikatakan Hamzah Haz ini disampaikan pengamat politik (waktu itu atau tahun 2012) Ikrar Nusa Bhakti, dalam tulisannya berjudul Jujur dan Konsisten.
Artikel ini menjadi salah satu tulisan dalam buku Megawati Anak Putra Sang Fajar yang terbit tahun 2012. Dalam buku yang sama Hamzah Haz mengatakan, ”Saya yakin Megawati dapat memimpin negara ini dan saya merasa bahwa ini adalah takdir Tuhan yang harus dijalani.”
Menurut Hamzah Haz, Megawati perempuan pemimpin yang sangat sulit dicari tandingannya. “Tidak ada tokoh mempunyai pengalaman seperti Megawati. Megawati bisa dikatakan termasuk dalam jajaran perempuan pemimpin tokoh dunia. Megawati memiliki kharisma lebih dari Benazir Bhutto (mantan PM Pakistan),” ujar Hamzah Haz.
Hal sama juga dikatakan Ikrar Nusa Bhakti dan mantan Wapres Jusuf Kalla.
Ketika Megawati menerima gelar doktor kehormatan bidang politik dan pemerintahan Universitas Pajajaran Bandung (UNPAD) pada 25 Mei 2016 silam. Dalam pidatonya, Ketua Tim Promotor Prof Dr H Obsatar Sinaga Msi antara lain mengatakan, “Menariknya meski sudah tidak menjabat presiden, Megawati masih bisa menentukan siapa presiden berikutnya,“ kata Obsatar disambut gelak tawa hadirin.
Peristiwa besar sejarah Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 Ahmad (Buya) Syafii Maarif mengatakan, munculnya Megawati dalam politik di Indonesia, kemudian menjadi ketua umum PDI Perjuangan, Wakil Presiden dan Presiden RI ke-5 (2001-2004), merupakan kejutan dan peristiwa besar sejarah Indonesia dan dunia.
Padahal, pertengahan 1999 Ahmad (Buya) Syafii Maarif mengatakan, dirinya dan banyak orang menyangsikan Megawati mampu jadi presiden negeri besar ini.
Dengan menjadi presiden, kata Buya Syafii Maarif, Mega melemahkan penentangan para ulama terhadap aksioma bahwa orang perempuan tidak pantas jadi pemimpin formal di negeri ini.
Ini juga membuka jalan kaum perempuan menjadi pemimpin formal. Namun Hamzah Haz mengatakan, ketokohan Megawati belum dapat diikuti perempuan-perempuan lain di Indonesia.
Boleh dikata, banyak perempuan Indonesia sangat cerdas, menjadi ilmuwan, tetapi untuk menjadi pemimpin seperti Mega tidaklah mudah. “Mereka harus punya ketahanan mental tinggi menghadapi guncangan-guncangan yang kasar dan kejam di dunia politik,” tambah Hamzah Haz.
Wakil Presiden (2004-2009 dan 2014-2019) Muhammad Jusuf Kalla mengatakan, setelah Mega jadi pemimpin partai besar dan kemudian jadi presiden, muncul pertanyaan, ”Kapan lagi kita mempunyai perempuan Presiden?” JK menjawab sendiri, ”Menurut saya, tidak bisa diprediksi.” JK mencatat, “Bila Ibu Mega ingin puterinya Puan Maharani terjun ke dunia politik, itu biasa saja dan normal.”
Perkataan ini mengingatkan pada ucapan JK setelah Megawati menetapkan Jokowi menjadi calon presiden dari PDI Perjuangan pada 2014.
“Ini adalah kebesaran jiwa Ibu Mega,” ucap JK beberapa kali.
Menurut JK, Megawati bukan hanya ketua umum PDI Perjuangan, tapi juga pendiri dari partai PDI Perjuangan (ingat dengan tambahan kata “perjuangan”). Itu yang membuat sulit dicari penggantinya sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
“Jangan disamakan dengan ketua umum (parpol) yang lain. Beliau unik, khusus. Bisa saja ada yang pintar secara intelektualitas, tetapi belum tentu se-inspiring dan berwibawa seperti beliau,” ujar JK pada 2012.
JK juga mencatat pada 1999 Mega tidak bisa jadi presiden, walaupun partainya menang dan meraih suara tertinggi dalam sejarah pemilu masa reformasi di Indonesia, yaitu 33,74 persen. “Sebabnya sederhana atau bisa dikatakan salah satu saja, kurang lobi...... Saya menganggap, orang sekeliling beliau yang salah, termasuk tim suksesnya (atau relawannya),” kata JK.
Namun JK mengapresiasi, selama tiga tahun pemerintahan Megawati, tidak ada gonjang-ganjing politik yang berarti di kabinet. Tidak ada isu-isu korupsi seperti presiden sebelumnya dan sesudahnya. Menurut JK, Mega jeli memilih pembantunya di kabinet.
Mengenai kekalahan Mega dalam pemilihan presiden secara langsung 2014, kata pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti (pada 2017 ia dilantik jadi Dubes di Tunisia), ada beberapa hal penyebabnya.
Pertama, Mega terlalu jujur, tidak menggunakan kekuasaannya untuk menggalang dana.
“Kedua, memang performance orang-orang PDI Perjuangan tidak menyakinkan, khususnya di parlemen pusat dan daerah,” ujarnya. Tapi, ia menunjukkan, dalam pemerintahan Mega, para pembantunya cukup lumayan. Soal performance anggota PDI Perjuangan di parlemen yang buruk juga nampak pada 2014, ketika muncul olok-olok “salam gigit” jari.
Hamzah Haz, Jakob Oetama (pendiri Kompas Gramedia) dan Indiana Ngenget (doktor politik lulusan Universitas Indonesia) mengatakan, bagaimana pun PDI Perjuangan dan Megawati adalah penjaga multikulturalisme dan cita-cita UUD 1945.
“Mega dan PDI Perjuangan adalah garda terdepan menghadapi agenda-agenda tersembunyi sejumlah kelompok yang berupaya menggantikan ideologi Pancasila,” ujar Indiana Ngenget yang tinggal di Bogor.
PRESTASI MEGA
Menteri Koordinator Perekonomian Kabinet Gotong Royong (2001-2004), Prof Emiritus Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mengatakan, masa Mega jadi presiden, banyak unjuk rasa, tapi banyak proyek-proyek berjalan kembali, seperti JORR, tol Cipularang, lapangan terbang Ambon, jembatan Suramadu, Tangkengon Aceh, dan pipa-pipa gas Batam selesai.
“Banyak banget proyek selesai, tapi memang beliau tidak banyak bicara. Mega tidak punya televisi (stasiun televisi). Swasembada beras tercapai, inflasi berhasil ditekan, nilai rupiah bagus dan hutang pun menurun drastis. Banyak sekali perbaikan ekonomi dicapai dan pemilu berlangsung baik. Saya bangga ikut dalam periode Mega,” kata Dorodjatun yang lahir di Rangkasbitung, Banten, 25 November 1939.
Almarhum Jakob Oetama mengatakan, selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Megawati dan PDI Perjuangan mengambil posisi teguh sebagai oposisi, paling tidak berada di luar pemerintahan. “Posisi ini diperlukan dalam demokrasi,” ujar Jakob.
Mungkin, ini menurut saya, pemerintahan SBY selama 10 tahun bisa berjalan dengan lumayan karena ada “oposisi”, ada kritik dan pengawasan obyektif.(BERSAMBUNG)